1. Permintaan
Abi baru saja memarkirkan mobilnya di depan pintu rumah bertingkat itu. Pria muda berwajah Indonesia dengan rambut sedikit pirang itu heran, karena dari pagar hingga pintu depan rumah itu terbuka, seakan menunggu tamu tapi tak ada siapa pun terlihat. Ke mana semua orang di rumah ini?
Pria itu membuka pintu mobil, dan berdiri. Ia merapikan jas di tubuh jangkungnya sebelum melangkah masuk. "Assalamualaikum."
Tak terdengar ada yang menyahut. Tiba-tiba dari lantai atas terdengar teriakkan. Juga suara orang ramai dari atas sana. Mata Abi segera mencari tangga dan menaikinya. Ia begitu penasaran. Terlihat sebuah kamar yang pintunya terbuka. Ia mencoba masuk.
Tampak pemandangan orang-orang yang sedang berkumpul di dekat beranda. Semua mata tertuju pada seorang gadis berkerudung biru yang tengah berada di pinggir pagar balkon dan telah menurunkan kakinya sebelah keluar. "Pokoknya aku gak mau nikah sama orang brenggsek itu, aku bisa gilla! Lebih baik aku loncat saja, biar matti sekalian!"
"Yasmin, jangan begitu, Nak ... ayah bisa matti berdiri, ini ... Tolong kasihanilah orang tuamu ini, Nak ...." Seorang pria paruh baya berusaha membujuknya dengan lemah lembut.
"Yasmin, apa kamu gak kasihan sama Ayah? Nanti nama keluarga kita akan jadi omongan orang kalau kita tidak menikahkan kamu." Seorang pria muda di sisi yang lain juga ikut membujuknya.
"Apa kakak tidak pikirkan perasaanku, Kak? Dia sudah menodaiku, tapi sekarang aku harus menikah sama dia. Apa ini adil? Di mana keadilan untukku, Kak?" Terlihat air mata gadis itu mengalir. Pipinya sudah basah. Kelopak matanya sudah bengkak. Sepertinya sedari tadi ia menangis terus.
"Ada apa ini?" Abi ikut bicara. Dengan tenang ia mendekat.
Orang-orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arahnya.
"Pak Abi ...." Tiba-tiba pria paruh baya itu ingat sesuatu. "Ah, aku lupa membatalkan janji denganmu ...."
Abi melirik gadis itu yang terlihat malu karena ditemui dalam keadaan berantakan seperti itu. Yasmin buru-buru menghapus air matanya dan menghindar dari pandangan pria itu. Namun sudah terlanjur, Abi sudah menangkap wajah cantik gadis itu walaupun matanya sembab. "Anakmu mau menikah?"
"Iya, rencana hari ini. Mendadak sekali." Ramdan bingung dengan kehadiran Abi yang tiba-tiba. Padahal ia berjanji akan melakukan kunjungan bisnis ke pabriknya bersama Abi. Gara-gara kejadian mendadak ini, ia lupa membatalkan pertemuan hari ini.
"Ayaah ... aku tidak mau menikah dengannya, Ayaah ... lebih baik aku matti saja." Yasmin kembali terisak. Kini ia bergerak akan menurunkan kakinya yang satu lagi ke bawah.
Semua orang terlihat panik. Bahkan kakak Yasmin mengangkat kedua tangannya karena kebingungan. "Yasmin, jangan!"
"Bagaimana kalau menikah denganku?"
Semua orang menatap ke arah Abi termasuk Yasmin. Gadis itu melongo. 'Pria ini ingin menikah denganku?'
Abi melihat reaksi Yasmin yang tiba-tiba diam. Pelan ia mencoba mendekati. "Aku hanya mencoba menolong." Dengan penuh percaya diri dan melangkah tenang, ia terus bicara. "Karena kamu tidak mengenalku, kamu bisa bikin kesepakatan apa saja. Aku akan menyetujui. Aku hanya ingin menolong." Pria itu kini sudah berada tepat di depan Yasmin.
Gadis itu menangis di hadapan pria itu. Air matanya mengalir deras. Ia bisa melihat ketulusan pria ini di kedua matanya.
Abi begitu iba melihat matanya yang lembut itu terus-terusan mengeluarkan air mata. "Aku janji aku akan menepatinya. Walau aku sudah punya istri, tapi kalau kamu mau ...." Ia bicara tanpa berpikir. Keluar begitu saja karena tak tega.
"Aku mau ...." Mata Gadis itu sudah basah kembali oleh air mata, tapi Yasmin sudah bisa tersenyum ke arahnya.
Sedikit terkejut, tapi Abi lega. Ia tidak mengira gadis itu akan menyetujuinya. Padahal ia sendiri bingung kenapa ide itu tercetus begitu saja dari mulutnya tanpa berpikir terlebih dulu. Apa ia terpesona dengan kecantikan gadis ini atau benar-benar prihatin dengan keadaannya?
Diulurkan tangannya agar bisa membantu gadis itu naik. Namun ketika Yasmin ingin meraih tangan pria itu, ia terpeleset. "Ahh!"
Yang lain terkejut, tapi Abi dengan sigap menangkap tubuh gadis itu dan menariknya ke atas. Setelah itu ia melepaskan tubuh gadis itu yang terlihat masih trauma akan sentuhan. "Eh, maaf ya, maaf."
Gadis itu hanya mengangguk saat menunduk. Nampaknya ia juga takut saat hampir jatuh hingga tubuhnya kini lemas. Sang ibu yang sedari tadi hanya bisa menangis, menarik tangan Yasmin agar menjauhi beranda dan memeluknya. "Yasmin anakku ...." Sang ibu masih menangis. Yasmin tenang dalam pelukan sang ibu.
Beberapa saat kemudian, Abi dan Ramdan sudah berada di ruang tamu. Abi menelepon saudara angkatnya, Gio, untuk menjadi saksi pernikahan.
"Abi, ini gilla. Kau menikah lagi?" Terdengar suara dari ujung sana yang seakan syok. "Bagaimana kalau Mama tau, dia akan langsung terbang dari Lampung ke sini untuk mencarimu, Abi." Suaranya hendak menghardik tapi tertahan mengingat begitu banyak penderita yang ditanggung adiknya.
Abi yang tengah bicara di telepon, merasa tak nyaman duduk di depan Ramdan. Ia kemudian beranjak berdiri dan menjauh sambil membelakangi pria itu. Suaranya hampir berbisik. "Kakak, tolong. Jangan bilang Mama, kasihan. Dia baru kehilangan, Papa. Masa iddahnya juga belum selesai."
Gio menghela napas panjang. Belum lama ini ayah mereka berpulang, jadi pasti bukan ibu mereka saja yang bersedih, tapi semua. Termasuk Abi.
"Biar aku yang bicara pada Mama. Aku janji, Kak."
"Kau selalu memilih menderita sendiri dibanding bahagia. Masalah apa lagi yang kamu hadapi sekarang, hah?" Gio tampaknya mulai kesal. Karena posisinya sebagai saudara angkat, Gio selalu tidak pernah dilibatkan Abi dengan masalah keluarganya. Kadang Gio merasa kasihan pada adiknya ini yang menanggung masalah keluarganya seorang diri.
"Tolong, Kak. Aku ingin membantunya."
"Apa maksudnya, itu?" Dahi Gio berkerut. Matanya yang sipit semakin sipit saja tapi tak mengurangi ketampanannya walau kulitnya tergolong umum untuk orang Asia.
"Kak, aku bersungguh-sungguh."
"Apa?" Perlahan Gio berusaha menelaah ucapan adiknya. Ia menyadari Abi sedang berada di rumah calon mertuanya hingga tidak bebas bercerita. Karena itu ia berusaha menebak apa maksud perkataannya. "Apa kau menyukainya?"
"Tolong, Kak."
Gio mendengus sambil merapikan jasnya. "Ok. Kakak akan bantu kalau itu demi kebahagiaanmu."
"Terima kasih, Kak. Nanti aku share alamatnya." Abi menutup telepon dan langsung mengirimkan alamatnya lewat pesan singkat. Wajahnya terlihat lebih cerah. Kemudian ia mendatangi Ramdan.
"Aku sendiri bingung harus bersikap bagaimana terhadap Pak Abi. Aku merasa tertolong tapi juga minta maaf telah menyusahkan Pak Abi." Ramdan merasa sungkan.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga senang bisa menolong Bapak."
"Tapi bagaimana dengan istri Bapak? Apakah dia mengizinkan?" Ramdan tahu, istri Abilah pemilik perusahaan tempat ia bermitra. Kalau wanita itu tahu suaminya menikah lagi, apakah mereka akan bercerai? Sebenarnya tak masalah buatnya, karena ia bisa menarik Abi bekerja di perusahaannya. Ia senang pada pria ini. Masih muda tapi punya aura kepemimpinan yang tinggi. Dari raut wajahnya tidak mudah membaca apa yang dipikirkannya karena pembawaan yang begitu tenang.
"Rencananya, kalau boleh. Aku ingin membawa anak Bapak Yasmin tinggal di rumah Saya. Jadi istri Saya juga tahu dan Saya bisa melindunginya."
"Oh, silakan saja, Pak." Ramdan tersenyum senang.
"Mungkin mulai hari ini, Bapak bisa panggil nama Saya?"
"Oh, iya-iya. Nak Abi ya." Ramdan mengangguk-angguk sambil tertawa kecil karena mengerti maksud perkataan pria ini.
Dari arah tangga, turun Yasmin membawa sesuatu di tangan. Ia sudah berganti pakaian dengan gamis satin berwarna kuning yang sangat cantik di kulitnya yang putih. Rasanya kali ini, Abi benar-benar terpesona dengan kecantikan gadis itu, walaupun wajah Yasmin masih kelihatan sendu.
"Tolong tanda tangani perjanjian ini." Yasmin menyodorkan kertas dan pulpen pada Abi.
Bersambung ....