Prolog

704 Kata
Deutsches Museum, Munich, Jerman. 27 Maret, 2021 Pukul 22 : 39 Malam Seorang ilmuwan berlari terengah-engah. Keringat dan kucuran darah mengucur deras dari wajahnya. Sambil mulutnya terus mengucap istighfar, ia mencoba menelpon seseorang dengan tergesa-gesa. Dia adalah Audrey Von Reus. Seorang yahudi askhenazi yang memeluk Islam lima tahun yang lalu. Seorang donatur sekaligus pengumpul dan supplier kitab-kitab kuno bagi Deutsches Museum, museum terbesar dan terlengkap di dunia yang menyimpan 30 ribu lebih koleksi dari 55 macam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Audrey merupakan saintist, futurist, antropolog, sekaligus inventor berdarah Jerman yang paling berpengaruh di Eropa saat ini. Jerman dari dulu yang dikenal sebagai Das Land der Erfinder—negeri para penemu—memang menjadi poros dan pencetak para inventor paling berpengaruh yang mengubah wajah peradaban manusia hingga terlahirnya kemajuan industri yang pesat di akhir abad ke 19 dan awal abad 20. Malam ini Audrey Von Reus merasa bahwa bahaya yang sedang mengejarnya—yang ingin mengambil penemuan paling rahasia dan paling berharga miliknya, akan menghantarkannya pada pangkuan Tuhan yang maha kuasa, yakni kematian. Ia tidak ingin meninggal dengan sia-sia dan tidak ingin penemuannya yang menurutnya akan mampu mengubah seluruh dunia itu, jatuh ke tangan yang salah. Sehingga di masa-masa kritisnya saat ini ia memutuskan untuk menghubungi kolega sekaligus rekan kepercayaannya. Hanya ini satu-satunya hal yang ia bisa pikirkan ditengah kejaran dari malaikat kematian. Ia terus mencoba untuk menghubungi, seorang sahabat akrabnya dari Indonesia. Sedari tadi Audrey Von Reus terus menerus mengontak Dr. Ishak Latefi di Jakarta. "Angkatlah ... angkatlah ...." Ucapnya dengan gelisah. Lalu ponsel yang sejak tadi berdering di tengah kesenyapan ruangan museum yang kosong, berhenti berbunyi dan akhirnya diangkat. "Halo ... Dr. Ishak?" "Ya, Tuan Audrey ada apa? Maaf aku tadi sibuk. Ada masalah apa anda menghubungiku saat ini?" "Dr. Ishak. Apa kau masih ingat dengan ucapanku tentang sebuah salinan kitab yang kutemukan? Yang mampu mengubah dunia yang pernah kita diskusikan secara rahasia?" "Ya, aku ingat. Kitab Raziel HaMalakh yang asli, yang berbeda dari manuskrip kitab Raziel abad ke 13 di Museum Amsterdam. Lantas, ada apa?" "Sepertinya waktuku sudah tidak banyak. Ada yang mengejarku ... mereka mencari penemuanku itu. Sepertinya malam ini aku akan menghadap Allah, kawan. Mereka ingin merebut kitab itu. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi." "Apa maksudmu?" tanya Dr. Ishak nampak terkejut. "Siapa? Tolong katakan apa yang sedang terjadi disana, halo Tuan Audrey?" "Aku telah mengirimkan sebuah flashdisk berisi semua algoritma dalam rangkaian konsolidasi data terurai yang berisi kitab tersebut ke Jakarta, untukmu. Jagalah! Sebagai seorang dokter neurologist sekaligus pemimpin dari tim peneliti proyek Deus Scale, aku mengandalkanmu. Pergunakanlah itu. Sebagaimana yang telah pernah kita diskusikan. Tidak ada waktu lagi untuk memperdebatkannya my friend. Secara hipotesa itu berhasil, kan? Bahkan simulasi model reaktif rekayasa sel glial milikmu juga menyatakan hasil yang sama ...." Audrey mulai meringis kesakitan. Ia kembali berlari keluar menuju sebuah jembatan. Tertatih dengan tubuh mulai ringkih. "Tuan Audrey...!? Apa kau baik-baik saja? Aku akan menelpon bantuan untukmu. Tuan Audrey...!?" teriak Dr. Ishak. "Selamat tinggal teman. Selanjutnya kuserahkan padamu." Kata Audrey menutup teleponnya dengan dua buah moncong senjata telah mengarah tepat ke kepalanya. Ditodongkan oleh dua orang misterius berjas hitam dengan tatapan tak kenal belas kasihan. "Siapa yang kau hubungi? Bahasa apa itu?" tanya salah seorang penodong. "Itu bahasa Indonesia." Sahut salah seorang rekan si penodong. "Sepertinya ... urusan kita disini telah selesai," "Aku tidak takut mati, kau bisa membunuhku kalau mau. Tapi kalian semua tidak akan mendapatkan apa yang kalian cari. Aku telah mengurainya menjadi beberapa pecahan data dan kusebar di seluruh jaringan global. Kalian tidak akan bisa melacaknya bahkan dengan komputer canggih sekalipun. Kitab itu sudah tidak ada! Percuma saja kalian mencarinya," "Apa kau bilang? Itu artinya kau sekarang tidaklah lagi berguna," ucap salah seorang penodong pistol sambil menarik pelatuknya. Suara tembakan senjata menggema di sekitaran kawasan museum yang sepi. Audrey Von Reus meninggal dengan simbahan darah diatas Jembatan Bosch di dekat museum. *** Ruang Eksperimen LIPI, Jakarta, Indonesia. 14 September 2022. Seorang pria nampak berbaring dengan kabel-kabel komputer terpasang padanya. Ada sekelompok ilmuwan berbaju putih yang juga tampak mengelilingi pria tersebut. Terlihat dari raut wajah pria itu, sebuah kemantapan hati. Sebuah keyakinan kuat akan apa yang akan dijalaninya saat ini. Sepasang tatapan yang menatap jauh ke masa depan yang cerah. "Kau sudah siap?" Pria itu hanya mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN