Xin dan Ama sampai di depan gerbang fakultas teknologi informasi. Di dalam mobil keduanya masih duduk mengamati gedung, lebih tepatnya Ama yang sedang mengagumi besarnya kampus tersebut.
"Kenapa kamu milih Manajemen Informatika dan Komputer?" tanya Xin pada gadis di sebelahnya yang masih serius mengamati sekitar.
Ama menoleh pada suaminya dan berkata, "Prospek kerjanya luas. Sekarang itu jaman teknologi, nah otomatis yang banyak dicari itu para ahli teknologi dan aku pingin jadi programmer."
Xin tersenyum miring, "Jalan juga logika kamu."
"Hehe ...bay the way, makasih yah Xin. Akhirnya aku bisa kuliah, seneng banget."
Xin menghela nafas, "Bukan apa-apa. Ini salah satu pengikat buat kamu agar gak kabur, karena kalo kamu kabur berarti kamu milih untuk putus kuliah. Lagian aku juga gak mau punya istri bodoh."
Ama mendelik, "Gak semua yang gak kuliah itu bodoh!" Ia tak terima, enak saja mulutnya berkata demikian.
"Aku tau, bukannya aku menggeneralisir yah, tapi untuk orang yang gak kreatif dan gak punya otak bisnis macam kamu itu, yang otaknya sekelas udang ..." Ama ingin sekali menonjok mulut Xin yang tajam itu. "Sebaiknya kuliah biar punya modal buat terjun di masyarakat. Kalau kamu punya keahlian, punya ijazah, otomatis kamu punya peran yang dibutuhin banyak orang."
Ama menghela nafas, "Iya kamu bener, tapi kamu tuh gak punya bahasa lain apa selain kata-k********r? Nasihatmu bener sih, tapi kalo kamu ngingetin orang pake kata-k********r, orang bakal nganggep kamu sombong. Percuma kata-kata mutiaramu gak akan masuk, malah bikin orang kesel."
Xin tertegun mendapat ocehan itu, makin hari Ama makin berani dan tambah cerewet. Keluarlah sifat aslinya, tapi sayangnya kata-kata Ama selalu gak bisa ditolak oleh logika Xin. Menurutnya Ama memang cocok di bidang informatika yang banyak melibatkan logika dalam berfikir.
"Ya kan gak semua orang paham bahasa kiasan. Kebanyakan kalau diingatkan dengan bahasa halus, bukannya mudeng malah mubeng. Boro-boro tertohok, dia tau nasihat ditujukan buat dia aja gak tau, malah cuek bebas ngelakuin kesalahan yang sama."
Xin membela diri dan Ama paham apa maksud dari ucapan suaminya itu, tetapi ia sudah cukup lelah untuk berdebat. Seumur hidup, tak ada seorangpun yang mudah mengundang amarahnya semudah Xin. Entah kenapa setiap kata-kata yang keluar dari Xin tidak ada baik-baiknya sama sekali, selalu membuatnya naik pitam.
Kalau ia tak tau adab dan aturan agama, mereka pasti sudah gelut tiap hari, tiap detik.
"Iya deh, kamu bener. Jadi gimana, aku ke bagian administrasi dulu atau langsung ke kelas?" tanya Ama.
"Ngapain ke bagian administrasi? Aku udah beresin administrasinya, kamu tinggal kuliah, belajar yang bener ..." ujar Xin santai.
"Beneran, aku gak perlu isi data diri dan lain-lain?" tanya Ama lagi.
Xin menatap Ama dengan tatapan lelah, "Enggak! Udah sana keluar dan cari kelasnya. Awas aja kalo nyasar, malu-maluin!"
Ama cemberut dengan ucapan Xin yang asal-asalan itu.
"Iya iya ...lagian aku juga gak bakal bilang kalo kamu suami aku, jadi gak usah ngerasa malu," ujar Mei santai.
"Bagus," tanggap Xin.
Ama menyelami Xin sebelum membuka pintu mobil dan keluar.
"Aku kuliah dulu, assalamu'allaikum ..." ujar Ama pamit.
"Wa'allaikumsalam," balas Xin.
Ama keluar dari mobil diiringi tatapan Xin, daripada istri Xin lebih suka jika ia dan Ama memiliki ikatan darah. Terbiasa menjadi anak tunggal, meski ia memiliki Fabi sebagai adik tiri tapi ia malah mencintanya sebagai seorang gadis, bukan sebagai adik.
Xin menjalankan mobilnya menuju ke dalam gedung, Ama belum tau kalau ia mengajar mata kuliah kalkulus di fakultas teknologi informatika yang sama dengan Ama. Xin jadi tertarik bagaimana ekspresi Ama ketika tau bahwa dosennya adalah suaminya sendiri.
Di ruang dosen yang dibatasi sekat-sekat kubikel, Xin yang baru datang setelah mengambil cuti seminggu setelah libur semester langsung ditanyai oleh dosen terdekatnya.
"Lo ngapain udah dikasih libur tiga minggu juga, masih kurang?" tanya Reyhan--teman akrab Xin.
Reyhan adalah Dosen Bahasa Inggris di fakultas teknologi informatika.
"Gak kurang, cuma gue ada urusan yang gak bisa ditunda," jawab Xin santai.
"Sok sibuk lo, kemana emang?" tanya Reyhan lagi.
"Enggak bukannya sok, emang beneran sibuk. Gue abis ngurus pabrik di Kalimantan," jawab Xin sambil merapihkan bahan kuliahnya nanti.
"Oh, kirain kemana. Tapi lo gak nikah diem-diem kan?" tanya Reyhan lagi.
Xin menghentikan aktivitasnya merasa tertohok, jangan sampai ada yang tau kalau ia sudah menikah. Apalagi menikah dengan gadis seperti Ama dan dengan cara diam-diam. Reputasinya bisa hancur kalau ada yang tau fakta tersebut. Kemudian ia tertawa dan menatap Reyhan merasa lucu.
"Hahaha yang bener aja nikah diem-diem, emang gue buntingin anak orang ..." ujar Xin santai.
Reyhan ikut tertawa kemudian, "Ya kali aja lu buntingin si Fabi, terus nikah diem-diem. Kan bisa aja kayak di TV-TV," ujarnya asal.
"Yeu, mulut lu kalo ngomong asal aja ...gue juga mikir kali kalo mau hamilin anak orang," ujar Xin jengah dengan tingkah Reyhan.
"Haha ya kan cuma nebak," ujar Reyhan masih dengan tawanya.
Xin kemudian membuka komputernya melihat daftar mahasiswa yang ikut di kelasnya, Reyhan juga melihat itu.
"Bay the way, ada mahasiswi yang baru masuk juga hari ini."
"Tau gue," ujar Xin. "Nih langsung masuk ke sistem," lanjutnya menunjukkan nama mahasiswi baru itu.
"Gue lupa ada sistem," ujar Reyhan nyengir.
"Lo gak ada kelas pagi apa?" tanya Xin melihat Reyhan yang masih santai merecokinya.
"Ada, masih lima menit lagi, santai dong ..." balas Reyhan tersenyum santai.
Xin memutar bola matanya jengah, kemudian merapihan barang yang akan dibawa mengajar.
"Kalo gitu, gue cabut dulu. Bye!"
"Ikut! Selow aja kali buru-buru banget," ujar Reyhan mengejar Xin.
"Waktu itu berharga, lo dari sini bisa aja ngabisin waktu lima menit lebih," ujar Xin setelah Reyhan sudah menyamai langkahnya.
"Ya enggaklah ...deket ini," kilah Reyhan tertawa kemudian.
"Bisa aja kalo tiap jalan lo godain mahasiswi cantik."
Reyhan tertohok, ia mengelus d**a dengan ucapan Xin yang nyelekit tapi benar itu.
•••
Ama memasuki kelasnya setelah tadi bertanya pada beberapa mahasiswa yang ia temui. Melihat banyaknya mata yang melihat ke arahnya dengan aneh, ia tersenyum dan mengangguk pada di depan kelas.
"Anak baru lo?" tanya seorang mahasiswa tampan yang berpenampilan stylist.
"Iya, saya baru masuk hari ini," jawab Ama tersenyum.
"Kenalan situ di depan kelas biar sekelas tau nama lo," ujarnya lagi.
"Oh iya," gumam Ama sambil bersiap berdiri di depan kelas.
"Eh jangan mau," ujar seorang gadis berkacamata pada Ama.
"Udah kenalan aja," ujar mahasiswi yang lain.
"Em, oke ..." ujar Ama memulai perkenalan. "Nama saya Amanda Syla, kalian bisa memanggil saya Amanda. Salam kenal semuanya dan mohon bantuannya juga."
"Boleh nanya gak?" tanya mahasiswa yang pertama bertanya pada Ama.
"Silahkan," jawab Ama ramah.
"Kamu udah punya pacar belom?" tanyanya dengan ekspresi genit.
Ama diam tak ingin menjawab, tetapi justru yang lainnya yang menanggapi.
"Halah modus, siapa aja yang bentuknya cewek bakal lo modusin," ujar mahasiswi berkacamata yang terlihat sangat tidak suka dengan temannya yang jail.
"Berisik lo," balas mahasiswa itu tak terima.
Namun tiba-tiba sebuah suara menghentikan kegiatan seluruh kelas.
"Ehem!"
Ama mematung ketika melihat siapa pemilik suara itu, ia shock tak bisa berkata-kata.