"Nama saya Amanda Syla, kalian bisa memanggil saya Amanda. Salam kenal semuanya dan mohon bantuannya juga."
"Boleh nanya gak?" tanya mahasiswa yang pertama menyapa Ama.
"Silahkan," jawab Ama ramah.
"Kamu udah punya pacar belom?" tanyanya dengan ekspresi genit.
Ama diam tak ingin menjawab, tetapi justru yang lainnya yang menanggapi.
"Halah modus, siapa aja yang bentuknya cewek bakal lo modusin," ujar mahasiswi berkacamata yang terlihat sangat tidak suka dengan temannya yang jail.
"Berisik lo," balas mahasiswa itu tak terima.
Namun tiba-tiba sebuah suara menghentikan kegiatan seluruh kelas.
"Ehem!"
Ama mematung ketika melihat siapa pemilik suara itu, ia shock tak bisa berkata-kata. Apakah saking sebalnya ia pada sosok Xin sehingga harus terbawa ke kampus. Ini tidak masuk akal.
"Kamu mahasiswi baru?" tanya Xin membuat Ama tersentak.
Ama ling lung, ia menatap ke seluruh kelas dan semua mahasiswa dan mahasiswi diam tanpa suara, padahal tadi sangat berisik seperti pasar pagi.
"Iya ..." Ama masih belum beranjak dari tempatnya.
"Ppeesst!" bisik mahasiswi berkacamata yang tadi membela Ama.
Ama langsung menoleh tetapi ia segera diseret oleh mahasiswi itu untuk duduk di sampingnya.
"Baik, selamat pagi semua!" sapa Xin di meja dosen.
Ama masih shock, ia pun bertanya pada gadis yang tadi menyeretnya.
"Em, dia Dosen?" tanya Ama berbisik.
Gadis itu mengangguk, "Iya, Dosen Killer. Pokoknya jangan main-main sama dia," ujarnya.
Ama jadi khawatir sendiri, tetapi dia teringat kalau ia belum tau nama gadis di sebelahnya.
"Nama kamu siapa?" tanya Ama.
Gadis itu tersenyum cerah, "Gue Musharofah Muslimah, panggil aja Mus."
"Salam kenal Mus, aku Amanda Syla. Panggil aja Ama," balas Ama tersenyum lebar.
Xin melirik Ama dan Mus yang terlihat berbisik-bisik meski matanya masih memperhatikannya. Namun, Xin senang Ama bisa mendapat teman baru tetapi ia tak suka jika di kelasnya ada yang tidak memperhatikannya mengajar.
"Mus dan Syla?" panggil Xin bernada pertanyaan.
"Eh, iya Pak?" tanya Mus setengah kaget.
Ama juga terkejut dan mulai cemas, apakah mereka akan kena marah si dosen killer.
"Saya tau kalian baru bertemu teman baru, saya tau Syla baru datang kuliah untuk pertama kali. Tapi bukan berarti kalian bisa mengabaikan kelas saya untuk berkenalan. Berkenalan bisa di luar kan, teman-teman?" tanya Xin pada mahasiswa lainnya.
"Iya Pak," jawab beberapa mahasiswa.
Ama dan Mus sudah mati kutu, mereka hanya menunduk dan berdo'a dalam hati masing-masing agar tidak kena tegur.
Ama kemudian memberanikan diri untuk minta maaf, "Mohon maaf Pak, ini kesalahan saya yang mengajak Mus bicara terlebih dahulu."
Xin menatap istrinya yang saat itu berperan sebagai mahasiswinya.
"Terserah, saya gak perduli, yang saya tau adalah kalian mengobrol. Ini peringatan pertama untuk kalian berdua dan saya harap ini yang terakhir!" ucap Xin dengan nada dingin.
"Baik Pak," jawab Ama dan Mus gemetar.
"Oke, kita lanjutkan," ujar Xin melanjutkan perkuliahan.
Setelah kelas pertama berakhir, bergantilah mata kuliah kedua yakni pengantar ekonomi, yang diampu oleh Pak Juni. Namun, karena isinya tentang teori semua, para mahasiswa pun mulai mengantuk dan berharap kelas akan berakhir dengan cepat.
Maka ketika kelas Pak Juni selesai, Mus langsung menyeret Ama pergi ke kantin.
"Adu duh ...pelan Mus!" protes Ama di sepanjang jalan.
Mus ini memang bar-bar, bagaimana bisa ia menyeretnya dari kelas sampai ke kantin yang melewati dua puluh dua ruangan.
Sampai di kantin, Ama langsung didudukkan di sebuah bangku kosong. Sebenarnya Ama tidak nyaman, tetapi ia menurut saja.
"Nah lo duduk situ, gue beli makanan dulu. Lo mau makan apa?" tanya Mus.
Ama bingung, "Aku bawa bekal," jawabnya polos.
Mus tetap memaksa, "Kalau mau makan di sini harus beli, lo bawa minum?" tanyanya.
"Em, udah air putih."
"Oke mending lo beli teh aja yah, yang anget apa pake es?" tanya Mus lagi.
"Anget aja," jawab Ama.
"Oke lo jagain tempat duduk gue," ujar Mus sebelum pergi.
Ama mengangguk patuh dan mulai mengamati sekeiling yang sangat ramai. Namun, tak lama kemudian seorang pemuda yang tadi menggodanya di kelas datang bersama teman-temannya dan kembali mengganggunya.
Pemuda itu dengan senyum tengilnya duduk di depan Ama yang menatapnya aneh.
"Hai, manis!" sapa pemuda itu.
"Maaf tapi itu tempat duduknya Mus, kalian bisa pindah. Tuh masih ada yang kosong," ucap Ama sambil menunjuk tempat duduk di sebelah kanannya.
"Halah biarin aja," ujar pemuda itu santai.
"Ya udah aku yang pindah," ujar Ama tapi ditahan oleh pemuda itu.
"Eh tunggu!" ujar pemuda itu sambil memegang tangan Ama.
Ama kaget dan langsung menghempaskan tangan pemuda itu, "Tolong jangan pegang-pegang!"
Pemuda itu baru sadar, "Maaf reflek," ujarnya nyengir kuda.
"Reflek itu karena kamu udah biasa pegang-pegang cewek. Pokoknya kamu harus pindah atau aku yang pindah."
Pemuda itu dan teman-temannya terkejut dengan sikap tegas Ama.
"Ayolah, gak papa cuma duduk doang apa salahnya sih?" ujar pria itu.
Namun, sebelum Ama menjawab, Mus sudah datang dan menatap empat pemuda itu dengan garang.
"Eh, eh! Ngapain kalian ke sini?!" tanyanya nyolot.
"Sante dong Mba, kita cuma mau duduk bareng aja kok," ujar salah satu dari mereka.
"Halah modus, udah sana pergi, hus!" usir Mus setelah meletakkan nampan berisi makanan di atas meja.
Ketika pemuda paling tengil akan membalas, salah satu dari mereka menyeretnya pergi.
"Udah yoklah, laper gue, malah ribut dulu ama orang!"
Setelah keadaan aman dan mereka mulai memakan makanan mereka, Mus mulai bicara lagi.
"Ma, lu harus tau kalo gue itu gak suka sama sifatnya Pak Xander. Gue itu udah pernah ngefans sama dia pas awal-awal masuk, tapi ketika gue tau kalo dia pelit nilai, gue berubah jadi heatersnya dia. Iya sih muka boleh ganteng parah, tapi kelakuan macam dakjal ..." cerocos Mus sambil mengunyah bakso.
Ama sampai meringis melihat kelakuan Mus itu, "Telen dulu, Mus!" ujarnya mnegingatkan.
"Gak suka gue ama tuh Dosen Killer," lanjut Mus sebelum meminum es tehnya.
Ama hanya tersenyum lucu, 'Seriusan nih gue dengerin orang gibah suami gue sendiri?' batin Ama.
"Kenapa lo senyum-senyum?" tanya Mus curiga.
"Gak papa lucu aja denger lo ngomongin dia, padahal di sepanjang jalan aku denger banyak yang memuji bahkan memuja dia," ujar Ama tersenyum.
"Gue kira lo suka juga sama si Dosen Killer," ujar Mus nyengir kuda.
"Enggaklah," jawab Ama tersenyum.
"Eh tapi yah si Dosen Killer itu pacaran ama anak kampus kita loh," ujar Mus mulai menggosip.
Ama menghentikan gerakkan tangannya saat ia akan memasukan makanan ke dalam mulutnya.
"Pacarnya di kampus ini juga?" tanya Ama terkejut.
"Iya, pacarnya tuh cantik banget ala Onnie-onnie Korea, terus yah dia itu salah satu cewek terpopuler sejagat kampus," jelas Mus antusias.
Ama mengangguk-angguk saja, ia merasakan perasaan tidak enak setelah mengetahui bahwa pacar Xin ada di kampus yang sama dengannya.
"Udah gitu, anaknya holkay. Tungganganya beuh ...mobil yang harganya hanya bisa dibeli oleh anak sultan," oceh Mus lagi.
Ama teringat kalau pacar Xin yang dikatakan Yela, sudah memiliki ayah baru yang baik. Ia jadi mulai tau susunan kisahnya sekarang.
"Dia seangkatan sama kita?" tanya Ama.
"Enggak, dia semester lima sekarang. Jurusannya gak sama kayak kita kok, tapi Pak Killer juga ngajar dia. Noh di fakultas sebelah, Fakultas Sastra dan Seni. Katanya sih, masuk jursuan akting dia. Pantes sih, udah cantik, jago akting lagi. Dia kan juga model endors produk nasional terkenal, produk apa aja yang jadiin dia modelnya, langsung booming. Makanya tuh masang tarifnya mahal banget," jelas Mus yang hanya diangguki oleh Ama.
"Kamu tau banget soal Pak Xander, katanya heaters ..." ujar Ama merasa aneh.
Mus menghela nafas lesu, "Kan gue udah bilang, kalo gue mantan fansnya."
Ama terkekeh melihat Mus, gadis itu meski blak-blakan tapi Ama suka dengan keterbukaannya.
•••
Setelah makan siang dan sholat dhuhur, Ama kebingungan karena ia tak tau daerah Jakarta. Akhirnya ia bertanya pada Xin alamat lengkap rumahnya agar ia bisa mencari bus yang tepat.
"Assalamu'allaikum Xin," sapa Ama pada orang di sebrangnya.
"Wa'allaikumsalam, kenapa?" tanya Xin langsung.
"Tolong kirimin alamat lengkap rumah, aku bingung mau pulang tapi gak tau alamat rumahnya," jawab Ama.
Terdengar helaan nafas dari sebrang, "Aku pesenin taxi, sebentar ..." ujarnya kemudian menutup sambungan telpon.
"Ok ..."
Belum selesai bicara sudah ditutup saja, Ama menghela nafas dan mencari tempat duduk di dekat gerbang fakultas.
Namun, ketika ia sedang mengamati sekitar ia milihat mobil Xin melaju melewatinya. Hal yang membuatnya merasa aneh adalah wanita yang duduk di sampingnya, ciri-cirinya seperti pacar Xin yang disebutkan Mus. Kemudian ingatan Ama beralih pada cerita Yela waktu itu.
"Oh jadi itu yang bernama Fabi, pantesan cantik banget," gumam Ama.
Tak lama taxi yang dipesankan Xin datang dan mengantarkannya ke alamat yang sudah diberikan Xin.
Kota yang macet itu menjadi pemandangan Ama ketika melihat jendela. Ia belum pernah ke jakarta sebelum ini, ia hanya melihat di berita saja. Pun ia tak pernah bermimpin akan tinggal di sana, tetapi justru ia menikah dan tinggal di kota itu.
Hatinya terus berzikir ketika jarinya sibuk memencet tombol penghitung yang melingkar di jari telunjuknya. Pilu mnegenai hatinya ketika ia ditampar kenyataan bahwa ia hanya barang bagi Xin untuk menutupi hubungannya dengan Fabi.
Lantas, ia juga tak boleh menganggap Fabi sebagai pelakor karena Fabi yang sebenarnya diinginkan Xin. Lucu bukan?
Seorang istri yang tidak berhak mengemukakan statusnya, kemudian ia dipaksa mengizinkan sang suaminya berkencan dengan wanita lain. Ama tau ini salah, tapi ia tak berdaya. Bahkan ayahnya pun tak berdaya membantunya, atau mungkin tak mau.
"Ibu ...Ama takut," lirihnya berkaca-kaca.
•••