"Bagaimana mungkin kamu melupakan kejadian malam itu? Kamu bersikap seolah itu tidak pernah terjadi. Kamu laki-laki yang tidak punya hati dan pikiran. Itu yang aku tahu."
-Raveira Livira Shabira-
__________
Vei duduk dengan resah di bangku tempat duduknya. Perutnya mual. Benar-benar mual. Rasanya ia ingin muntah, tapi tidak bisa.
"Lo kenapa?"
"Anterin gue ke toilet bentaran, yuk!"
"Lo sakit?"
"Sedikit,"
Livi langsung meminta izin kepada Bu Harini yang sedang menerangkan mata pelajaran di depan kelas.
Setelah mendapatkan izin, Vei cepat-cepat keluar kelas menuju toilet perempuan.
Pagi ini, sudah kesekian kalinya Vei merasakan mual. Dan berulang kali juga perempuan itu muntah-muntah seperti saat ini.
Livi memijit pelan leher Vei. "Lo masuk angin kali, ya?"
"Gue harap... gue harap ini cuma masuk angin biasa."
"Pulang sekolah kita ke dokter aja."
Vei menggeleng. "Jangan, Liv."
"Lo sakit, Vei."
"Gue takut kalo... kalo ternyata ini bukan sakit perut biasa," tangan kanan Vei memegangi perutnya. "Gue takut kalo ternyata... gue hamil."
"Lo kok ngomong gini lagi sih? Kan udah gue bilang... sssttt..." Livi langsung menarik Vei ke dalam pelukannya. "Lo kok jadi cengeng gini sih? Ke mana Vei yang dulu?"
Livi merasa akhir-akhir ini Vei terlalu mudah emosi. Perempuan itu sering marah, menangis karena sesuatu hal yang sepele. Padahal, biasanya Vei tidak pernah bersikap seperti ini.
"Liv, gue takut," Vei mengeratkan pelukannya pada sahabatnya itu. "Gue takut sesuatu terjadi sama gue... dan jika itu terjadi... gue harus apa?"
"Nggak! Nggak bakalan terjadi apa-apa."
"Tapi, gue ngerasa sesuatu terjadi dalam diri gue..."
"Kalo terjadi apa-apa sama elo nantinya... gue pastiin cowok berengsek yang buat elo jadi gini... gue musnahin."
Vei diam.
Apakah Livi sanggup memusnahkan Atta? Atta yang notabenenya adalah kakaknya sendiri, demi sahabatnya Vei. Karena bagaimanapun juga yang telah membuat Vei menjadi seperti saat ini adalah Atta.
Atta jugalah laki-laki berengsek yang Vei maksud selama ini.
"Kalo lo takut buat minta pertanggung jawaban sama dia, bilang ke gue. Biar gue yang---"
"Lo nggak mungkin bisa, Liv." Tangis Vei semakin kencang. "Dia cowok berengsek yang nggak pernah punya hati."
"Gue semakin penasaran... siapa sebenernya cowok yang lo maksud itu?"
Ingin rasanya Vei mengucapkan nama Atta saat ini. Ingin sekali Vei bercerita perihal Atta pada Livi. Perihal kakak laki-lakinya itu yang sudah mengubah hidupnya. Namun, Vei tidak sanggup.
Vei tahu, jika Livi tahu yang sebenarnya bisa dipastikan bahwa ia akan membenci Atta. Vei tidak mau menciptakan perpecahan di antara keduanya, tapi di sisi lain hanya Vei yang menanggung beban itu.
"Secepatnya elo harus cek keadaan elo, Vei."
Vei hanya mengangguk menanggapi perkataan Livi itu.
"Apa pun yang terjadi, lo harus terima kenyataannya. Sebenernya elo hamil atau enggak? Setidaknya kalo lo udah cek keadaan elo... lo bisa tenang nantinya."
Bagi Vei, ia tidak pernah bisa tenang.
"Sepulang sekolah... gue akan tes..."
"Gue temenin, ya?"
"Nggak usah,"
"Lo mau ke dokter atau tes pake alat?"
Vei bingung. Rasa takut itu masih menjalar di sekujur tubuhnya. Takut bahwa sesuatu yang ditakutkannya itu menjadi nyata.
"Gue bingung, Liv."
"Kalo lo bingung, lo pake test pack aja."
----------
Rasanya canggung dan malu saat Vei membeli alat itu. Bagaimana tidak? Petugas apotek seperti menilai Vei dari atas hingga bawah. Merasa risi, Vei ingin cepat pergi dari tempat itu.
Setelah mendapatkan alat itu, Vei langsung meninggalkan apotek itu. Tidak ingin lagi berlama-lama di sana.
Tangan Vei menggenggam erat alat itu. Alat yang bisa memastikan semua ketakutannya.
Vei memutuskan untuk menerima kenyataan. Kenyataan seperti apa pun itu nantinya, perempuan itu harus dapat menerimanya. Daripada ia selalu dihantui oleh rasa takut yang tak berujung. Lebih baik jika Vei mengetahui kebenaran dari pertanyaan ketakutannya selama ini.
Namun, sesampainya di kamar indekosnya. Vei langsung melempar alat itu secara asal. Pikirannya berubah.
Kenyataannya, Vei belum siap. Bagaimana jika ia benar hamil? Ada ribuan pikiran berkecambuk dalam hati dan pikiran Vei.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu itu membuat pikiran Vei ambyar begitu saja.
"Vei... lo ada di dalam?"
Itu suara Feri.
"Vei..."
"Veira..."
"Vei?"
Perempuan itu tampak menimbang-nimbang. Antara membukakan pintu untuk Feri atau mengabaikannya.
"Vei..."
"Iya, Kak. Sebentar..."
Vei memilih untuk membukakan pintu untuk Feri. Ia memilih untuk tidak mengabaikan Feri karena Vei tahu rasanya diabaikan itu tidak enak.
"Ada apa, Kak?"
"Nggak papa. Cuma mau ngasih salam perpisahan aja."
"Salam perpisahan?"
"Gue mau balik ke rumah. Udah nggak tinggal di sini lagi."
"Oh iya..." Vei mengangguk.
"Gue nggak disuruh masuk? Di luar terus kayak gini?"
Vei mengamati kamarnya lalu menggeleng. "Mending kita jalan-jalan keliling kompleks aja. Kamar gue berantakan."
Feri dan Vei pun berjalan beriringan. Menikmati waktu sore hari di kompleks itu.
"Besok hari kelulusan gue."
"Selamat, ya!"
"Sebenernya... gue ngerasa sedih."
"Kok lo sedih? Yah... bagus dong elo udah lulus. Tinggal nerusin---"
"Bukan gitu... gue sedih karena nantinya gue bakal jarang ketemu sama elo."
"Tenang. Tempat gue masih sama kok. Lo tinggal dateng aja kapan pun yang elo mau."
"Kayaknya lo akhir-akhir ini kayak ada yang berubah."
"Berubah apanya?"
"Mungkin perasaan gue aja kali ya,"
"Akhir-akhir ini gue lagi nggak enak badan."
"Lo belum periksa ke dokter?"
Vei menggeleng. "Belum."
"Kok belum sih?"
"Gue takut... takut sesuatu terjadi sama gue..."
"Maksudnya?"
Pandangan mata Vei menunduk, mengamati rerumputan yang diinjaknya. "Gue takut kesalahan yang gue perbuat berbuah sesuatu yang tak seharusnya."
"Kesalahan itu ada karena kita mesti merperbaikinya. Kita bukan manusia kalo nggak pernah buat yang namanya kesalahan." Feri mengusap puncak kepala Vei. "Sefatal apa pun kesalahan yang dilakukan manusia, dia masih bisa berbuah manis."
Vei harap, perkataan Feri itu benar adanya.
Kesalahan yang berbuah manis.
----------
Tangan Vei gemetar. Tekad perempuan itu sudah bulat. Mau tidak mau ia harus memastikan itu sekarang.
Setelah menghabiskan waktunya bersama Feri dengan mengelilingi kompleks indekosnya, Vei memutuskan untuk memakai alat itu.
Beberapa detik Vei memejamkan matanya, menunggu hasil dari alat itu.
Bola mata Vei terbuka lebar dengan sempurna, kakinya tidak kuat lagi menahan beban dirinya. Ia langsung terduduk lemas di lantai.
Test pack itu masih tergenggam di tangan kanannya. Hasilnya adalah apa yang ada dalam pikirannya selama ini.
Cobaan apalagi yang sedang Tuhan berikan kepadanya?
Mengapa Tuhan memberikannya cobaan hidup secara beruntun?
Menurut Vei, Tuhan itu tidak adil. Mengapa hidupnya begitu sulit? Setiap hari Vei merasa seperti tertekan.
Apakah sebegitu sayangnya Tuhan pada Vei? Sampai-sampai Dia selalu mengujinya seperti saat ini.
Baru saja Vei ingin memulai hidupnya, memulainya dari awal lagi. Namun, itu semua hanya angan-angan nan semu.
Karena pada akhirnya, Vei ingin menyerah.
Di dunia ini tidak ada lagi harapan yang tersisa. Semua telah hilang, terkikis oleh kesalahan yang telah ia perbuat.
Ternyata, satu malam itu berdampak bagi malam-malam berikutnya bagi Vei.
Seandainya Vei tahu seperti inilah kejadiannya, pasti perempuan itu tidak akan pergi ke sana.
Yang tersisa saat ini hanyalah sebuah penyesalan. Memang benar adanya, jika penyesalan itu selalu datang di akhir.
----------
Semalaman Vei menangis meratapi nasibnya.
Hari ini ia memutuskan untuk menemui laki-laki yang menyebabkan hidupnya seperti ini. Bagaimanapun juga ini terjadi karena kesalahan mereka berdua. Vei merasa dirugikan, karena hanya perempuan itu yang menanggung akibatnya.
Sedangkan laki-laki itu? Atta bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Menjalani hidupnya seperti biasa, bahkan tanpa penyesalan sedikitpun.
Vei ingat betul hari ini adalah hari kelulusan kelas XII di sekolahnya. Namun, itu tak mengurungkan niatnya untuk menemui laki-laki itu. Perempuan itu sudah tidak kuat lagi, ia ingin bercerita pada seseorang.
Setidaknya ia butuh satu orang yang bisa mendengar keluh kesahnya. Tidak perlu banyak. Hanya satu, itu sudah lebih dari cukup untuk Vei.
"Vei... lo habis nangis?"
"Enggak kok," elak Vei. Di saat seperti ini ia masih bisa menyembunyikan rasa sedihnya. "Kak Feri, tau Livi sama Rahma ada di mana?"
"Oh... Livi sama Rahma... ada di koridor kelas XII. Di kelasnya Atta."
Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Vei langsung melangkahkan kakinya menuju koridor kelas XII IPS-1.
Vei mengedarkan pandangan matanya. Seseorang yang dicarinya tidak ada di sana.
"Vei..." Rahma melambaikan tangannya. "Sini!"
"Lo lagi cari siapa, Vei?" tanya Livi saat dilihatnya Vei masih mengedarkan pandangannya di sekitar.
"Seseorang," jawab Vei singkat.
Di saat seperti ini, mengapa Atta tidak ada? Vei mengelilingi seluruh tempat yang ada di sekolah, tapi tidak ada. Sebenarnya, Vei bisa menanyakan keberadaan Atta pada Livi. Namun, Vei belum siap.
Pada akhirnya Vei duduk sendirian di bangku belakang sekolah.
Vei merasa hari-hari yang dilaluinya dari hari ke hari kian berat.
Sekilas Vei melihat tubuh laki-laki jangkung yang dicarinya sedari tadi melintas di depannya.
"Kak!" panggil Vei. "Kak Atta! Tunggu."
Bukannya berhenti, tapi laki-laki itu tetap berjalan dengan santainya. Vei yakin Atta mendengarnya. Namun, ia tidak mau berhenti.
"Kak Atta..." Vei meraih tangan Atta.
Ekspresi wajah Atta saat melihat Vei adalah datar. Sedangkan raut wajah Vei penuh harap. Perempuan itu menaruh harapan penuh pada Atta.
"Kak, gue mau ngomong."
Atta menyentak tangan Vei. "Nggak usah pegang-pegang." Kemudian laki-laki itu berbalik dan berjalan lagi.
Vei mengkuti langkah kaki Atta dari belakang. "Gue mau ngomong tentang kejadian malam itu, Kak."
Tidak ada respons dari Atta. Namun, yang jelas laki-laki itu bisa mendengar apa yang dikatakan Vei dengan jelas lewat indra pendengarannya.
"Gimana lo bisa ngelupain kejadian itu? Malam itu? Heh?" tetap tidak ada respons dari Atta.
"Lo jahat. Bener-bener jahat." Mungkin benar jika Atta itu laki-laki yang tidak punya hati.
"Lo tega bilang nggak mau tanggung jawab kalo ada sesuatu terjadi sama gue." Atta adalah laki-laki berhati sekeras batu bahkan bisa lebih keras dari itu.
"Lo laki-laki terberengsek yang pernah gue kenal." Setiap kata yang Vei ucapkan terdengar serak karena ia mulai terisak.
Atta tetap berjalan. Tak menghiraukan isakan tangis Vei yang pilu.
Vei merasa diabakan. Perempuan itu menahan langkah kaki Atta agar tidak berjalan lagi dengan memeluknya dari belakang. Menahan kepergiannya.
"Gue hamil, Kak."
Satu kalimat itu mampu menggetarkan hati Atta untuk beberapa detik.
"Jangan pergi." Vei semakin mengeratkan pelukannya pada Atta.
Untuk pertama kalinya Atta merasakan ada getar terasa saat ada tangan mungil yang melingkar di pinggangnya. Ada perasaan hangat yang menjalar lewat punggungnya hingga menembus ke ulu hatinya. Perasaan hangat itu berasal dari pelukan Vei dari belakang.
Atta diam mematung.
Vei menenggelamkan wajahnya pada punggung Atta. "Kak, gue butuh elo."
Secara perlahan Atta melepaskan tangan Vei yang melingkar di pinggangnya lalu berbalik, menatap sepasang bola mata sendu milik Vei.
"Terus maksud elo apa?"
Vei mendongak. "Gue hamil, Kak." Tangannya mengusap perutnya.
"Terus?"
"Lo tanggung jawab, kan?"
"Udah gue bilang kan..." nada suara Atta mulai meninggi lagi, seperti biasa saat ia berbicara. "Apa pun yang terjadi sama lo nantinya, gue nggak akan bertanggung jawab."
"Kak, lo harus tanggung jawab." Vei menatap bola mata Atta lekat-lekat, berharap laki-laki yang ada di hadapannya ini tersentuh hatinya.
"Kenapa harus gue?"
"Karena ini anak elo, Kak."
"Dari mana lo tahu kalo lo lagi hamil anak gue?"
"Kak!"
"Bisa aja kan lo ngelakuin sama yang lain, tapi malah minta pertanggung jawaban sama gue."
"Kak Atta!" Vei benar-benar tidak menyangka Atta akan mengatakan hal yang seperti itu.
"Satu hal yang gue tau tentang elo," ada jeda pada kalimat yang akan dikatakan oleh Atta. "Lo itu bukan cewek baik-baik."
Bum.
Hati Vei rasanya seperti tertusuk oleh ribuan jarum sekaligus. Kata-kata yang dilontarkan Atta itu begitu melukai harga dirinya. Bagaimana bisa Atta mempunyai pemikiran seperti itu padanya?
"Kak!"
"Lo itu nggak lebih dari cewek sialan yang gue temui di tempat kelab waktu itu." Kata-kata itu keluar dari mulut Atta dengan lancar, seakan itu adalah isi hatinya.
"Atta!"
"Udah gue bilang, kan? Anggep semua itu nggak pernah terjadi..."
"Stop!"
"Oh iya gue lupa waktu itu..." Atta mengeluarkan dompetnya. "Berapa harga lo permalem?"
Plak...
Tamparan keras mendarat di pipi Atta. Vei benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Gue bukan cewek kayak gitu," Vei mencoba membela dirinya sendiri. "Gue nggak seperti yang ada dipikiran elo."
"Terus kayak apa? Lo itu kayak apa? Hah?"
"Gue bahkan nggak pernah gandengan tangan sama cowok lain," Vei menggeleng-gelengkan kepalanya. "gimana bisa gue ngelakuin itu selain sama elo."
"Nggak pernah gandengan tangan? Ck," Atta berdecak. "Emang sih nggak pernah gandengan tangan, tapi langsung pelukan."
Atta kembali mengingat kejadian saat Feri memeluk Vei dan memberinya amplop yang berisi uang.
"Atta!"
"Udah deh... to the point aja... lo minta uang berapa?"
"b*****t!" Vei kembali menampar Atta. "Udah gue bilang... gue bukan cewek kayak gitu!"
"Tampar sepuas lo!" Atta memajukan wajahnya. "Ini semua nggak ngerubah pemikiran gue sama elo."
"Gue cuma minta lo tanggung jawab!" Vei tidak bisa untuk tidak menangis sekarang ini, meskipun sebenarnya ia marah terhadap Atta. "Lo berengsek!"
"Kalo gue berengsek... terus lo apa? Jalang?"
Tamparan kembali mendarat di pipi Atta untuk yang ketiga kalinya.
"Kalo lo nggak mau tanggung jawab bilang! Nggak usah nuduh orang sembarangan." Bulir bening masih setia menetes membasahi pipi Vei.
"Siapa yang nuduh? Emang gitu kan keadaannya?"
Vei menggeleng. Sudah berapa kali ia katakan, bahwa Vei tidak seperti itu. Namun, pemikiran Atta tetap saja. Vei sudah lelah. Ia memukul-mukul d**a Atta, melampiaskan rasa marah, kesal, dan sedihnya yang bercampur jadi satu.
Untung saja Atta dan Vei sekarang ini sedang berada di belakang sekolah, otomatis jarang ada orang yang ke sana. Tidak ada yang melihat mereka berdua saat ini.
"Percaya sama gue... ini anak elo."
"Sampai kapan pun gue nggak bakal percaya."
Pukulan Vei terhadap Atta semakin keras. Vei ingin Atta merasakan sakit yang teramat, seperti rasa sakit yang ia rasakan karena laki-laki itu. Namun, itu mustahil. Karena Atta terlalu kuat.
"Gue benci elo! Elo cowok sialan!"
"Vei!" suara itu membuat Vei menghentikan aktivitasnya memukul-mukul d**a Atta. "Lo ngapain? Apa yang lo lakuin sama Abang gue?"
"Tanya sama Abang elo apa yang udah dia lakuin ke gue... tanya aja sendiri." Vei menunjuk Atta tepat di depan wajahnya itu.
"Bang, sebenernya apa yang terjadi?"
Atta diam membisu. Tak ingin berucap apapun pada Adik perempuannya itu.
"Abang elo itu... cowok terberengsek di muka bumi ini yang pernah gue ceritain."
Bola mata Livi terbelalak. Livi bisa menangkap maksud dari perkataan Vei dengan jelas.
"Abang elo itu... cowok yang nggak punya hati sama pikiran... dan... cowok yang harus dimusnahin."
Livi menggeleng, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Vei. "Nggak! Bang Atta, nggak mungkin kayak gitu."
"Tanya aja sama Abang elo sendiri. Tanya ke dia."
"Bang..." Livi menggelengkan kepalanya. "Bilang enggak, Bang! Bukan Abang, kan?"
Bagi Livi, ini semua seperti mimpi buruk. Kakak laki-lakinya sendiri yang telah merusak sahabatnya. Atta yang telah menghancurkan kehidupan Vei.
"Bang Atta, yang ngelakuin itu sama Vei? Jawab aku, Bang!"
"Anak kecil itu diem aja!" bentak Atta.
"Gimana aku bisa diem, Bang?" kini Livi ikut menangis. "Vei itu sahabat aku."
Satu hal yang Vei tahu, kebenaran itu selalu menyakitkan.
Entah di mana dirimu,
di mana hatimu,
bicara yang jujur jangan kau larikan diri...
Entah di mana dirimu,
di mana hatimu kau biarkan ku menerka tak tentuku.
Bersambung...