•Seolah Tidak Terjadi•

1935 Kata
"Sejak kali pertama aku melihat dua bola matamu itu, aku tidak yakin untuk tidak menyakitimu nantinya." -Atta Mahesa- __________ "Saya... di sini akan... menyanyikan sebuah lagu..." Jujur. Vei sangat gugup. Degupan jantungnya bahkan terasa berdebar tak keruan. Padahal sebelumnya perempuan itu sudah pernah bernyanyi di depan banyak orang, tempat umum. Namun, kali ini berbeda. "Sebuah... lagu terkhusus untuk seseorang..." Berbeda karena ada seseorang. Seseorang yang membuatnya kembali mengingat kejadian malam itu. "Selamat menikmati..." Vei menghela napas dalam-dalam lalu kembali duduk sambil mulai memetik senar gitar yang ada di tangannya perlahan. Feri tersenyum ke arah Vei. Membuat Vei semakin tidak enak jika dirinya mengacaukan pesta ulang tahun itu. Sebisa mungkin Vei berusaha bersikap normal. Meskipun nyatanya, sikap Vei tidak normal. Ia sesekali menatap lurus seseorang yang tengah melipat kedua tangannya. Seseorang itu duduk bersama dengan teman-temannya. "Me... menangkan hatimu bukanlah... satu hal yang mudah..." Seseorang yang ditatap Vei itu juga sedang menatapnya. Mereka berdua saling bertatapan. "Ku berhasil membuatmu tak bisa hidup tanpaku..." Vei segera memutuskan kontak mata itu. Ia tidak ingin berlama-lama bertatapan dengan seseorang yang bisanya hanya menimbulkan luka di hatinya. "Menjaga cinta itu bukanlah suatu hal yang mudah..." Kini Vei balas tersenyum ke arah Feri. Laki-laki itu tersenyum bahagia. Dari dulu Feri selalu mengagumi suara khas Vei saat bernyanyi. "Namun sedetik pun... tak pernah kau berpaling dariku..." Juga petikan gitar yang mengalun lembut dari jari-jemari Vei saat ini. "Beruntungnya... aku... dimiliki kamu..." Vei mulai terbawa suasana. Ia menyanyikan lagu itu dengan penuh perasaan. "Kamu adalah bukti... dari tampannya paras dan hati.. Kau jadi harmoni saatku bernyanyi... Tentang terang dan gelapnya hidup ini..." Untuk sebagian orang yang belum pernah mendengarkan Vei bernyanyi, mungkin akan terkesima dengan suara khas miliknya itu. "Kaulah bentuk terindah... Dari baiknya Tuhan padaku... Waktu tak mengusaikan tampanmu..." Namun, bagi sebagian orang yang sudah pernah mendengarkan Vei bernyanyi. Pasti ia hanya bisa takjub sambil menikmati suara merdu milik perempuan itu. "Kau lelaki terhebat bagiku... Tolong kamu camkan itu..." Saat ini Vei sudah bisa bernyanyi dengan terbiasa. Ia sudah bisa mengabaikan seseorang yang akhir-akhir ini selalu saja ada dipikirannya. "Gila! Gue nggak tau kalo Vei bisa nanyi." Dani menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa kagum dengan suara Vei. "Pinter main gitar juga lagi!" "Jarang lho ada perempuan yang bisa main gitar." Tambah Ribut. "Pacar idaman banget ini mah!" Pujian-pujian dilontarkan oleh Ribut dan Dani, sedangkan Atta? Atta hanya diam. "Apa gue harus sebaik Vei biar Feri bisa jatuh cinta sama gue?" Pertanyaan dari seseorang yang memiliki tempat khusus di hati Atta itu membuatnya menoleh, menatap Vivi. "Maksud lo?" "Vei itu baik, cantik, mandiri. Bahkan di usianya yang semuda ini dia---" "Nggak usah bahas dia," Atta menghentikan perkataan Vivi. Tidak ingin mendengar pujian-pujian yang terlontar untuk perempuan itu lagi. "Lo nggak perlu jadi orang lain supaya dia jatuh cinta sama elo. Kalo dia emang cinta, apa pun kekurangan elo, dia bakal tetep cinta." "Tapi... kalo gue dibandingin sama Vei sih emang nggak ada apa-apanya," Vivi merasakan hatinya sesak, saat dilihatnya Vei turun dari panggung dibantu oleh Feri. "Gue nggak sebaik Vei." "Vei itu nggak sebaik yang lo pikirin. Yang gue tahu... dia juga bukan cewek baik-baik." "Hah?" ---------- "Kak, gue pulang dulu, ya." Pamit Vei pada Feri. Sebenarnya, Vei ingin langsung pulang tanpa berpamitan dengan laki-laki itu, tapi ia merasa tidak enak. Karena Feri sudah dianggap seperti kakaknya sendiri. "Bentar lagi, Vei." Vei mengembuskan napasnya perlahan. Perempuan itu tidak ingin berlama-lama di tempat yang seperti ini. Ketakutan itu masih ada. Rasa sakit itu juga masih terasa. "Mending lo gabung sama Livi." Feri menunjuk meja Livi. "Di sana juga ada Rahma sama El." Akhirnya Vei pun bergabung dengan mereka bertiga. Vei tidak tahu jika Livi, Rahma, dan El juga datang. Karena ia tadi terfokus hanya pada satu orang. "Wuih... suara lo makin bagus aja, Vei." "Lo bikin gue kagum!" "Bisa nggak elo ngajarin Livi nyanyi? Kan enak tuh kalo cewek gue juga bisa nyanyi sama kayak elo." "Cewek elo? Ngimpi kali, ya?" Vei terkekeh pelan. "Bisa-bisa. Itu mah gampang." "Eh, gue ke sana bentar, ya. Mau ikut gabung sama pacar tercinta." Rahma melirik ke arah meja Ribut yang tak jauh dari sana. "Ikut!" Livi berdiri. Tangan El menahan Livi untuk melangkahkan kakinya. "Udah di sini aja." "Nggak mau. Gue mau lihat Abang gue pacaran." "Bang Atta, punya pacar?" tanya Vei. Karena yang ia tahu Atta tidak pernah dekat dengan perempuan selain dengan satu orang. "Punya," Livi mengangguk. "Pacarnya Bang Atta itu Kak Vivi." Vei tahu, satu orang itu adalah Vivi. "Lo ikut nggak, Vei? Daripada di sini sendirian." Mau tidak mau Vei ikut berdiri dan melangkahkan kakinya dengan malas menuju meja Atta dan teman-temannya. "Cewek... sini duduk sama Abang..." Dani langsung menggoda Vei. Vei duduk di samping El. Tidak menghiraukan ajakan duduk bersebelahan dengan Dani. "El itu udah punyanya Livi. Nggak usah ganggu dia. Mending sama Abang aja." Memang benar. Mereka semua yang ada di sana itu seperti sudah mempunyai pasangannya masing-masing. El dengan Livi. Ribut dengan Rahma. Atta dengan Vivi. Hanya Dani dan Vei yang tidak punya pasangan. "Lo pulang jam berapa?" tanya El. "Jangan pulang malem-malem." Bagaimana pun juga, El tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkan Vei setelah ia mendengar apa yang telah terjadi pada perempuan itu. Menurut El, perempuan itu harus dilindungi. Vei menunduk sambil memainkan jari-jemarinya. "Bentar lagi," "Udah jam sembilan. Mending gue anter lo pulang." "Enggak usah, El." Vei menolak. "Gue lagi nunggu Kak Feri." Saat nama Feri disebut, itu membuat Vivi penasaran. Penasaran sebenarnya hubungan Feri dengan Vei itu apa? "Hubungan elo sama Feri apa?" pertanyaan dari Vivi itu membuat Vei mendongak. "Hah?" "Hubungan elo sama Feri apa?" Vivi mengulangi pertanyaannya. Bukannya langsung menjawab pertanyaan dari Vivi, Vei malah menatap seseorang yang ada di samping perempuan itu. "Itu... cuma temen aja kok, Kak." "Cuma temen? Kok kayaknya deket banget ya?" "Iya, Kak!" Livi menyahut. "Hubungan antara Vei sama Kak Feri itu cuma sebatas temen. Kayak aku sama El." "Kita temen? Hubungan elo sama gue itu bukan cuma sebatas temen. Lebih dari itu." "Serah lo!" Apa pun caranya. El selalu berjuang untuk mendapatkan Livi. "Vei..." panggilan dari Feri itu membuat semua orang yang ada di meja itu terfokus pada laki-laki itu. "Eh, iya, Kak." "Pulang jam berapa?" "Maunya sih sekarang," Vei merasa tidak enak badan, ia memegangi perutnya. Perempuan itu merasa mual. "Lo kenapa?" "Nggak enak badan aja sih," "Ya udah ayo..." Feri menarik tangan Vei secara lembut. Sentuhan Feri itu bahkan sangat lembut pada pergelangan tangan Vei. "Gue pulang dulu, ya." Pamit Vei pada semua yang ada di meja itu. Tidak dapat dipungkiri lagi. Hati Vivi terasa seperti tertusuk jarum melihat kejadian itu. "Udah gue bilang, kan? Dia itu bukan cewek baik-baik." Atta akhirnya buka suara setelah sedari tadi hanya diam. "Mau gue tunjukin sesuatu yang lebih dari ini?" "Apa?" "Ikut gue," Atta beranjak dari tempat duduknya bersama dengan Vivi. "Bang Atta, mau ke mana?" tanya Livi saat dilihatnya Atta pergi keluar meninggalkannya. Lagi-lagi Atta mengabaikan pertanyaan Livi. Menganggapnya seolah angin yang berhembus, tak terlihat. "Nggak usah sok akrab. Percuma. Lo tanya apa pun sama dia nggak bakal dijawab." "El!!!" seru Livi kesal. ---------- Vei memandangi apa saja yang ia lewati melalui jendela mobil. Rasa mual itu masih terasa. Sebenarnya perempuan itu sudah merasa tidak enak badan sejak tadi pagi, tapi ia mengabaikannya. Seolah tubuhnya itu kuat. "Kalo masih sakit kita ke rumah sakit aja, Vei." "Nggak usah, Kak. Gue pengin tidur aja." Feri semakin mempercepat laju mobilnya agar mereka berdua cepat sampai di indekosnya. "Bentar lagi, Vei." Vei menoleh ke samping, lebih tepatnya menatap Feri yang sedang fokus mengendarai mobil yang mereka tumpangi. "Makasih, Kak." Vei mengucapkan terima kasih pada Feri. Di dunia ini, meskipun Vei tidak mempunyai orang tua, saudara, maupun keluarga. Setidaknya ia punya seseorang yang lebih dari itu. Contohnya, Feri. Vei amat merasa bersyukur bisa mengenal Feri, menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Mobil Feri berhenti tepat di depan indekos mereka. Vei cepat-cepat keluar dari dalam mobil. Rasa mual itu kembali dirasakan Vei. "Vei tunggu!" "Apa lagi, Kak?" Feri mempercepat langkah kakinya lalu membawa Vei dalam dekapannya. Mengusap lembut rambut perempuan itu yang tergerai. "Makasih untuk hari ini. Lo udah jadi kado terindah buat gue hari ini." Dalam keadaan seperti ini, Vei tidak bisa untuk tidak membalas pelukan dari Feri. "Kak, boleh gue minta sesuatu?" "Apa? Hmm?" Vei menguraikan pelukannya, menatap lekat-lekat pada kedua manik mata milik Feri. "Suatu hari nanti, entah itu besok, lusa, atau kapan pun itu..." "Iya... kenapa?" Tenggorokan Vei terasa kering saat ini, tapi ia harus memberitahu Feri sesuatu hal. Sesuatu hal yang telah terjadi pada dirinya. Sebelum semuanya terlambat dan Vei akan menyesal jika sampai ia terlambat memberitahu Feri tentang hal ini. "Kalo lo tau tentang diri gue yang sebenernya... gue minta lo jangan marah. Karena apa pun yang terjadi itu... bukan keinginan gue. Itu murni kesalahan." Feri bingung dengan maksud dari perkataan Vei. "Lo ngomong apaan sih?" "Pokoknya jangan marah sama gue. Jangan jauhin gue. Jangan... tinggalin gue." "Lo nggak usah minta buat gue ngelakuin itu karena tanpa lo suruh gue akan ngelakuin hal itu." Vei berharap perkataan Feri itu benar adanya. Cepat atau lambat Feri pasti akan tahu tentang diri Vei yang sebenarnya. Entah itu besok, lusa, atau suatu hari nanti. "Ya... udah gue masuk dulu," "Bentar," Feri merogoh saku celananya, mengambil amplop berwarna cokelat dari sana. "Ini buat elo." "Buat gue?" "Ini... karena elo tadi udah bersedia jadi pengisi acara di acara gue." "Nggak usah, Kak." Vei menolak amplop itu. Perempuan itu tahu betul isi amplop itu adalah uang. Uang yang sangat dibutuhkan oleh Vei saat ini. "Gue ngasih ini juga sesuai sama pekerjaan elo, Vei." Feri memaksa Vei agar mengambil amplop itu. "Anggep ini sebagai bayaran elo hari ini. Nggak lebih dari itu." Vei pun mengambil uang itu. Memang sekarang ini ia sedang membutuhkan uang, terlebih lagi sudah beberapa hari ini Vei tidak bekerja. Itu artinya, tidak ada pemasukan, yang ada hanya pengeluaran setiap harinya. Tidak jauh dari sana ada dua pasang mata yang sedang memerhatikan mereka berdua sedari tadi. "Lo pikir Vei itu cewek baik-baik?" "Pasti ada alesan tersendiri kenapa Vei nerima uang dari Feri, Ta. Lo aja yang nggak tahu alesannya apa." "Gue tahu alesannya... alesannya karena cewek kayak dia itu nggak punya harga diri." "Ta!" Vivi kesal. Bagiamanapun juga tidak seharusnya Atta berkata seperti itu. Sebagai sesama perempuan, Vivi tahu betul apa yang dirasakan oleh Vei. "Jadi cewek itu nggak gampang." "Seharusnya dia nggak nerima uang dari Feri... kalo dia punya harga diri sih gitu." Sinis Atta. Atta menatap tajam ke arah Feri dan Vei. ---------- Sejak satu jam yang lalu, Vei tidak henti-hentinya keluar masuk toilet. Perempuan itu menatap pantulan dirinya sendiri lewat cermin yang tertempel di dinding. "Nggak mungkin, kan? Itu nggak mungkin, kan?" tanya Vei pada dirinya sendiri. Vei harap ketakutannya selama ini tidak pernah benar-benar terjadi. Harapan itu sangat kuat melekat di hati Vei. Alat pengukur waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh lima menit. Ia sudah harus berangkat sekolah sekarang ini. Tidak butuh waktu lama untuk Vei sampai di sekolah karena memang jarak antara indekos dan sekolahnya tidak terlalu jauh. Saat Vei tiba di sekolahnya, bel masuk sudah berbunyi. Sebelum ia memasuki ruang kelasnya, secara tidak sengaja bola mata Vei bertatapan dengan seseorang. Namun, seseorang itu seolah tidak mengenal Vei. Mengacuhkannya. Seolah di antara mereka berdua tak pernah terjadi apapun. Mungkin bagi Atta, melupakan kejadian malam itu sangatlah mudah, tapi tidak bagi Vei. Bagi Vei, melupakan apa yang terjadi malam itu adalah hal yang tersulit dalam hidup ini. Atta berhasil melupakan itu sedangkan Vei gagal. Hanya Vei yang merasakan sakit, tapi tidak untuk Atta. Hanya Vei yang merasakan ada getaran aneh saat dilihatnya Atta bersama teman-temannya tertawa bahagia, sedangkan ia hanya bisa meratapi nasibnya. Akankah penderitaan Vei ini akan berakhir? Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN