•Status Baru•

2120 Kata
"Ketika mulutku tertutup rapat, diam membisu. Cukup tatap kedua bola mataku. Maka, kamu akan tahu jawabannya." -Atta Mahesa- __________ Vei sesekali melirik Atta yang berada di sampingnya. Perasaan bahagia menyelimuti hati Vei saat ini. "Kak..." Vei mulai membuka pembicaraan di antara keduanya yang sedari tadi hanya diam. Atta diam, masih fokus mengendarai kendaraan roda empat yang mereka tumpangi. "Kak Atta, bisa mampir ke sana," Vei menunjuk toko yang berada di tikungan depan. "Bentar aja." Bukannya berhenti, mobil Atta malah melewati toko itu. "Kok nggak berhenti sih, Kak?" Atta hanya melirik Vei sekilas lalu kembali fokus pada jalanan yang berada di depannya. Vei menatap Atta dengan tatapan meminta penjelasan. Namun, Atta tetap diam. Mobil Atta berhenti tepat di depan rumahnya. Atta langsung keluar dari mobil dulu itu, meninggalkan Vei yang masih melepas sabuk pengamannya. Vei hanya bisa mencibir kesal dengan kelakuan Atta. Sedari tadi dirinya mengajak bicara Atta, tapi laki-laki itu seakan tuli. Tidak mendengar apapun. Hanya diam saja. "Vei, masuk!" Livi menyuruh Vei masuk. "Pa, Ma, Vei udah dateng." "Vei... masuk, Nak." Kini Nila juga ikut menyambut kedatangan Vei. Vei merasa kikuk berada di tengah keluarga Atta saat ini. Ada Nila, Teguh, dan Livi. Meskipun sudah beberapa kali dirinya ke rumah Atta, yang juga sebagai rumah Livi. Namun, kali ini berbeda. Vei ke sana untuk membahas masalahnya dengan Atta, bukan untuk bertemu sahabatnya itu. "Saya Vei, Tante, Om." Vei memperkenalkan dirinya sendiri pada Nila dan Teguh yang dibalas senyuman oleh keduanya. "Udah tau!" lirih Atta. "Saya Nila, Mamanya Atta," Nila menoleh ke samping. "Ini Teguh Papanya Atta." "Iya, Tante." "Nggak usah panggil Tante. Mulai sekarang kamu panggilnya Papa sama Mama aja, ya. Anggap aja kami berdua ini keluarga kamu sendiri." "Kayak nggak punya orang tua sendiri aja." Tambah Atta. "Ta!" "Mama, dia kan punya orang tua sendiri. Kenapa mesti anggap Mama sama Papa kayak orang tuanya sendiri?" Nila memberi pelototan tajam pada anak laki-lakinya itu. "Vei, itu anak yatim piatu. Orang tuanya udah meninggal," ucap Nila dengan setengah berbisik pada Atta. Meskipun begitu, Vei tetap bisa mendengarnya. Atta sebenarnya sudah tahu, tapi ia pura-pura lupa. "Maafkan kelakuan Atta, ya." Teguh meminta maaf, sebagai seorang kepala keluarga, dirinya merasa gagal mendidik Atta. Karena anak laki-lakinya itu telah melakukan sebuah kesalahan besar. "Mulai sekarang, kamu menjadi tanggung jawab Atta dan keluarga kami." "Pernikahan kalian juga sudah dipersiapkan." Vei hanya bisa tertegun. "Kamu bisa undang Om sama Tante kamu buat dateng ke pernikahan kamu." Vei menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak usah, Tante. Nggak usah undang keluargaku." "Loh kenapa?" "Saya takut," "Kamu takut dimarahin?" "Bukan itu, Tante." Vei membasahi bagian bawah bibirnya secara perlahan. "Om sama Tante saya itu..." "Om sama Tantenya Vei itu sering nyiksa Vei, Ma." Livi menyahut. "Nyiksa gimana maksud kamu?" "Bukan nyiksa sih. Cuma sering berbuat semena-mena sama Vei." "Meskipun begitu, kamu harus mempunyai wali untuk pernikahanmu ini, Vei." Teguh menatap teduh sepasang bola mata Vei. "Kamu tenang saja. Om sama Tante kamu tidak akan menyakiti kamu lagi." Atta memberi tatapan sinis pada Teguh dan Vei. Atta merasa, Teguh selalu bersikap baik dengan Livi maupun dengan Vei, seperti saat ini. Namun, mengapa Teguh tidak pernah bersikap baik pada Atta? Saat ini, Atta merasa diasingkan. Tanpa basa-basi Atta langsung menarik tangan Vei, saat obrolan tentang persiapan pernikahannya selesai. Vei hanya bisa menurut atas semua perlakuan Atta padanya. "Ta, pelan-pelan. Kasihan Vei." Kata Nila saat tahu Atta menarik tangan Vei. "Kak... sakit." Rintih Vei, karena pergelangan tangganya memerah saat ini. Atta tetap bergeming. Laki-laki itu baru melepaskan genggaman tangannya saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil. "Lo kenapa sih, Kak? Jadi cowok itu jangan kasar sama cewek!" Atta hanya menatap Vei sekilas, lalu melajukan kendaraan roda empatnya. Vei tahu, Atta akan selalu berkelakuan seperti saat ini. Karena Livi sudah sering sekali menyeritakan perihal Atta padanya. ---------- Semua keperluan pernikahannya sudah dipersiapkan oleh keluarga Atta. Vei menggigit bagian bawah bibirnya, menahan rasa gugupnya. Hari ini, dirinya akan bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya di bumi ini. Vei selalu menghindar dari orang itu, tapi kali ini ia tidak bisa menghindarinya lagi. "Tante, maaf... Vei nggak pernah bermaksud bikin Tante sama Om malu." Vei menunduk, tidak berani menatap bola mata nyalang milik Tia. "Maafin, Vei ya Tante." "Kamu ini! Bukannya belajar yang benar di sekolah. Malah, pergaulan bebas dan sampai seperti ini. Dari dulu, kamu itu selalu membuat malu! Tante jijik sama kamu!" Vei terisak. Tia dengan teganya mengutarakan segala isi hatinya tanpa memikirkan perasaan Vei saat ini. "Kenapa kamu kabur dari rumah Tante? Dasar! Anak tidak tahu diri!" Mungkin jika Vei tidak kabur dari rumah Tia, tetap tinggal bersama Tantenya itu dirinya akan lebih menderita dari ini. "Sekarang sudah puas kamu memalukan kami? Hah!" "Sudahlah, Ma." Tio yang berada di samping Tia tersenyum menyeringai. "Beruntung kamu melakukannya dengan Atta." Vei dan Tia mengernyitkan keningnya, bingung dengan maksud dari perkataan Tio itu. "Siapa itu Atta?" tanya Tia pada suaminya. "Atta Mahesa," Tio mengangguk-anggukkan kepalanya. "Anak dari Teguh... pemilik perusahan ternama di kota ini." Senyum licik kini terbit di wajah Tio dan Tia. Pasangan suami-istri yang licik. "Kamu bisa menguras habis harta kekayaan mereka." Vei menggeleng lemah. "Enggak, aku nggak pernah bermaksud buat ngelakuin ini." "Kamu mungkin nggak pernah bermaksud buat melakukan itu, tapi..." Tio memberi tatapan mengintimidasi pada Vei, "kamu harus bermaksud mengambil harta kekayaannya mulai sekarang. Harus!" Vei tahu, Tio dan Tia tidak akan pernah berubah sampai kapanpun itu. Mereka berdua selalu haus akan uang. Yang ada dalam pikiran mereka hanya uang untuk hidup berfoya-foya. ---------- Hari demi hari terus berlalu. Aktivitas keseharian Vei tetap seperti biasanya. Hanya saja, sekarang dirinya sudah tidak bersekolah lagi. Beberapa hari yang lalu, salah satu guru Vei mengetahui tentang kehamilannya. Dan berakhir dengan mengeluarkannya dari sekolah. Impian dan cita-cita Vei selama ini hanya bisa menjadi angan-angan nan semu yang tidak akan bisa menjadi kenyataan. Karena pada akhirnya, takdir yang akan selalu mengaturnya. Takdir seperti apa yang Tuhan gariskan untuk Vei saat ini? Itu merupakan pertanyaan yang belum terjawab sampai sekarang. Vei menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan haru. Ia tidak menyangkan akan menikah diusianya yang masih muda seperti ini. Perlahan, perempuan itu mengelus perutnya sembari berkata lirih. Kamu memang hadir karena ketidaksengajaan, kesalahan, dan penyesalan yang berbaur menjadi satu. Namun, aku sadar. Kamu titipan Tuhan padaku. Itu sebabnya, aku akan memertahankanmu hingga terlahir di dunia ini. Dunia yang sangat ingin aku tinggal pergi. Setetes bulir bening mengalir dari sudut mata Vei. Akad pernikahan dilakukan secara sederhana dan Vei sekarang tinggal bersama Atta di rumah laki-laki itu sesuai dengan permintaan Teguh. Hari ini hanya berlangsung akad pernikahan Atta dan Vei. Untuk acara resepsi pernikahan akan dilakukan setelah bayi dalam kandungan Vei lahir. Dan pada saat itu juga akan dilakukan akad nikah ulang. Nila menggandeng tangan Vei, menuntunnya masuk ke dalam kamar Atta. Kamar yang juga akan menjadi kamarnya mulai saat ini. Bola mata Vei langsung beredar, mengamati kamar Atta. Kamar yang lebih didominasi oleh warna putih itu menyita perhatiannya. Kamar yang bisa dibilang tidak seperti kamar. "Maafin Atta ya." Nila meringis mengamati kamar Atta. "Kemaren udah dibersihin, tapi kayaknya diberantakin lagi sama Atta." Nila mengambil beberapa baju yang berserakan di lantai. "Mungkin kamu berpikir, kamar Atta ini lebih seperti kandang binatang. Kotor. Kayak kapal pecah. Berantakan banget. Iya, kan?" Vei hanya mengangguk dengan senyum kecil yang mengembang di bibir mungilnya. "Kalo kamu nggak nyaman di sini, kamu bisa tidur di kamar Livi." Nila memberi saran, karena tidak enak sudah membuat Vei tidak nyaman berada di kamar Atta. "Ayo... Mama, antar kamu ke kamarnya Livi." "Emh..." Vei terkesiap. "Nggak usah, Tante. Aku di sini aja." "Panggil Mama aja, ya. Jangan panggil Tante. Kamu sekarang udah jadi anak Mama juga. Kamu inget kan, sekarang kamu ini istrinya Atta." Istri Atta? Status yang tidak pernah dibayangkan oleh Vei sampai saat ini. Vei ingat. Bahkan sangat ingat semua itu. Semua yang terjadi seakan mengalir dengan sendirinya seperti air. Vei menunduk sambil mencengkeram tali tasnya. "Mama, tau kok kamu belum terbiasa," tangan Nila tergerak untuk mengelus rambut panjang cokelat milik Vei. "Ya udah. Mama tinggal dulu, ya. Nanti Atta yang nganterin koper kamu ke sini." Kaki Vei melangkah selangkah demi selangkah. Vei benar-benar dibuat terkejut dengan kondisi kamar Atta saat ini. Meskipun Vei pernah tinggal di indekos yang sempit dan terkadang kotor, tapi ia tidak pernah tinggal di kamar yang mewah seperti kamar Atta ini. Namun, kamar yang mewah milik Atta ini justru seperti kapal pecah. Karena apa? Karena semua serba berantakan dan tidak tertata rapi di tempatnya. Terhitung mulai saat ini, kehidupan yang dijalani Vei kedepannya akan berubah, berbeda. Karena kini dirinya mempunyai status baru yaitu, sudah berumah tangga. Membina hubungan rumah tangga itu tidak mudah. Apalagi diusianya yang semuda ini. Apa yang akan terjadi kedepannya tidak bisa terprediksi dengan tepat. Namun, kita hanya perlu menjalani agar semua berlalu begitu saja. Atta masuk ke dalam kamarnya dengan membawa koper milik Vei. Laki-laki itu menatap Vei dengan tatapan datar. Sedatar-datarnya. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Atta. Vei maju satu langkah. Mendekatkan dirinya pada Atta. Senyum manis mengembang dengan sempurna di bibir mungil perempuan itu. Rasa bahagia menyeruak dalam d**a. Euforia bahagia itu terasa begitu nyata. "Boleh gue ngelakuin sesuatu?" belum sempat Atta menjawab pertanyaan Vei. Perempuan itu sudah lebih dulu jatuh dalam pelukannya. "Gue seneng, karena elo percaya sama gue. Ini beneran anak elo, Kak." "Gue nggak percaya sama elo." Vei menggesek-gesekkan wajahnya pada d**a bidang milik Atta. Ia suka sekali berada dalam pelukan hangat Atta, merasakan kehangatan yang sangat dirindukannya sedari dulu. "Meskipun lo nggak percaya sama gue, nggak papa kok." Atta hanya diam berdiri pada posisi itu. Tangannya ia masukkan ke saku celananya. Tidak membalas pelukan erat dari Vei sedikit pun. "Seengaknya gue bisa percaya sama elo," Vei tidak bisa untuk menahan senyumannya kali ini. "Gue percaya kok, elo itu nggak seberengsek yang gue pikirin." "Jaga jarak!" Atta memegang bahu Vei lalu menjauhkan dirinya. "Ada beberapa peraturan saat lo tinggal di sini." "Apa?" "Jaga jarak antara lo dan gue... inget! Jangan deket-deket sama gue." Vei mengangguk. "Lo... tidur di sofa," Atta menunjuk sofa yang berada di depannya. "Gue tidur di kasur." "Kita nggak tidur di satu tempat tidur gitu? Satu ranjang..." "Mimpi kali lo! Ya, enggaklah." "Kak!" Vei mendelik. "Kita itu udah menikah... kenapa mesti tidur secara terpisah sih?" "Terserah lo! Pokoknya ini peraturan dan lo nggak boleh ngelanggar peraturan." Vei menghela napas pasrah. Atta memang selalu seperti ini. Bersikap sesuka hatinya. Apapun yang dikatakannya harus dituruti. "Oh iya, satu lagi..." Atta memutar bola matanya sebentar. "Selama lo di sini jangan banyak omong. Gue lebih suka lo diem aja. Jangan banyak ngatur. Jangan sok akrab sama gue." Vei membuka mulutnya, bersiap akan membantah Atta. Namun, laki-laki itu lebih dulu melanjutkan perkataannya. "Dan jangan ngelanggar peraturan yang gue buat. Ngerti?" Vei hanya diam sembari menatap lamat-lamat Atta yang berada di depannya. "Lo ngerti nggak?" suara Atta sedikit membentak. "Lo bilang gue nggak boleh ngelanggar peraturan," Vei mencebikkan bibirnya. "Lo tadi bilang, 'gue lebih suka lo diem aja' itu aturan yang lo buat barusan! Ya udah gue diem. Kenapa lo malah bentak gue?" Atta melongo, mendengar penjelasan dari Vei. "Sebel gue sama elo!" "Dasar gila!" seru Atta. "Lo yang gila!" Vei menyahut. "Buat peraturan seenak jidat elo! Seharusnya gue yang tidur di kasur dan elo tidur di sofa." "Ini rumah gue! Jadi, terserah gue." Vei menyisir rambutnya dengan jari lalu mengalihkan perhatiannya dari Atta. Perempuan itu tidak ingin berlama-lama berdebat dengan Atta. Karena bagaimanapun juga Atta yang akan menang dalam perdebatannya. "Ada satu lagi," Vei berbalik, menatap Atta dengan kesal. Bagi Vei, sudah cukup Atta membuat peraturan tidak logis dengan menyuruhnya tidur di sofa. Namun, sekarang Atta akan menambah peraturannya lagi. "Apa lagi? Lo mau apa?" "Jangan suka sama gue," Atta mengatakan itu karena ada kemungkinan yang akan terjadi nantinya. "Jangan sayang sama gue," Kemungkinan yang mungkin terjadi dan mungkin tidak akan terjadi nantinya. "Apalagi cinta sama gue. Jangan. Jangan jatuh cinta sama gue," Mungkin akan lebih baik jika Atta memberi peringatan awal bagi Vei, agar tidak ada lagi kesalahan yang akan terjadi. "Karena gue nggak yakin buat nggak nyakitin elo nantinya." "Gila!" Vei menatap lurus kedua manik mata milik Atta. "Gue gila kalo gue bisa suka sama cowok kayak elo! Bisanya kasar sama cewek, nggak bertanggung jawab. Apa yang mau gue harapin dari cowok kayak elo? Hah! Lo itu cowok berengsek yang gue tahu." "Tadi lo bilang, kalo gue nggak seberengsek yang lo pikirin? Kenapa sekarang berubah?" "Itu tadi..." Vei mengatur napasnya. Selalu saja, jika berbicara dengan Atta emosinya menjadi memuncak naik. "Sekarang gue yakin lo itu cowok terberengsek yang pernah gue kenal." Baru kali ini hati Atta tersentuh. Baru kali ini ada seseorang yang berani mengatakan hal seperti itu padanya. Banyak orang yang mengatakan bahwa Atta adalah laki-laki berengsek. Namun, mengapa saat Vei yang mengatakan itu rasanya berbeda? Rasanya ada perasaan tidak terima dalam hatinya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN