"Aku memang makhluk hidup yang tidak punya hati dan pikiran. Bagaimana bisa aku mengabaikanmu setelah semua yang telah aku lakukan terhadapmu?"
-Atta Mahesa-
__________
"Bang," Livi menarik tangan Atta, berusaha menghentikan langkah kakinya. "Abang, harus tanggung jawab."
"Tanggung jawab apa?"
Livi tertawa miris. "Jangan pura-pura nggak tau, Bang. Gue tau semuanya."
"Apa?"
"Bang!"
"Lo kenapa sih? Nggak usah ikut campur!"
"Gimana gue nggak ikut campur?" Livi menegakkan dagunya. "Lo yang udah ngerusak sahabat gue sendiri..."
Livi menatap Atta tepat pada manik matanya. "Abang udah ngerusak hidup seseorang. Abang ngambil harta paling berharga dia."
"Diem!!! Nggak usah ikut campur."
"Pokoknya Abang harus tanggung jawab."
"Gue cuma ngelakuin itu satu kali sama dia. Nggak mungkin dong gue harus tanggung jawab gara-gara itu. Dan lagian itu semua terjadi secara nggak sengaja."
"Maksud lo ngelakuin satu kali apanya?"
"Gue cuma satu kali ngelakuin itu dan nggak akan terjadi apa-apa nantinya."
"Maksudnya kalo lo ngelakuin itu sama dia lebih dari satu kali, misal seratus kali lo baru mau tanggung jawab?"
"Lo gila!" Atta mendelik. "Intinya, apa pun yang terjadi sama dia, gue nggak akan tanggung jawab."
"Bang Atta, please." Livi memijit pelipisnya, ia mulai merasa pusing menghadapi sikap keras kepala kakaknya itu. "Lo yang udah ngelakuin itu dan lo harus tanggung jawab, Bang."
"Yang gue tau dia bukan cewek baik-baik."
"Bang!"
"Ck," Atta berdecak. "Lo nggak tau aja dia itu cewek murahan... lo bakal nyesel udah sahabatan sama dia..."
"Bang!" seru Livi kesal.
"Dia bilang, anak yang dikandung itu anak gue?" Atta menyunggingkan senyumnya. "Cih, cari alesan... bisa aja kan dia ngelakuin sama yang lain selain sama gue."
"Hah?" mulut Livi terbuka. Ia terkejut. "Vei hamil?"
"Yang jelas itu bukan anak gue,"
"Bang Atta, harus tanggung jawab. Harus!"
"Enggak!" bentak Atta.
"Pokoknya Abang harus tanggung jawab."
"Enggak. Abang bilang enggak ya enggak." Atta tetap menolak untuk bertanggung jawab.
"Dasar berengsek!"
"Lo ngatain Abang berengsek?"
"Apalagi namaya kalo bukan berengsek? Kayaknya Abang emang bukan manusia. Abang itu kayak binatang."
Plak...
Satu tamparan melayang di pipi mulus Livi. Perempuan itu memegangi pipinya yang terasa panas. "Ini semakin ngebuktiin bahwa Abang emang nggak punya hati. Kalau pun punya, mungkin hati Abang lebih keras dari batu."
"Lo itu masih kecil! Nggak usah ikut campur!"
"Gue nggak ikut campur! Gue cuma pengin lo tanggung jawab. Jadi cowok itu yang gentle!"
"Bisa diem nggak?!" tangan Atta kembali terangkat ke atas, ia kembali akan menampar Livi lagi.
Livi memejamkan matanya, bersiap untuk menerima tamparan keras dari Atta lagi. Namun, ada tangan kokoh yang mencegah Atta untuk melakukan hal itu lagi pada Livi.
"Cukup, Bang!" El datang layaknya sosok pahlawan yang sedang menyelamatkan tuan putri. Livi langsung bersembunyi di belakang punggung El. "Lo nggak boleh kasar sama cewek."
Jujur. Livi saat ini takut akan sikap Atta yang kasar.
Atta, lelaki yang mempunyai peringai buruk, sifatnya kasar, keras kepala. Ucapannya pun dingin, membekukan.
"Lo nggak usah ikut campur," Atta saat ini sedang marah, ia mendorong tubuh El. Untung saja, El bisa bertahan dalam posisinya. Posisinya untuk melindungi seseorang yang sangat ia sayangi. "Minggir!!!"
"Bang! Udah gue bilang nggak usah kasar sama cewek. Nggak usah maen tangan. Nggak usah pake mukul. Bisa, kan?"
Atta hanya bisa mengepalkan tangannya, menahan puncak kemarahannya yang sudah di atas ubun-ubun.
"El, Bang... Atta... Bang Atta... yang..." ucapan Livi terputus-putus karena tangisannya. "Bang Atta berengsek, El!"
"Sekali lagi lo ngatain gue berengsek..." tangan Atta yang mengepal itu ia angkat ke atas. Bersiap memberi pukulan pada Livi.
El merentangkan tangannya. Mencoba menenangkan emosi Atta.
"Maksud lo ngomong gitu itu apa sih, Liv?" El menolehkan kepalanya pada Livi yang masih sesenggukan.
"Bang Atta... Bang Atta yang udah ngebuat hidup Vei hancur..." seketika itu, tangis Livi semakin kencang.
"Bang Atta?" El menaikkan satu alisnya. "Lo yang udah ngelakuin hal nggak bener sama Vei? Lo yang udah ngerusak Vei?"
Belum sempat Atta buka suara, ia sudah dihadiahi sebuah pukulan di sudut bibirnya. Membuat bibir itu mengeluarkan sedikit darah segar.
Baku hantam pun terjadi antara El dan Atta.
El yang menganggap Atta sebagai laki-laki berengsek yang telah menodai perempuan. El mempunyai prinsip bahwa perempuan itu harus dilindungi, dijaga, tidak disakiti, apalagi dirusak seperti yang Atta lakukan pada Vei.
Sedangkan Atta? Atta tidak merasa bersalah sedikit pun telah merusak hidup seorang perempuan. Ia bahkan bisa dengan tenang menjalani hari-harinya tanpa perlu mengkhawatirkan sesuatu.
----------
Vei duduk dengan menekuk lututnya di sudut kamar indekosnya.
Sendirian. Kesepian. Ketakutan. Sedih. Gelisah. Hancur. Pasrah. Khawatir.
Semua itu bercampur menjadi satu dalam hati Vei.
Air matanya tak pernah berhenti mengalir dari kedua sudut matanya. Entah mengapa air mata itu tidak mau berhenti. Mungkin karena kesedihan yang paling mendalam itu masih terasa menyesakkan di hati Vei.
Di saat seperti ini, Vei sangat membutuhkan seseorang. Seseorang yang bisa menggenggam erat tangannya lalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu. Namun kenyataannya, Vei saat ini sedang terpuruk sendirian.
Hanya seorang diri.
Apakah memang seperti ini takdir hidup Vei yang telah digariskan oleh Tuhan?
Memang benar, Vei pernah merasakan perasaan bahagia. Bahkan ia pernah merasa sangat bahagia. Itu dirasakannya saat kedua orang tuanya masih ada di dunia ini.
Vei yang selalu dimanja, disayang. Apa pun keinginan Vei akan terwujud dalam waktu yang singkat. Ia hidup bergelimang harta. Namun, sekarang?
Hidupnya kini berbanding terbalik setelah kedua orang tua Vei meninggal dunia.
Vei menderita. Hanya kesengsaraan yang dirasakan perempuan itu saat ini.
"Vei... lo ada di dalam?" Feri datang di waktu yang tepat.
Vei langsung cepat-cepat membukakan pintu untuk Feri lalu memeluknya erat.
Ya, Vei butuh pelukan hangat karena hatinya telah beku saat ini. Beku sebab ketakutan yang terasa amat menyiksa batinnya.
Rasa sesak itu masih ada. Bahkan terasa begitu menyesakkan dalam d**a Vei. Menyiksa terus menerus.
"Lo kenapa, Vei?" tangan Feri mengusap lembut puncak kepala Vei. "Lo kenapa nangis? Lo ada masalah?"
"Gue ngelakuin kesalahan terbesar dalam hidup gue, Kak."
Feri merapikan rambut halus milik Vei yang berantakan. "Kan gue udah pernah bilang, kesalahan itu ada karena kita mesti merperbaikinya."
"Kesalahan yang gue perbuat berbuah sesuatu yang tak seharusnya."
"Hah?" sontak Feri melepaskan pelukannya.
"Gue hamil, Kak."
Alis mata Feri terangkat saat Vei mengatakan itu. Bola matanya pun melebar dengan sempurna. Laki-laki itu terkejut.
"Gue ngelakui kesalahan terbodoh dalam hidup ini..."
Feri diam. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Vei.
"Gue bego!" Vei memukul kepalanya. Seakan ingin menyakiti dirinya sendiri.
"Udah... itu bukan sepenuhnya kesalahan elo." Feri menahan tangan Vei.
"Lo nggak marah sama gue?"
"Enggak," Feri menggeleng. "Buat apa gue marah? Toh, itu semua udah terjadi. Kalo pun gue marah, itu nggak akan ngerubah apa pun yang terjadi saat ini."
Vei begitu terenyuh dengan apa yang dilontarkan Feri saat ini. Perkataannya itu begitu menenangkan hatinya. Setidaknya saat ini hatinya terasa lebih tenang. Ia tidak menyalahkan dirinya sendiri sekarang.
"Gue tau... lo ngelakuin itu secara nggak sengaja, kan? Itu kecelakaan, kan?"
Vei mengangguk. Memang benar itu semua terjadi secara tidak sengaja dan Vei tidak pernah mengira ia akan mengalami hal seperti ini.
"Gue paham. Gue ngerti apa yang elo rasain saat ini." Feri menarik Vei dalam dekapannya lagi.
Akhirnya ada satu orang yang bisa mengertikannya. Memahaminya. Walaupun hanya satu orang, itu sudah lebih dari cukup untuk ini semua.
"Hidup gue hancur, Kak." Vei pun mulai menceritakan semuanya pada Feri. "Seharusnya gue nggak pergi ke kelab itu, malam itu... seharusnya ini... nggak akan terjadi kalo gue nggak pergi ke sana."
"Siapa orangnya? Hah?"
"Kak Atta," air mata Vei mulai mengalir semakin deras saat ia mengingat akan Atta. Laki-laki yang sudah membuat hidupnya hancur menjadi berkeping-keping. "Kak Atta jahat."
Tangan Feri terkepal menahan emosinya. "b******n!"
"Dia emang berengsek."
"Gue harus ngasih dia pelajaran."
Vei menggeleng. "Nggak usah, Kak. Percuma. Dia itu nggak punya hati sama pikiran."
"Apa yang udah dia lakuin sama elo? Sejauh mana dia nyakitin elo?"
"Dia nggak mau tanggung jawab, Kak."
"s**t!" Feri nengumpat.
Tangisan Vei semakin menjadi. Membuat Feri ikut merasakan apa yang perempuan di depannya itu rasakan. Ikut merasakan sakit yang teramat dalam.
Ada jutaan rasa marah yang tertahan untuk Atta. Feri bersumpah ia akan memberi pelajaran Atta yang setimpal. Setimpal dengan apa yang telah dilakukannya pada Vei.
"Sstt... udah berhenti nangisnya." Feri menyeka air mata Vei secara perlahan. "Gue yang akan tanggung jawab."
Vei mendongak, menatap sepasang mata serius milik Feri yang menatapnya penuh kelembutan.
"Gue yang akan tanggung jawab." Feri mengulangi perkataannya.
"Kak..."
Feri menarik Vei dalam dekapannya lagi. Entah untuk yang sekian kalinya.
"Apa pun yang terjadi sama elo. Gue nggak bakal ninggalin elo. Gue sayang sama elo, Vei."
Vei bisa merasakan jantung Feri yang berdetak tak keruan. Ini kali pertamanya Feri menyatakan perasaannya pada Vei. Sudah sejak lama laki-laki itu memendam perasaanya. Karena Feri tidak yakin Vei memiliki perasaan yang sama dengannya atau tidak.
"Tapi... ini bukan kesalahan elo, Kak. Jadi, elo nggak perlu bertanggung jawab."
"Biarin gue yang tanggung jawab.
"Kak..."
Feri tersenyum tipis. "Besok kita ke rumah sakit. Mastiin itu semua secara pastinya."
"Kak Feri... lo seharusnya nggak perlu berbuat sampai sejauh ini."
"Gue sayang sama elo udah dari dulu, Vei. Mungkin elo nggak pernah tahu itu, tapi kenyataannya gitu. Gue cinta sama elo. Banget. Jadi apa pun yang terjadi... biarin gue juga yang ikut nanggung itu sama elo."
----------
Feri melangkahkan kakinya dengan terburu. Emosi yang sedari tadi ditahannya meminta untuk segera dilampiaskan pada seseorang.
Sedari tadi ia mencoba untuk menahan emosinya demi Vei. Namun, kali ini tidak. Ia benar-benar akan memberi pelajaran pada laki-laki itu.
Laki-laki berhati batu nan dingin.
"Tumben lo ke sini?" Dani bertanya saat dilihatnya Feri menginjakkan kakinya di tempat nongkrong mereka.
"Atta mana?"
Merasa dipanggil namanya, laki-laki itu segera berdiri. Menghampiri Feri.
Tanpa berpikir panjang, Feri langsung menyerang Atta dengan hebat. Melayangkan beberapa tinjuan di kedua pipi laki-laki itu. Atta tak tinggal diam. Ia juga membalas pukulan Atta.
"Stop!!!" Dani melerai keduanya. Bukannya berhenti mereka berdua malah semakin gencar meninju satu sama lain.
Akhirnya Dani pun pasrah melihat keduanya berkelahi. Karena percuma saja melerai mereka berdua. Mereka akan berhenti saat salah satu dari mereka ada yang menyerah, kalah.
"Hei?" Vivi dan Ribut yang baru saja datang bingung melihat adegan baku hantam yang terjadi antara Atta dan Feri, sedangkan Dani hanya diam menonton.
"Ini ada apa sih?" tanya Vivi penasaran.
Dani mengangkat bahunya. "Gue juga nggak tau."
"b******n lo!" Feri nencengkeram kerah baju Atta. "Anjing!"
Atta tertawa meremehkan. "Maksud lo apa, Njing? Heh?" satu pukulan kembali mendarat di pipi kiri Feri. Begitu pun sebaliknya.
"Ini semua nggak cukup buat nebus kesalahan elo!"
"Gue salah apa sama lo?" Atta memajukan wajahnya seakan menantang Feri.
Feri menghempaskan Atta ke tanah. "Lo... udah... ngerusak... cewek... gue..."
Vivi, Dani, dan Ribut hanya bisa diam melihat adegan baku hantam dan saling menyalahkan itu. Vivi tidak tahu masalah apa yang terjadi antara Atta dan Feri.
"Lo yang ngerusak hidup Vei... dan ini semua nggak cukup buat nebus kesalahan elo."
Vivi, Dani, dan Ribut yang ada di sana tercengang, kaget.
"Vei nangisin elo semalaman! Lo malah di sini... seakan lo lupa apa yang udah lo perbuat. Buka mata lo! Lo itu sampah!"
"Ck," Atta berdecak. "Siapa yang bilang ke lo? Cewek sialan itu?"
"Jangan pernah panggil dia gitu. Dia cewek gue."
Atta mengusap bagian bawah bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. "Dia itu bukan cewek baik-baik."
Feri kembali menghajar Atta lagi kali ini. Laki-laki itu sangat marah saat Atta dengan santainya menyebut Vei bukan perempuan baik-baik. Jelas sekali itu melukai harga dirinya.
"Tutup mulut lo, Sat!"
"Elo yang tutup mulut lo!" balas Atta.
Hati Vivi rasanya mencelos saat Feri dengan terang-terangan bersikap seperti sekarang ini demi Vei. Ya, demi perempuan itu. Namun, Vivi lebih sakit hati tahu bahwa Atta sudah melakukan hal yang di luar batas.
"Lo tuh emang bukan manusia. Dasar, Anjing!" Feri menghajar Atta dengan pukulan bertubi-tubi tanpa henti, membuat laki-laki itu jatuh tersungkur.
Dani dan Ribut segera ambil tindakan dengan memegangi Feri agar laki-laki itu tak memukuli Atta lagi. Sebenarnya Atta bisa saja melawan pukulan yang diberikan padanya, tapi entah mengapa ia sekarang sudah tidak melawan lagi.
Atta sendiri sudah lelah dengan dirinya sendiri.
"Lepasin! Gue mau lenyapin b******n satu itu!" teriak Feri. Laki-laki itu masih penuh emosi.
"Udah, Fer..." ujar Vivi.
"Lo bilang udah? Hah?" Feri memberi tatapan sinisnya pada Vivi. "Ini tuh belum seberapa. Ini nggak ada apa-apanya sama yang Vei rasain."
Bola mata Feri berkaca-kaca, rasanya rasa sakit yang dirasakan Vei bisa dirasakannya, mungkin karena sudah merasuk sepenuhnya kepada laki-laki itu. "Lo pasti bukan manusia... kalo lo manusia lo pasti nggak bakal ngelakuin itu. Apalagi sama Vei," tangannya mengusap bagian belakang rambutnya. "Lo buat dia hancur sehancur-hancurnya. Bahkan gue nggak yakin apa dia punya harapan untuk hidup atau nggak sekarang... yang jelas elo yang buat dia jadi kayak gini."
"Ini juga bukan sepenuhnya salah Atta, Fer." Vivi ikut angkat biacara, perempuan itu tidak mau Atta dipojokkan seperti saat ini. "Ini kesalahan mereka berdua. Jadi, lo nggak boleh cuma nyalahin Atta doang. Sedangkan Vei? Seharusnya dia lebih bisa jaga diri dong!"
"Ini tuh kesalahan mereka berdua!" Feri menunjuk Atta dengan jari telunjuknya. "Sialnya, si b*****t ini nggak mau tanggung jawab... dia ninggalin Vei gitu aja."
"Ta, lo tanggung jawab, kan?"
"Iya, lo pasti tanggung jawabkan, Ta?" Dani ikut menyahut.
Atta hanya diam seperti biasa.
"Lihat! Atta si b*****t ini nggak mau tanggung jawabkan!"
"Tapi... setidaknya kan nggak ada yang terjadi sama Vei saat ini..." Vivi tetap membela Atta. Karena ia merasa perlu melakukan hal itu saat melihat Feri mati-matian bersikap seperti ini hanya untuk perempuan itu.
Feri tertawa miris. "Lo bilang nggak ada yang terjadi sama Vei? Lo nggak tau dia hamil? Hah! Dia hamil! Lo bisa bayangin nggak gimana perasaannya? Pasti sebentar lagi dia akan ngerasa malu nanggung itu sendirian. Orang-orang bakal ngomongin dia sana-sini. Dan yang lebih parahnya lagi... dia bakal berhenti sekolah karena ini. Lo ngerusak masa depan dia."
"Lo keterlaluan, Ta!" Vivi menggelengkan kepalanya, ia tidak tahu bahwa Atta tega melakukan itu pada seorang perempuan. "Lo harus tanggung jawab. Apa yang udah lo lakuin, lo harus tanggung jawab."
Mulut Atta tertutup rapat sedari tadi.
"Cuma satu yang perlu lo lakuin sekarang... pergi menjauh dari dia... jangan pernah muncul di hadapannya lagi... lo nggak punya tempat lagi buat itu... karena gue yang akan ngelakuin itu... buat dia..."
Bersambung...