•Perkataan Hangat•

2164 Kata
"Entah mengapa aku tidak pernah bisa benar-benar marah padamu. Kata-kata benci yang aku ucapkan, tak sepenuhnya bermakna seperti itu." -Raveira Livira Shabira- __________ Atta meneguk minumannya untuk yang kesekian kali. Di samping laki-laki itu ada banyak wanita penghibur. Ya, mereka memang bekerja di sana untuk menghibur orang-orang yang datang. Itu bukan hal baru yang dilakukan oleh seorang Atta Mahesa. Laki-laki itu bahkan sering sekali menghabiskan waktunya untuk pergi clubbing seperti sekarang ini. Atta Mahesa, laki-laki yang sudah mengenal rokok saat ia duduk di bangku kelas 6 SD. Saat anak lainnya masih bermain dengan permainan ala kadarnya saat itu, seperti kelereng. Berbeda dengan Atta yang sudah berkutat dengan rokok. Dan saat dirinya menginjak remaja seperti saat ini, ia mulai mengenal yang namanya gemerlap dunia malam. Membuang waktunya secara percuma untuk sekadar meneguk minuman vodka hampir setiap hari. Bukan hanya vodka, tapi ia juga mengkonsumsi bir, anggur, atau pun minuman beralkohol lainnya. Bagi Atta, ada rasa tersendiri yang dirasakannya saat meminum minuman haram itu. Ia merasakan perasaan tenang. Hati Atta selalu merasa tidak tenang. Perasaannya kalut. Ada hal yang begitu mengusik hatinya sedari dulu. Itulah mengapa ia memilih jalan yang sebenarnya salah. Atta salah pergaulan. Apalagi setelah dirinya berhasil membuat sebuah kesalahan yang fatal. Kesalahan itu bukan hanya berakibat bagi dirinya saja, tapi juga bagi perempuan yang dilukainya. Atta tidak hanya melukai secara fisik, tapi juga secara batin perempuan itu. Atta berjalan dengan sempoyongan menuju kendaraan roda empat yang berada di parkiran kelab malam itu. Meskipun dalam keadaan mabuk, Atta masih bisa fokus berkemudi. Bukan hal baru jika Atta pulang larut malam dengan keadaan mabuk seperti ini. Teguh dan Nila selaku orang tua Atta sudah berupaya mendidik Atta. Membawanya ke jalan yang benar, tapi Atta selalu saja memilih jalannya sendiri. Katanya, ia ingin mencari jati dirinya. "Atta!" suara bariton itu menyambut kedatangan Atta di depan ambang pintu. Matanya sedikit terpejam melihat semua anggota keluarganya terbangun tengah malam seperti ini, karena kelakuannya. "Kamu tahu ini jam berapa?" Bukannya menjawab pertanyaan Teguh, Atta malah berjalan menuju kamarnya. "Atta! Berhenti!!!" sentakan dari Teguh itu membuat rasa mabuk Atta hilang seketika digantikan sebuah senyuman yang mengembang di bibirnya. "Papa, selalu seperti ini kan? Pura-pura peduli di saat yang tidak tepat." "Duduk!" perintah Teguh. "Papa mau membicarakan sesuatu yang penting sama kamu." "Apa lagi yang mau dibicarain, Pa? Nggak perlu." "Kamu bilang tidak ada yang perlu dibicarakan? Hah? Kamu sadar tidak sudah membuat kesalahan." Atta tertawa miris. "Aku kan memang selalu salah di mata Papa." "Kamu mencoreng nama baik keluarga. Bagaimana bisa kamu menghamili anak orang?" Atta sedikit terkejut, secepat ini kedua orang tuanya tahu tentang perbuatannya itu. Diliriknya Livi yang bersembunyi di belakang Nila. Atta yakin, Livi yang memberitahu kedua orang tuanya itu. "Ya iyalah anak orang. Masak aku hamilin anak binatang, kan lucu jadinya." Atta malah meracau tidak jelas. "Atta! Jangan bercanda kamu!" Teguh kembali bersikap tegas. Rahang laki-laki paruh baya itu mengeras. "Kamu harus bertanggung jawab. Papa akan secepatnya menikahkan kamu." "Pa..." Atta membantah. "Papa, nggak berhak ngatur hidup aku." "Siapa yang mengatur? Kamu memang perlu bertanggung jawab. Berani berbuat, berani bertanggung jawab." "Aku nggak sengaja. Lagian itu belum tentu anak aku." Plak... Satu tamparan berhasil menyadarkan Atta dari pengaruh minuman alkohol yang diteguknya tadi. "Jelas-jelas anak yang dikandung Vei itu anak elo, Bang." Livi menyela. Atta menunjuk Livi. "Diem lo!!!" tangannya tergerak akan menjambak rambut Adik perempuannya itu, tapi Livi segera bersembunyi di belakang Nila. "Sengaja ataupun tidak kamu tetap harus bertanggung jawab." "Itu bukan anak gue." Tegas Atta. "Atta!" "Pa..." "Seminggu lagi kamu akan menikah." Kata-kata Teguh itu tidak dapat dibantah lagi, karena laki-laki paruh baya itu langsung meninggalkan ruang tengah. Teguh memang selalu seperti ini. Sikapnya pada Atta dan Livi berbeda. Itu yang membuat Atta jarang berada di rumah. "Ta, kamu harus minta maaf sama Papa kamu." Nila mengelus pundak Atta lembut. "Enggak, Ma. Atta nggak salah. Papa selalu kayak gini sama aku." "Jelas-jelas Abang itu salah. Masih aja nggak mau ngaku." Cibir Livi. "Diem lo anak kecil!" Atta memberi pelototan tajam pada Livi. "Temen lo itu yang sialan!" "Abang kok nyalahin Vei sih? Jelas-jelas di sini itu yang salah Abang Atta. Pake nggak mau tanggung jawab lagi. Mau taruh di mana muka aku, Bang? Hah?" "Iya, Ta. Kamu itu jadi laki-laki yang bertanggung jawab," ujar Nila dengan nada rendahnya. "Ma..." "Abang tau nggak sih rasanya jadi aku? Malu! Malu banget punya Abang kayak lo!" "Sekali lagi lo kayak gini sama gue, gue abisin lo!" "Atta!!! Livi cukup!!!" teriak Nila. Perempuan paruh baya itu menutup kedua telinganya. Livi langsung memeluk tubuh Nila, wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Ingin sekali Atta ikut memeluk tubuh Nila, tapi ia tak kuasa. "Atta sadar! Kamu itu udah dewasa! Udah lulus SMA. Dan kamu tau kamu sudah melakukan kesalahan yang besar, seharusnya kamu bertobat." "Ma..." "Mama, kecewa sama kamu." Atta merasa dirinya selalu saja salah di mata kedua orang tuanya. Apa pun yang dilakukannya di luar dan di dalam rumah tidak ada gunanya. Karena Atta selalu merasa disalahkan. ---------- "Vei, gue mau ngomong sama elo. Boleh, ya?" pinta Livi dengan nada memelas yang hanya dibalas oleh sebuah anggukan oleh Vei. "Sebelumnya, gue mau minta maaf atas kesalahan Abang Atta. Gue nggak tau. Bener-bener nggak tau, Vei." Air mata Livi luruh begitu saja saat kembali mengingat semua ulah Atta. Vei menepuk-nepuk pelan punggung Livi yang naik-turun karena terisak. "Ini bukan salah elo, Liv. Udah berhenti nangisnya." "Gimana ini bukan salah gue coba? Bang Atta... Abang gue sendiri... Abang gue... Abang gue berengsek." Vei memejamkan matanya sebentar. Rasanya masih sama. Saat nama Atta disebut, ada perasaan yang begitu menusuk-nusuk dalam relung hati Vei. Perasaan itu menelusuk lebih dalam dan lebih dalam lagi. Hingga ke bagian terdalam hati Vei. "Gimana ceritanya coba lo bisa ngelakuin itu sama Kak Atta? Karena yang gue tau, lo kan nggak deket sama Kak Atta?" Rahma tampak berpikir sejenak. "Apa ini semacam takdir di antara kalian berdua?" Vei mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. Terlalu pusing bagi Vei untuk memikirkan satu laki-laki itu. Satu laki-laki yang bisa membuatnya merasakan apa itu arti kehancuran dalam waktu sekejap. "Semua terjadi gitu aja," Vei menatap lurus ke depan, menerawang secara kosong. "Gue nggak tau. Ini semacam takdir atau apa. Yang gue tau, ini semua adalah satu kesalahan terbesar yang pernah gue lakuin." "Gue bingung aja gitu, Vei." Rahma masih tetap keukeuh membahas masalah itu, sedangkan Vei benar-benar sudah lelah dengan semua yang terjadi. "Kapan lo ketemu Kak Atta dan sampai akhirnya ngelakuin itu? Gue nggak habis pikir. Perasaan lo sama Kak Atta juga nggak pernah ngobrol bareng." "Itu... kejadiannya pas waktu gue ke kelab." "Lo ke kelab lagi?" "Ya... waktu itu," Vei menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Saat menceritakan tentang malam itu, rasanya ada sebuah luka yang kembali terasa perih di hati. "Pas Livi sama elo ngajakin gue." Rahma tampak mengingat-ingat. "Oh... yang waktu itu. Jadi, lo dateng ke sana? Kok nggak ngabarin kita sih?" Vei tersenyum tipis. Livi menghapus air matanya secara perlahan. "Kok gue nggak lihat elo sih?" "Lo waktu itu bilang kalo kemungkinan 90% lo nggak bakalan dateng. Ya kita nggak tau kalo akhirnya lo dateng." "Kan masih ada kemungkinan 10% gue dateng," Vei mengembuskan napasnya secara perlahan. "Dan kemungkinan itu juga yang ngebuat ini semua terjadi." "Berarti itu kejadiannya pas Kak Atta selesai UN." "Mungkin," balas Vei. "Gue mau ngomong sama elo!" Vei tersentak saat suara penuh tekanan itu terdengar lewat indra pendengarannya. Terlebih, suara itu dari seseorang yang selalu menjadi harapannya. Entah mengapa, Vei tetap berharap padanya. Padahal, Vei tahu harapannya itu tidak akan pernah membuahkan sebuah hasil. Karena pada akhirnya hanya ada rasa kecewa yang hadir. "Gue mau ngomong sama elo! Lo budek!?" laki-laki itu kembali buka suara. Bukan hanya Vei yang dibuat kaget karenanya, tapi Livi dan Rahma yang ada di sana juga kaget. "Ikut gue!" Vei merasakan tangan kanannya ditarik secara paksa. Dan yang bisa dilakukan perempuan itu adalah pasrah, mengikuti langkah kaki yang membawanya pergi dari dalam kamar indekosnya. "Lo bego atau apa sih?" itu kalimat pertama yang dilontarkan Atta saat sudah berada jauh dari indekos Vei. "Gue muak sama elo." "Maksud lo apa? Kita udah nggak ada urusan lagi. Jadi, jangan ganggu gue lagi." Atta menaikkan sebelah alisnya. "Oh... udah nggak ada urusan lagi? Jadi, dugaan gue selama ini bener... kalo anak yang ada di perut lo itu bukan anak gue kan? Iya kan?" "Ini anak elo!" "Terus kenapa lo minta tanggung jawab sama Feri? Heh! Maksud lo apa?" "Gue kan udah pernah bilang sama elo," rasa sesak mulai meradang di d**a Vei saat dirinya kembali dihadapkan oleh sosok Atta. "Lo bilang, lo nggak mau tanggung jawab apa pun yang terjadi sama gue. Itu yang lo bilang! Inget nggak?" Atta membuang arah pandangannya ke samping. "Setidaknya Kak Feri lebih baik hati dari elo. Dia mau tanggung jawab, meskipun ini bukan kesalahannya." Vei memejamkan matanya lalu berbalik sembari mengepalkan tangannya. Ia merasa sakit hati setiap kali menatap kedua bola mata milik Atta. Bola mata yang menunjukkan bahwa tidak ada apa-apa di antara keduanya setelah kejadian malam itu. Itu membuat hati Vei terasa pedih. Ada luka yang tidak terlihat, tapi terasa sekali sakitnya. Langkah kaki Vei terhenti saat ada tangan yang bertengger di bahunya, menghentikan langkah kakinya. Vei akan berbalik, tapi sebuah instruksi mengurungkan niatnya. "Jangan berbalik!" perintah Atta tanpa ragu-ragu. Tangannya masih tetap bertengger di bahu perempuan itu. "Gue tarik omongan gue tempo hari yang lalu." Laki-laki itu menghela napas panjangnya lalu melanjutkan. "Apa pun yang terjadi sama elo, gue akan tanggung jawab." Bersamaan dengan kata-kata yang Atta lontarkan itu, Vei bisa merasakan tangan dingin laki-laki itu yang berada di bahunya. Tangannya dingin, tapi Vei bisa merasakan perasaan hangat tatkala Atta mengatakan kata-kata itu. Kata-kata yang sangat ingin Vei dengar. Ingin rasanya Vei berbalik dan beradu pandang dengan dua bola mata milik laki-laki itu. Namun, Vei lebih memilih untuk tetap berada di posisi seperti itu. Membiarkan Atta mengutarakan isi hatinya padanya. Perlahan, tapi pasti lengkungan bibir tercetak dengan jelas di bibir mungil Vei. "Gue emang nggak sebaik Feri, tapi seenggaknya gue berusaha menjadi baik sekarang." Vei hanya mengangguk pelan sebagai tanda bahwa dirinya mendengarkan Atta. "Besok gue akan bawa lo ke rumah gue, buat bicarain mengenai pernikahan kita." Perkataan Atta itu sukses membuat mulut Vei terbuka dengan lebar. Namun, sedetik kemudian perempuan itu langsung menutup mulutnya rapat. Pernikahan kita? Apa benar Atta baru saja mengatakan itu? Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Vei merasa ada yang salah dengan diri Atta. Bagaimana mungkin Atta bersikap seperti sekarang. Apa Atta sudah berubah? Apa yang membuat Atta berubah? Semua pertanyaan itu terngiang dalam pikiran Vei. "Sekarang lo boleh balik ke ke kosan lo. Cuma itu yang mau gue omongin ke elo." Atta menurunkan tangannya dari bahu Vei, membiarkan perempuan itu melangkah pergi. Dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Vei melangkahkan kakinya sembari meresapi perkataan Atta tadi yang terus terngiang di telinganya. Perkataan hangat Atta itu mampu membuat hati Vei merasa tenang, menghangatkan hati dan pikirannya secara bersamaan. ---------- Di lorong rumah sakit Vei duduk di samping Feri, menunggu nomor antriannya. Sikap Feri semakin melembut pada Vei. Dan itu malah membuat Vei merasa tidak enak dengan Feri. Ia merasa memanfaatkan kebaikan Feri selama ini. Vei bingung dari mana dirinya akan memulai pembicaraan dengan Feri. Rasanya ada rasa canggung yang menyelimuti keduanya. Jadi, Vei lebih memilih diam saat ini. Sedangkan Feri sendiri tidak ingin menganggu Vei. Laki-laki itu ingin memberi Vei kebebasan berpikir untuk saat ini. Setelah semua yang terjadi, Feri yakin hati Vei pasti terguncang karena hal itu. Meskipun Vei berusaha keras menyembunyikan hal itu, tapi Feri tahu. Karena Feri laki-laki yang peka, ia mengamati setiap gelagat Vei. Saat nomor antrian mereka dipanggil, Feri mengajak Vei untuk memasuki ruangan dokter kehamilan itu. Dokter itu sedikit terkejut saat melihat pasiennya kali ini adalah seorang remaja. Namun, ia segera mengalihkan keterkejutannya dengan berbincang-bincang. Setelah itu dilakukan pemeriksaan pada Vei. Saat Vei diperiksa, Feri meninggalkan ruangan dokter kehamilan itu. Tidak ingin ada di sana karena laki-laki itu merasa canggung. Cukup lama Feri menunggu Vei diperiksa. Laki-laki itu mengurangi rasa bosannya dengan berjalan-jalan di sekitar lorong rumah sakit. "Kak..." Vei baru saja keluar dari ruangan Dokter kehamilan itu dengan resep obat yang ada di tangannya. "Udah selesai?" Feri mendekat ke arah Vei. "Gimana kata dokter?" "Emh... itu katanya suruh nebus obat ini." Vei memberikan resep obat itu kepada Feri. "Oh ini... oke." Feri menarik tangan Vei, mengajaknya berjalan beriringan. Setelah menebus obat itu, Feri berencana akan mengajak Vei untuk makan siang. Namun, perempuan itu menolak. "Kak..." Vei melepaskan genggaman tangannya dengan Feri. "Cukup sampai sini aja." Feri bingung dengan perkataan yang diucapkan oleh Vei. "Aku nggak mau ngancurin masa depan, Kakak. Cukup aku aja yang hancur." "Vei... lo ngomong apaan sih?" "Kak Feri, nggak perlu bertanggung jawab. Ini kesalahan aku sama Kak Atta. Jadi, lo nggak perlu tanggung jawab." "Vei, biarin gue yang tanggung jawab." Feri tetap keukeuh ingin bertanggung jawab. Vei tersenyum. "Gue nggak mau lo sendirian nanggung semua ini." "Gue nggak sendirian, Kak." Vei menggeleng. "Ada Kak Atta." "Maksud lo?" "Kak Atta mau tanggung jawab." Satu kalimat itu mampu membuat Feri putus asa untuk mendapatkan Vei. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN