Kembar Tapi Beda - 3

2098 Kata
Dari balik pantulan cermin, tampak seorang gadis berwajah kuyu dengan rambut semrawut. Menepuk-nepuk kedua pipinya, Ranu berusaha memberikan semangat pada diri sendiri. Meraih ikat rambut di atas meja rias, gadis itu mulai mengikat rambut panjangnya menjadi cepolan.  Sudah nyaris satu minggu sejak memergoki panca bersama wanita lain di apartemen pria itu. Dan tak ada satu pun telepon, atau setidaknya pesan yang dikirimkan panca padanya. Sekadar basa-basi, menanyakan kabarnya setelah pria itu sukses meremukkan hatinya pun tak ada. Ranu mendengkus, mungkin saja panca sudah menganggap hubungan di antara mereka saat ini, hanya dua orang asing yang sempat bersinggungan di masa lalu. Baiklah, patah hati tidak akan membuat Ranu kaya, air matanya yang bercucuran nyaris satu minggu tak berubah menjadi butiran mutiara. Dia justru membuang uang untuk membeli banyak tisu. Hal yang disesalinya kini, untuk apa sibuk bermuram durja? Jadi lebih baik, kini dia fokus mencari rupiah. Ranu keluar dari kamarnya, suasana sepi dan temaram yang ia temukan. Ibunya pasti masih memeluk erat bantal guling, sementara ayahnya entah tengah mabuk dan berjudi di mana? Menyeret langkah menuju dapur, Ranu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat donat yang kemarin dibelinya. Berawal dari iseng mendapat banyak kentang mentah dari salah satu rekan kerjanya yang baru pulang dari kampung halaman, Ranu mengolahnya menjadi beberapa makanan. Tak hanya untuk lauk, tapi juga camilan. Salah satunya donat kentang.  Sebagai ucapan terima kasih, dia bawa donat hasil buatannya ke tempat kerja dan dibagikan untuk teman-temannya di sana. Siapa yang sangka, iseng yang dia lakukan justru menjadi pintu awal menambah rezeki. Salah satu temannya menyukai donat buatan Ranu dan menawarkan untuk kerja sama. Kebetulan ibunya baru saja membuka toko kue kecil-kecilan. Karena hanya di urus sendirian, membuatnya sedikit keteteran dalam menyajikan beberapa variasi kue. Teman Ranu menawarkan agar donat buatannya bisa di titipkan ke toko kue ibunya.  Tentu saja, pada detik pertama, Ranu langsung mengiyakan. Tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang bisa membuatnya mendapat penghasilan tambahan. Meski setelahnya, dia harus memutar otak untuk mencari uang modal membeli bahan-bahan. Seolah mendapat kemudahan, kemarin Ranu mendapat uang gajinya yang di majukan dua hari dari biasanya. Separuh gaji yang ia dapat kemudian di sisihkan untuk membeli bahan-bahan donat yang akan dibuatnya. Sementara sisanya lagi ... Berpindah tangan ke kantung daster ibunya. Tapi untung saja, Ranu masih sempat menyelipkan dua lembar seratus ribuan di dalam sepatunya dan berhasil lolos dari razia ibunya yang hanya menggeledah isi tasnya. Matahari belum berjinjit meneriakkan pagi, karena sekarang masih pukul tiga dini hari. Ketika sebagian besar orang masih sibuk bergelung di bawah selimut, Ranu sedang sibuk berkutat dengan adonan donat kentangnya. Setelah beberapa lama, akhirnya Ranu sudah nyaris pada tahap akhir. Tinggal sebagian lagi adonan yang sudah ia bentuk bulat dan dibolongi bagian tengahnya, untuk di goreng. Beberapa yang sudah di goreng tengah di dinginkan sebelum nantinya ia taburi gula putih sebagai topping. Karena keterbatasan modal, untuk sementara Ranu hanya bisa membuat satu varian rasa.  Waktu semakin berjalan cepat, bahkan nyaris sudah lewat tiga puluh menit yang lalu waktu azan subuh berkumandang. Membuat Ranu tergesa menyelesaikan semua donat-donat buatannya.  Mengela napas, Ranu mengusap peluh yang menyesaki kening dan lehernya. Tubuhnya sudah sangat lengket dan tidak nyaman karena gerah. Ia harus bergegas mandi. Tak sekedar untuk membersihkan diri, tapi juga mengejar waktu salat dan bersiap berangkat kerja. Ah, dan menyiapkan sarapan untuk ibunya yang biasa bangun pukul setengah sepuluh nanti. Setelah semua donat buatannya sudah selesai dibuat dan tertata rapi di wadah, Ranu segera beranjak ke kamarnya untuk mengambil handuk dan pakaian kerja. Tak membutuhkan waktu lama bagi Ranu untuk bersiap-siap, karena keterbatasan waktu, gadis itu hanya sarapan satu buah donat hasil buatannya sendiri. Tadi, dia memang menyisakan tiga donat untuk Ibunya. Setelah memasak sarapan untuk ibunya yang masih sibuk mendengkur di dalam kamar. Ranu memakai tas selempangnya lalu membawa wadah berisi donat-donat buatannya. Dia harus bergegas agar tak terlambat masuk kerja. ***  Jam makan siang, adalah saat-saat tersibuk Ranu dan teman-temannya mengahadapi serbuan para pengunjung. Lokasi rumah makan tempatnya bekerja memang berada di kawasan yang cukup strategis. Jadi tak heran, jika menjadi salah satu pilihan para pekerja mengisi perut yang sudah berisik minta dikenyangkan. Seperti Ranu yang cukup kepayahan menenangkan perutnya yang sedari tadi merengek minta di isi, mengingat, hanya terisi donat yang menjadi menu sarapannya tadi pagi. "Ran,"  Tepukan di pundaknya membuat Ranu berjengit karena terkejut. Menolehkan wajah, di dapatinya seorang wanita dengan hijab hitam bermotif bunga putih melengkungkan senyuman permintaan maaf karena membuatnya terkejut, "kaget ya?" Tanyanya. Meringis, Ranu mengangguk-anggukkan kepala, "kenapa Mbak?" Wina, rekan kerja yang bahkan sudah Ranu anggap seperti kakaknya itu menyodorkan plastik kresek berisi bungkusan, "ke belakang sana, makan siang dulu. Pengunujng juga sudah mulai berkurang. Gantian sama yang lain yang udah makan siang." Ranu menatap kresek yang disodorkan Wina padanya. Ada rasa sungkan yang masih sering ia rasakan setiap kali wanita yang usianya lebih tua lima tahun darinya itu. Cukup banyak, Wina tau kesulitan hidup yang harus Ranu emban.  "Nggak usah Mbak, belum lapar, nanti saja." Dusta Ranu, menolak secara halus pemberian Wina yang terlalu sering memberinya makan siang. Mungkin tau jika kantungnya jarang terisi uang. "Ran, ini sudah terlanjur dibeli, sayang, nanti mubasir. Udah berapa kali Mbak bilang? Jangan sungkan sama Mbak. Sudah sana ke belakang, sebelum ramai lagi, nanti beneran nggak bisa makan siang." Entah untuk alasan apa, Ranu merasakan jika matanya terasa memanas. Ketika tak ada yang peduli, bahkan dua sosok yang ia panggil ayah dan ibu di rumah, Mbak Wina justru begitu memperhatikannya. "Makasih ya Mbak, nanti kalau aku ada uang, aku ganti." "Ran, jangan bikin Mbak sewot ya Kamu?" Ranu terkekeh mendengar gerutuan Mbak Wina. Wanita itu memang tak suka jika Ranu menganggap pemberiannya seperti hutang.  Menggumamkan ucapan terima kasih sekali lagi, Ranu pamit pergi ke belakang untuk makan siang. Ada setidaknya sepuluh karyawan yang bekerja di rumah makan tempat Ranu bekerja, terdiri dari empat pria dan enam wanita. Ranu sendiri baru sekitar dua tahun bekerja. Sebelumnya, ia melakukan pekerjaan serabutan. Dari menjual gorengan keliling sekitaran rumah, tukang cuci piring di warteg, hingga menerima jahitan baju di rumah yang sayangnya hanya sebentar karena mesin jahit yang ia beli dari tabungannya dijual ayahnya untuk ya ... Apalagi kalau bukan berjudi. Padahal, hasil dari menjahit baju cukup lumayan karena disekitar tempat tinggalnya jarang ada tukang jahit.  Ranu sendiri bisa menjahit pakaian karena sempat mengikuti les menjahit, dengan uang dari hasil ia menjadi guru les beberapa adik dan tetangga teman sekolahnya sewaktu SMA. Berkat beasiswa yang didapat, Ranu berhasil tetap bisa sekolah di salah satu sekolah elit meski saat itu usaha ayahnya gulung tikar. Jika saja tak memutar otak, Ranu mungkin terpaksa putus sekolah. Meski hanya mengenyam hingga bangku SMA. Apalagi Ayah dan Ibunya sudah lepas tangan dan tak mau ambil pusing. ***  Senyum Ranu kembali merekah, saat tatapannya jatuh pada wadah yang tadi pagi terisi banyak donat, kini sudah kosong. Melewati jalan gang yang sempit dan gelap menuju rumahnya, gadis itu terus mengucap syukur, karena Ibu Ratmi, pemilik toko kue yang ia titipkan donat buatannya, meminta jumlah donatnya di tambah. Beliau bilang, banyak yang suka dengan donat buatan Ranu, hingga tak butuh waktu lama untuk ludes terjual. Senyuman Ranu yang sejak tadi menghiasi wajah lelahnya meluruh, saat di teras sempit rumahnya, ia menemukan motor butut yang sangat ia hafal milik ayahnya. Hanya ada dua kemungkinan ayahnya pulang sebelum dini hari. Jika bukan karena kelaparan, maka sudah pasti kehabisan uang untuk berjudi.    Ranu memeluk erat wadah yang sejak tadi di tentengnya. Alih-alih berjalan menuju pintu depan, gadis itu justru melipir ke pohon jambu samping rumah. Ia akan bersembunyi sampai sang ayah pergi. Jika nekat masuk, semua uang yang ada sekarang sudah pasti di rampas hingga tak menyisakan satu rupiah pun. Jika sebelum-sebelumnya Ranu hanya bisa pasrah. Tapi tidak kali ini, uang yang kini berada ditasnya adalah modal untuk membuat donat. Usaha kecilnya baru saja di mulai, jangan sampai harus gulung tikar bahkan ketika belum dua puluh empat jam merintis. Ranu berjongkok sembari memeluk wadah, sesekali tangannya menepuk anggota tubuh yang menjadi santapan para nyamuk. Ck, dia pasti menjadi menu makan malam bagi nyamuk-nyamuk yang berkeliaran. Terlebih, tubuhnya yang bau apek karena belum mandi. Saat ini, tak ada yang bisa Ranu lakukan selain berdo'a agar ayahnya cepat pergi dari rumah. Sementara itu, Indra sedang sibuk mengumpat dengan tangan yang mengacak-acak isi lemari Ranu. Nyaris semua baju yang tertata di dalam sana ia keluarkan dengan melemparnya asal. Tapi belum berhasil menemukan tabungan tersembunyi milik putrinya. Di mana lagi anak sial itu menyembunyikan uangnya? Indra benar-benar kesal karena Ranu selalu memindah-mindahkan tempat persembunyian uangnya. Senyum culas pria itu tersungging saat mengingat sesuatu. Berderap cepat keluar kamar, ia mencari-cari sapu. Di lihatnya sang istri yang tengah terbahak menyaksikan acara komedi. Dengan tubuh gempal terbaring di atas sofa butut sembari memeluk toples berisi keripik singkong.  "Mira, kamu lihat sapu di mana?" Tanya Indra setelah berdiri di samping sofa panjang yang ditiduri istrinya. "Mira!" Teriaknya kesal karena tak di acuhkan, "di mana sapu?!" "Ck, nggak tau!" Balas Mira dengan teriakan, tanpa menoleh ke wajah suaminya yang memerah karena emosi. Kesal, Indra meraih remote di atas meja dan mematikan tv yang tengah disaksikan istrinya. "Apaan sih?!" Mira berteriak marah. Dengan sedikit kepayahan, wanita paruh baya dengan roll rambut yang bergelantungan di kepala itu merubah posisi berbaringnya menjadi duduk, "kamu tuh nggak usah pulang, kalau cuma bikin emosi doang! Bawa uang juga nggak! Cuma numpang makan terus lanjut kelayapan!" "Jaga mulut kamu ya, Mira!" "Ada juga kamu, yang seharusnya jaga kelakuan! Setiap hari rajin judi tapi nggak pernah menang! Bisanya cuma nambah hutang!" Balas Mira sengit, berdiri berhadap-hadapan dengan suaminya yang kian berwajah seram karena diliputi emosi. Alih-alih gentar, dia justru mengangkat dagu sembari bersedekap tangan. Mendengkus, Indra berkacak pinggang, "tidak perlu sok ceramah! Kamu sendiri, memangnya apa yang dikerjakan di rumah ini? Bisanya cuma tidur, makan, leha-leha! Jadi nggak usah banyak bacot!" "Dasar suami tidak berguna! Sampah!" Mira menjambak rambut Indra hingga pria itu berteriak dan berusaha melepaskan tangan istrinya yang mencengkram kuat. Astaga, kulit kepalanya sakit! Bisa-bisa semua rambutnya tercabut hingga ke akar-akarnya, atau mungkin sampai kepalanya. Ketika sepasang suami istri itu sibuk bergulat, Ranu yang masih berjongkok di belakang pohon jambu sedang sibuk menepuk-nepuk nyamuk yang kian banyak mengusiknya.  Astaga, bisa habis darahnya di sedot dari segala arah seperti ini. Dia benar-benar terkepung. Badannya sudah di penuhi bentol yang membuatnya gatal-gatal. Ingin sekali segera masuk ke dalam rumah. Membersihkan diri sebelum bergelung nyaman di balik selimut, mengistirahatkan tubuhnya yang sudah berteriak kelelahan.  Belum lagi, dia harus bangun pagi-pagi untuk membuat donat yang jumlahnya dua kali lipat dari hari ini. Beruntung, masih ada bahan-bahan yang tersisa banyak, jadi tak perlu berbelanja. Mungkin besok Ranu kembali membeli bahan-bahan untuk membuat donat. Ia juga berencana menambah variasi toping dengan meses coklat dan parutan keju. Ranu yang sedang membuat rencana di dalam kepalanya seketika buyar saat mendengar teriakan-teriakan dari dalam rumah. Apa orangtuanya bertengkar? Sebenarnya, itu bukan hal yang aneh. Terutama jika ayahnya menggagu kegiatan sang ibu yang sedang seru menonton. Sudah dipastikan wanita paruh baya itu akan mengamuk. Ayahnya yang garang pun sering kali dibuat tak berkutik. Brak! Ranu terlonjak saat pintu depan rumahnya terbuka kasar, memperlihatkan ayahnya yang sedang diseret keluar ibunya. Pemandangan yang membuat Ranu meringis ngeri. "Pergi sana! Jangan pulang sekalian!" Teriak ibunya kencang, berkacak pinggang, wanita paruh baya itu memelototi sang suami, tak peduli para tetangga yang rumahnya saling berdekatan, bisa saja mendengar pertengkaran mereka. Ayahnya hanya mendengkus sembari mengusap-usap rambut. Bisa Ranu pastikan, baru saja terkena jambakan maut yang membuat kulit kepala terasa nyaris ikut tercabut. Bagaimana Ranu bisa tau? Dia sudah pernah merasakan hal mengerikan itu jika sedang ketiban sial, mendapat amukan sang ibu yang moodnya sedang buruk. Di satu sisi Ranu cukup kasian pada ayahnya yang bersungut-sungut kemudian pergi menaiki motor bututnya. Tapi di sisi lain dia bersyukur karena amukan ibunya, Ranu jadi punya kesempatan untuk masuk ke dalam rumah lebih cepat. Dengan agak kepayahan, Ranu mencoba berdiri dari posisi jongkoknya. Gadis itu meringis saat kakinya terasa kesemutan karena terlalu lama dalam posisi berjongkok. Sambil berpegangan pada pohon jambu di depannya, Ranu mencoba menegakkan diri, sebelum kemudian menyeret langkah menuju pintu depan rumahnya. Dalam hati Ranu berdo'a, semoga ibunya sudah masuk ke dalam kamar. Biasanya, jika mood sedang buruk, wanita paruh baya itu akan masuk ke kamar setelah membanting pintu untuk meluapkan emosi. Ranu tak mau menjadi korban selanjutnya. Saat ini saja tubuhnya sudah terasa remuk redam. Mengela napas, Ranu meraih handle pintu, membukanya secara perlahan sebelum kemudian pelan-pelan masuk ke dalam. Mengunci pintu, Ranu melemparkan pandangan ke penjuru ruangan yang tampak sepi, itu artinya dugaannya benar. Ibunya pasti sudah memasuki kamar. Berderap cepat menuju kamarnya, Ranu bergegas meletakkan tas dan meraih handuk, sebelum kemudian keluar kembali dengan wadah bekas tempat donat yang masih ditentengnya. Meletakan wadah itu ke atas meja makan yang bersih tak ada hidangan selain teko air, Ranu segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sangat tak nyaman.  Masih ada banyak hal yang harus ia lakukan setelah mandi. Memasak dengan entah bahan apa yang bisa di dapatnya di dapur, untuk mengisi perut yang hanya di isi nasi bungkus pemberian Mbak Wina tadi siang, sebelum akhirnya nanti baru bisa melemparkan diri ke atas pembaringan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN