"Ma," Dewa mendudukkan diri di sofa yang tengah diduduki sang Mama, wanita paruh baya itu hanya menggumam, tanpa mengangkat kepala dari majalah fashion yang ada di atas pangkuan. Seolah lembaran yang menampilkan pakaian terbaru jauh lebih memanjakan mata, daripada wajah nelangsa putranya.
Sejak malam di mana Dewa pulang dini hari dan nekat mematikan telpon dari sang mama agar memiliki waktu berdua dengan Rhea sepuasnya, mamanya tak pernah lagi menerornya dengan terus menghubungi ponsel Dewa, saat jam menunjukkan setengah sepuluh malam.
Bahkan, kemarin malam, Dewa pulang setelah subuh. Tapi Mamanya tak memberikan reaksi apa pun. Beruntung, karena hari minggu, Dewa tak harus kelimpungan saat bangun ketika keadaan sudah terang benderang, tentu saja, karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang.
Meski bisa leluasa bersama Rhea hingga larut malam bahkan nyaris pagi. Dewa justru tak tenang karena merasa diabaikan. Kecerewetan mamanya tiba-tiba saja ia rindukan. Dibandingkan harus mendapat perlakuan tak acuh seperti sekarang.
"Ma, Dewa minta maaf," menarik majalah di atas pangkuan mamanya dan digantikan dengan kepalanya yang ia rebahkan di sana. Dewa memeluk erat perut sang mama, tempat yang dulu pernah ia huni sewaktu belum melihat dunia. Jika mengingat hal itu, rasa bersalah kian menghantamnya. Bagaimana mungkin dia bersikap kurang ajar, setelah semua hal terbaik yang ia dapatkan, bahkan sedari di dalam kandungan?
Salma yang sudah tiga hari mencoba abai pada putra semata wayangnya mengela napas. Bukannya ia tak lagi peduli, tapi mendapat pemberontakan dari Dewa seolah kekhawatirannya dianggap sebagai gangguan, cukup melukainya. Hingga mengabaikan anak kesayangannya yang kini tengah bergelung di atas pangkuan.
Melarikan tangannya pada helaian rambut hitam legam Dewa dan mengelusnya pelan, Salma mencoba mengendapkan kekesalan yang masih bercokol di hati.
"Kamu serius dengan perempuan itu?" Tanya Salma tiba-tiba, berhasil membuat Dewa yang tengah menyembunyikan wajah diperutnya segera mendongak menatapnya.
"Maksud Mama?" Dewa tak yakin dengan apa yang didengarnya tadi. Meski tau ke mana arah pembicaraan yang coba mamanya lakukan, ia tetap ingin memastikan.
"Kamu dan pacarmu itu, apa kalian serius? Atau cuma main-main buat melepas penat dan mengisi waktu bosan?"
"Tentu saja aku serius, Ma," jawab Dewa tegas sembari bangkit dari posisinya yang tadi berbaring di atas pangkuan sang mama.
"Benar?" Tanya Salma dengan mengangkat satu alis mata, memperlihatkan wajah ragu yang membuat Dewa justru kian membulatkan tekat.
"Iya Ma, aku serius. Di usia kami yang nyaris kepala tiga sudah bukan waktunya lagi menjalin cinta-cintaan ala remaja."
"Baiklah, jika kamu dan Risa—"
"Rhea, Ma, pacarku namanya Rhea Anindita Hartanto." Dewa meringis, dia tak bermaksud lancang dengan memotong ucapan mamanya. Hanya mencoba mengoreksi karena sudah menjalin hubungan selama dua tahun, mamanya masih belum hafal nama kekasih putranya sendiri.
"Dia setor muka ke Mama cuma dua kali, saat ulang tahun pernikahan Mama-Papa dan ulang tahun kamu, jadi jangan protes kalau namanya saja Mama nggak ingat. Mukanya juga sudah samar-samar di ingatan."
Mengelus belakang lehernya dengan senyuman canggung, Dewa hanya mengangguk kaku mendengar protes yang dilayangkan balik padanya.
"Besok malam, ajak dia ke sini untuk makan malam bersama kita. Sekaligus membicarakan arah hubungan kalian. Jika memang serius, lebih baik disegerakan, daripada hanya sibuk kelayapan tidak jelas setiap malam." Tegas Salma sebelum bangkit dari sofa, meninggalkan putranya yang tengah dikungkung resah.
***
Memejamkan mata, Rhea menyunggingkan senyuman, tangan kanannya memegang gelas berisi wine yang sesekali digoyangkan dengan pelan sebelum disesap, sembari menikmati aroma terapi yang menguar memenuhi penciumannya. Tubuhnya tengah berada di dalam jacuzzi yang telah terisi sabun khusus dengan taburan kelopak mawar merah favoritnya. Samar-samar, suara musik klasik terdengar, kian membuatnya enggan untuk bergegas bangkit, menyelesaikan waktu berendamnya yang sudah nyaris satu jam.
Sialnya, semua kenyamanan itu harus terinterupsi. Rhea mengetatkan rahang, saat suara ponsel berteriak lantang mengusik ketenangannya. Membuka mata secara perlahan, wanita itu mengeluarkan tangan kirinya dari dalam air, membiarkan busa dan beberapa kelompok mawar yang menempel di kulitnya, untuk meraih ponsel yang ia letakkan tak jauh darinya.
"Ha—"
"Ada apa?" Tanya Rhea langsung, bahkan tak membiarkan seseorang di seberang sana menyelesaikan ucapannya.
"Sayang, besok malam ada waktu?"
Rhea mengerutkan kening, mendengar pertanyaan Dewa yang sedikit gugup.
"Kenapa?"
"Itu—ekhm! Mama ... Ingin mengajak makan malam, apa kamu bisa?"
Mendengar pernyataan tersebut, membuat Rhea menegakkan tubuh, hingga pergerakannya menciptakan riak di dalam jacuzzi, "kenapa tiba-tiba?" cecarnya langsung, tak menutupi rasa penasaran dan curiga yang tiba-tiba menyusup. Meski pertemuannya dengan mama Dewa masih bisa dihitung dengan jari, Rhea jelas tau, seperti apa sosok wanita paruh baya yang selalu memperlakukan kekasihnya bak bocah yang tak tau apa-apa.
Belum sempat Dewa menjawab, Rhea sudah lebih dulu menyela cepat, "ke rumah aku, sekarang!" Titahnya tegas, sebelum kemudian mematikan sambungan, tanpa perlu mendengar balasan dari Dewa.
Mendengkus kesal, Rhea akhirnya bangkit dari dalam jacuzzi, suasana hatinya yang tiba-tiba memburuk, membuat acara berendamnya tak lagi menarik. Dia memilih untuk segera membersihkan diri dan bersiap menunggu kedatangan kekasihnya. Yang semoga saja tak menambah kadar kekesalannya dengan datang terlambat.
Nyaris tiga puluh menit Rhea habiskan waktu untuk bersiap. Ketika baru saja keluar dari kamar, salah satu asisten rumah tangganya tampak tergopoh-gopoh menghadap.
"Non, ada Den Dewa di bawah," lapor seorang wanita paruh baya yang menundukkan kepala dalam, tak berani menatap mata tajam sang nona muda di depannya. Meski sudah cukup lama bekerja, dia masih saja takut-takut pada sosok Rhea.
"Ya, aku tau," selepas mengucapkan itu, Rhea berlalu pergi begitu saja, menuruni satu persatu anak tangga dengan anggun. Meninggalkan asisten rumah tangganya yang mengembuskan napas lega. Menghadapi anak majikannya sudah seperti terkena razia dadakan. Membuatnya kelimpungan dan panas dingin.
Rhea menemukan Dewa yang tengah duduk menatap lantai di ruang tamu keluarganya. Saat mendengar suara high heels yang dikenakannya, pria itu mendongak dan segera bangkit dari tempat duduknya.
"Sayang—"
"Jadi, bisa jelaskan lebih detail, apa maksud kamu dengan undangan makan malam itu?" Ucap Rhea sembari mendudukkan diri tanpa mengacuhkan sapaan Dewa padanya. Mengela napas, pria itu akhirnya ikut kembali mendudukkan diri di sampingnya.
"Seperti yang aku sampaikan di telepon, mama mengundang kamu untuk makan malam di rumah."
"Dalam rangka?" Bersedekap tangan, Rhea mengangkat satu alis mata dengan tatapan lurus ke arah Dewa yang tampak gugup.
"Mama ... Ingin membicarakan soal hubungan kita," jawab Dewa hati-hati.
"Soal hubungan kita gimana? Mama kamu mau ikut campur—"
"Bukan sayang," sela Dewa cepat, tak ingin Rhea salah paham, "justru mama ingin, jika hubungan kita masuk ke tahap yang lebih serius."
"Memangnya hubungan kita selama dua tahun kurang serius apa lagi? Aku bukan tipe orang yang mau membuang waktu jika hanya untuk main-main. Dikira dua tahun ini kita hanya main lompat tali?"
Dewa meringis mendengar sarkas yang Rhea lontarkan. Ini yang dia khawatirkan, kekasihnya itu memiliki watak yang cukup keras. Persis seperti sang mama. Maka tak heran, jika keduanya bertemu seolah menjadi ajang adu debat yang alot.
"Jadi ... Keputusan kamu gimana? Mau datang atau tid—"
"Tentu saja datang!" Sela Rhea cepat, menatap Dewa dengan sengit, "keabsenan aku cuma dianggap sebagai kekalahan di mata mama kamu. Bisa-bisa dianggap tak bernyali nanti."
Dewa mengela napas, mengurai tangan kekasihnya yang masih dalam posisi bersedekap, menjadi ia genggam hangat, "sayang, mama mengajak makan malam, bukan untuk perang," ucapnya sabar, seolah tengah memberi pengertian pada anak kecil. Dalam hati bersyukur karena wajah Rhea sudah mulai melunak, tak sekeras sebelumnya.
"Baiklah, aku tidak akan melakukan konfrontasi. Tapi tidak menjamin hanya diam jika mama kamu yang memulai. Tau sendiri gimana mama kamu sikapnya sama aku, udah kaya liat saingan pas zaman dia muda dulu, sinis ... Terus bawaannya, heran!"
Meringis, Dewa hanya bisa mengusap belakang lehernya, tak tau harus mengatakan apa.
***
Makan malam yang direncanakan dengan tiba-tiba akhirnya terlaksana. Meja makan sudah di sesaki oleh berbagai hidangan lezat, Dewa duduk di samping Rhea yang tampak tenang, berhadapan langsung dengan sang mama yang duduk di seberangnya. Sementara dirinya duduk berhadapan dengan papanya.
"Jadi, bagaimana dengan hubungan kalian?" Sembari memotong ikan salmon dengan gerak perlahan dan anggun, Salma menatap wajah kekasih putranya yang juga tengah menatap kearahnya tanpa gentar.
"Baik Tan, semakin baik setiap harinya," balas Rhea, tak lupa melempar senyuman formal meski rahangnya sedikit terasa kaku saat melengkungkan bibirnya.
"Apa rencana ke depan untuk hubungan kalian? Di umur kalian yang sekarang, tentunya sudah tak bisa lagi sekadar pacaran untuk mencari kesenangan sesaat kan?" Tanya Salma lagi, sebelum kemudian menyuap potongan salmon dan mengunyahnya pelan.
Meraih gelas dan meneguk pelan, demi meluruhkan rasa dongkol yang bercokol, Rhea menatap ibu dari kekasihnya yang ia tau tak pernah suka dengan dirinya, "tentu tidak, kami memiliki masa depan dalam hubungan ini."
"Benarkah?" Menaikan satu alis mata, Salma menatap sangsi, mengulum senyum saat menemukan rahang wanita muda di depannya yang tampak mengetat keras.
"Iya Ma, aku serius sama Rhea. Seperti yang sudah sering aku bilang." Sela Dewa yang tak lagi bisa hanya diam melihat konfrontasi yang terjadi antara Rhea dan sang mama meski keduanya tetap terlihat tenang.
"Ma, biarkan Dewa dan Rhea menentukan sendiri hubungan mereka kedepannya seperti apa," Gunawan Bagaskoro, papa Dewa yang sebelumnya hanya menjadi pendengar, akhirnya ikut angkat bicara. Tak tega membiarkan putranya kelimpungan menghadapi dua wanita yang nyaris memiliki watak yang sama-sama keras kepala.
Dewa tersenyum lega, menatap papanya penuh rasa terima kasih. Dia memang cukup kepayahan menjadi penengah antara Rhea dan mamanya. Tak mau menjadi pihak yang terkesan membela salah satu diantara keduanya. Karena dua-duanya merupakan sosok penting di hidupnya.
"Baguslah, jika itu memang benar. Jadi, kapan membicarakan kelanjutan hubungan kamu dan Dewa dengan orangtuamu?"
Menyunggingkan senyuman formal, Rhea menatap calon mertuanya, "nanti, akan saya sampaikan lebih dulu Tante. Soalnya, sekarang mama dan papa sedang berlibur di swiss."
"Tidak masalah, yang terpenting, saya sudah mendapat kejelasan antara hubungan kamu dengan putra saya." Melemparkan senyuman tipis, Salma membalas tatapan Rhea. Tak perlu dengan kata-kata, tapi ia tau jika kekasih putranya itu tengah kepayahan menahan emosi padanya. Meski enggan, Salma cukup salut dengan Rhea yang bisa menangani intimidasi yang ia berikan.
Makan malam yang membuat Dewa berkeringat dingin itu akhirnya selesai.
Astaga ... Bahkan mengahadapi ujian tersulit atau memimpin rapat terpenting sekali pun, belum pernah membuat Dewa merasa segentar ini.
Seusai makan malam, Rhea berpamitan untuk pulang. Meski Salma mengajaknya untuk berbincang lebih dulu sembari menikmati secangkir kopi dan kudapan.
Rhea tak yakin dengan dirinya sendiri, karena bisa saja tak lagi mampu menahan rasa kesal yang nyaris meledak jika dipaksa bertahan lebih lama di rumah orangtua Dewa. Tak masalah dengan papa Dewa yang menyambutnya hangat dan tak banyak bicara. Berbeda dengan mama Dewa yang benar-benar mencecarnya habis-habisan. Meski dengan tutur kata yang terdengar lembut, tapi mematikan.
Seolah Rhea bisa mencelakai Dewa sewaktu-waktu. Oh, astaga ... Yang benar saja?
Rhea dan Dewa sudah berpamitan. Mereka nyaris menjejak langkah pertama menuju pintu keluar, tapi suara Salma yang tiba-tiba kembali tertangkap pendengaran, terpaksa menginterupsi keduanya.
"Kenapa Ma?" Tanya Dewa saat sang mama berjalan mendekat, membuatnya refleks menggenggam erat tangan sosok perempuan disampingnya yang ia tau ingin sekali segera melarikan diri dari rumahnya.
"Mama hanya lupa mengatakan satu hal lagi. Dan ini, justru yang terpenting." Ucap Salma dengan senyuman yang membuat dua orang di depannya menahan napas dengan jantung berdebar.
"Ap—Apa Ma?" Tanya Dewa yang lagi-lagi mengambil alih untuk bertanya, karena Rhea hanya diam. Lebih memilih menjadi pendengar.
"Nanti, setelah kalian menikah. Mama ingin kalian tinggal di rumah ini," ucap Salma tenang, tapi bak suara petir ditelinga Rhea.
"Apa?!" Tanyanya bahkan tak sadar sudah meninggikan suara di depan ibu kekasihnya. Tapi kali ini, ia tak peduli. Sudah cukup semua stok sabar yang dimilikinya ia habiskan hari ini, "maksud Tante apa?" Tanyanya yang terdengar seperti tengah menantang. Tapi sekali lagi, Rhea tekankan, jika ia tak peduli. Masa bodo di beri cap tak sopan. Ia sudah muak hanya bisa pasrah dengan semua celotehan mama Dewa. Bahkan mamanya, tak pernah merongrongnya semengerikan ini.
"Apa kurang jelas? Saya bilang, jika nantinya, kamu menikah dengan Dewa, kalian harus tinggal di rumah ini."
Napas Rhea memburu, degup jantungnya bergemuruh ribut. Jika di depannya ini bukan sosok yang harus dihormati, sudah ia jambak konde besar yang mengusik matanya itu. Syukurlah, masih ada sedikit kewarasan yang bercokol di kepalanya.
"Kalau saya tidak mau?" Bersedekap tangan, dengan rahang mengetat keras, Rhea melempar balik pertanyaan dengan nada yang terdengar menantang.
Dewa yang sebelumnya hanya bisa diam karena terkejut dan kebingungan, akhirnya maju beberapa langkah, hingga menutupi tubuh Rhea yang berusaha menyingkirkannya meski harus kepayahan karena Dewa yang bergeming.
Pria itu berusaha meredam kemarahan kekasihnya dengan ia sembunyikan di balik punggung. Agar tak lagi harus berkonfrontasi dengan sang mama. Lebih baik dirinya segera melerai sebelum perdebatan antara mama dan Rhea kian memanas.
"Ma, sebaiknya, masalah ini kita bicarakan nanti. Kita juga harus berbicara dengan orangtua Rhea lebih dulu." Bujuk Dewa dengan wajah memelas, hal yang biasanya cukup ampuh untuk meluluhkan kerasnya hati sang mama. Meski sepertinya, untuk malam ini menjadi pengecualian.
Mengedikkan bahu tak acuh, Salma melarikan pandangan pada sosok di belakang punggung putranya.
Astaga ... Kenapa Dewa begitu berlebihan? Dia ini mamanya, tapi seolah akan menerkam kekasih putranya sendiri sampai harus diberi perlindungan seperti itu. Gerutu Salma dalam hati.
Mengela napas, Salma mengalihkan atensi pada putranya yang sudah memperlihatkan wajah memohon, yang sebenarnya cukup mengusik dan membuatnya memilih untuk mengakhiri konfrontasi kali ini.
"Baik, kita lanjutkan pembicaraan masalah ini nanti. Tapi mama tetap pada pendirian mama. Setelah menikah, kamu dan istri kamu nantinya, harus tinggal di rumah ini." Bersedekap tangan, Salma melirik ke arah Rhea dari balik bahu Dewa yang juga tengah menatap nyalang ke arahnya, "jika tidak mau, maka tidak akan ada pernikahan." Ucapnya tenang sembari menatap tepat di mata Rhea.
"Ma," mohon Dewa yang Salma abaikan, wanita paruh baya itu justru berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Dewa bersama Rhea yang sudah berwajah merah padam tertelan kemarahan.