Ranu menekan-nekan handle pintu beberapa kali, memastikan jika pintu kamarnya sudah benar-benar terkunci. Jangan sampai, keteledorannya kembali membawa petaka seperti waktu itu.
Setelah benar-benar yakin pintu kamarnya sudah terkunci. Ranu duduk di atas tempat tidur, meraih boneka beruang berwarna coklat yang belum lama ini ia beli. Bukan untuk pajangan atau teman tidur, tapi sebagai tempat persembunyian Ranu menyimpan uang.
Di belakang punggung boneka tersebut terdapat resleting yang kemudian Ranu tarik ke bawah hingga terbuka. Memisahkan uang-uang tabungannya yang bercampur dengan busa boneka. Jika gajian nanti, gadis itu berniat untuk menabung di bank. Dengan kartu ATM, jelas lebih mudah untuk disembunyikan. Tak perlu lagi bermain 'Tebak di mana uangku' dengan sang ayah yang tak pernah segan menghancurkan seisi kamarnya demi mengais recehan yang ia kumpulkan.
Keinginan untuk membuat ATM sebenarnya sudah sedari lama Ranu rencanakan. Sialnya, ia selalu saja kecolongan. Karena uang yang akan ia tabung telah raib lebih dulu digondol ayahnya sendiri. Gadis itu sampai pusing harus memutar otak, di mana lagi ia bisa menyembunyikan uang hasil kerja kerasnya. Belum lagi, ibunya sangat hafal jadwal Ranu gajian. Jadi sedari pagi Ranu keluar kamar untuk berangkat kerja, ibunya yang biasa bangun ketika matahari menyengat di atas kepala, akan terbangun lebih pagi hanya untuk mengingatkan jika 70% uang gajian yang nantinya akan Ranu terima adalah jatahnya.
Ranu bisa apa selain pasrah? Karena mana mungkin ia melawan pada sosok wanita paruh baya yang sudah mengurusnya sedari bayi?
Bukankah sangat tidak tau diri jika Ranu menolak permintaan ibunya sendiri?
Wajah Ranu berbinar, uang hasil menjual donat ternyata lumayan. Terlebih, ada untungnya juga ia bangun pagi buta untuk membuat donat agar tak ketahuan ibunya. Ya, meski sebagian besar uang dari gajinya ia berikan pada sang ibu. Untuk hasil dari penjualan donat, terpaksa ia sembunyikan. Ibunya itu bahkan tak tau jika Ranu berjualan donat. Meski sering kali ia memisahkan beberapa donat untuk camilan ibunya menonton tv. Mungkin wanita paruh baya itu hanya mengira jika donat-donat itu Ranu beli. Bukan dibuat oleh putrinya sendiri.
"Ranu!"
Teriakan dan gedoran keras pintu kamarnya mengoyak lamunan Ranu. Gadis itu kelimpungan dan tergesa-gesa menjejalkan kembali uangnya ke dalam boneka beruang dengan asal.
"Ranu! Heh! Lo budeg! Buka, sialan!" Gelegar suara ayahnya terus bersahutan dengan gedoran pintu yang tak sabaran, membuat Ranu yang hendak menutup risleting dipunggung boneka sebagai tempat persembunyian uang rahasianya kesulitan karena tangannya yang gemetar. Pasrah, Ranu melempar boneka itu ke dalam kolong tempat tidurnya. Sebelum kemudian beranjak turun dari kasur. Nyaris saja ia jatuh terjerembap karena tersandung kakinya sendiri.
"Ranu! Buka!"
"Iya Yah, sebentar!" Sahut Ranu yang ikut berteriak.
Membuka kunci dengan susah payah karena keadaan tangannya yang masih gemetar. Ranu terkejut ketika berhasil membuka pintu kamar, pandangannya menggelap karena sesuatu yang menutupi wajahnya.
"Pakai itu! Besok izin kerja, lo harus ikut gue!"
Meraih sesuatu yang menutupi wajahnya, Ranu meneguk ludah saat mendapati wajah bengis ayahnya. Saat menundukkan kepala, ternyata sebuah mini dress yang ... Astaga, berwarna gold dengan blink-blink yang sangat mencolok. "Ya—Yah, Ranu ... Ranu nggak bisa izin sembarangan," cicitnya takut-takut. Selama bekerja, Ranu hanya absen ketika sakit yang benar-benar membuatnya bahkan tak bisa bangkit dari atas tempat tidur. Dengan keadaannya yang sekarang, gadis itu sadar jika mencari pekerjaan itu sulit. Jadi sebisa mungkin, ia berusaha untuk bekerja dengan baik.
Ranu mundur dua langkah saat wajah bengis Ayahnya kian menyeramkan, "gue nggak mau tau! Lo pokoknya harus bisa izin besok," mengibaskan tangan, Indra tersenyum meremehkan, "kalau perlu, lo keluar aja dari pekerjaan itu. Kerja bertahun-tahun tapi tetap aja nggak bisa bikin gue kaya!" omelnya yang membuat Ranu mengigit bibir bawah untuk menahan diri, agar tak sampai keceplosan menyahut omongan ayahnya yang menyakitkan.
Mana mungkin bisa kaya jika yang dilakukan ayahnya hanya mabuk dan berjudi?
Lalu, apa katanya tadi? Ranu diminta keluar dari pekerjaannya yang sekarang?
Astaga ... Lalu mau makan apa keluarga mereka?
Kerikil goreng bumbu pedas? Dengan kerikilnya yang diambil dari depan rumah?
Yang benar saja?
Nyatanya, pekerjaan yang ayahnya remehkan itu mampu mencukupi kehidupan keluarga mereka selama ini, meski dengan sangat pas-pasan. Itu pun karena sebagian besar gajinya direbut oleh ibu dan ayahnya untuk hura-hura. Sementara Ranu? Harus memutar otak dan membanting tulang agar dapur keluarga masih bisa mengepul.
"Oya," Indra yang nyaris beranjak pergi, menghentikan langkah dengan tiba-tiba ketika teringat sesuatu. Pria itu kembali menghadap putrinya yang masih bergeming di depan pintu, "dandan yang cantik. Jangan bikin malu gue ya lo!" Peringatnya sembari mengacungkan telunjuk di depan hidung Ranu yang hanya bisa mengangguk kaku.
"Me—Memangnya, kita mau pergi ke mana Yah?" Meski takut-takut, tapi Ranu akhirnya berhasil melempar pertanyaan yang bercokol di kepalanya sedari tadi. Karena sikap ayahnya yang berubah aneh. Belum lagi pulang di jam yang masih cukup sore. Setengah sebelas malam. Ya, untuk ukuran ayahnya yang biasa pulang saat matahari menampakkan diri di saat tengah terik, pulang jam segini benar-benar perlu dipertanyakan?
"Ck, banyak nanya lo, mending kalo gue dikasih duit tiap jawab pertanyaan. Udah, pokoknya lo nurut aja. Anggap ini bakti sebagai anak. Biar lo ada gunanya dikit selain nyusahin gue, ngerti?!" Bentak Indra yang membuat putrinya mengangguk dengan takut-takut, "bagi duit! Gue mau balik ke markas!" Todongnya pada Ranu sembari menengadahkan tangan, "buruan, elah! Telat gue nanti mainnya!"
"Ra—Ranu, belum gajian Yah," meremas mini dress yang tadi ayahnya lempar ke wajahnya, Ranu ingin sekali segera masuk ke dalam kamar untuk bersembunyi. Terlebih, melihat wajah bengis ayahnya yang tampak murka karena jawabannya.
"Lo buruan kasih sekarang, atau ... Gue sendiri yang obrak-abrik kamar lo sampai hancur?"
"Beneran Yah, Ranu belum gajian. Cuma ada sisa sedikit buat ongkos berangkat kerja."
"Kan besok lo nggak kerja, yaudah kasih ke gue aja jatah ongkos lo buat besok, buruan!" Bentak Indra keras.
Ranu berjengit dan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamarnya. Tak lupa mengunci pintu agar ayahnya tak bisa menyusul masuk. Mengabaikan makian Indra yang mengumpatinya karena tersinggung dengan sikapnya. Tapi Ranu tak peduli. Dia hanya mencari aman.
Mencari-cari uang di dalam tas selempang yang biasa ia kenakan saat bekerja. Gadis itu meringis melihat tak ada uang lain selain lima puluh ribuan. Membuatnya berat untuk memberikannya pada sang ayah. Bukannya Ranu pelit dan perhitungan pada ayahnya sendiri. Dia hanya tak rela jika uang hasil keringatnya berkerja keras, dibuang-buang dengan mudah untuk bermain judi.
Ranu heran, kenapa ayahnya tak pernah kapok untuk bermain judi? Apalagi setahunya, pria paruh baya itu lebih sering kalah dibanding menang dan meraup banyak uang. Justru hanya bisa memperbanyak hutang. Judul akhirnya, Ranu yang harus membayarkan.
"Ranu! Buruan!" Teriak Indra sembari menggedor keras pintu kamar putrinya. Tak mempedulikan teriakan istrinya yang menyuruhnya diam karena tengah menonton tv.
Membuka pintu, Ranu menatap takut pada ayahnya yang segera merampas uang ditangannya.
"Masa segini doang?" Protes Indra sembari mengacungkan uang lima puluh ribuan ke hadapan wajah Ranu yang tengah menatap takut padanya, "tambahin! Pelit banget sih lo jadi anak. Jangan perhitungan sama orangtua sendiri. Kualat, tau rasa lo!" Hardik Indra sambil menoyor kepala Ranu dengan keras hingga gadis itu mundur beberapa langkah.
"Hanya ada itu Yah. Kan, tadi sudah Ranu bilang belum gajian. Jadi nggak ada uang."
"Ck, emang nggak guna ya lo!" Toyor Indra sekali lagi ke kepala Ranu, sebelum kemudian berlalu pergi.
Mengembuskan napas lega, setelah akhirnya bisa lepas dari suasana mencekam karena kehadiran ayahnya yang lagi-lagi memalak uangnya. Ranu bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.
Mengayunkan langkah, Ranu berjongkok dan meraba kolong tempat tidur. Gadis itu mengembuskan napas lega karena berhasil meraih boneka beruang berisi uang yang tadi dilemparnya dengan asal karena panik. Untung tak masuk terlalu dalam ke kolong. Jadi Ranu tak perlu repot mengambilnya.
Duduk di pinggir kasur. Ranu menatap gaun aneh yang diberikan oleh ayahanya. Gadis itu mengernyitkan kening bingung, hal yang benar-benar langka ketika tiba-tiba ayahnya membelikan baju. Meski modelnya sangat tak Ranu suka karena terlalu mencolok dan sepertinya terlalu pendek dan terbuka. Bisa-bisa tubuhnya terlalu terekspos di sana-sini. Tapi ia tak berani melayangkan protes. Karena ayahnya tak akan segan memberinya beberapa pukulan. Beruntung, hanya kepalanya saja tadi yang kena toyor.
Meletakan kembali gaun itu ke atas tempat tidur. Ranu menggeser tempat duduknya dan menjangkau ponsel bututnya yang tergeletak di atas nakas. Menghubungi bosnya untuk meminta izin tak masuk kerja besok. Dengan alasan keperluan keluarga yang sangat mendesak. Beruntung, mungkin karena ia jarang absen, tanpa kesulitan bosnya itu memberikan izin. Setelahnya, Ranu meminta izin pada pemilik toko kue yang biasa ia titipkan donat buatannya. Meminta maaf karena untuk besok tak bisa mengirimkan donat seperti biasa.
Meletakan kembali ponselnya ke tempat semula. Ranu meraih mini dress yang dipenuhi blink-blink dan berkilauan saat terkena sorot lampu, ia gantung di dalam lemari. Setelahnya, Ranu memilih untuk naik ke atas tempat tidur. Mengistirahatkan tubuh sekaligus pikirannya yang tengah semrawut.
***
Jika mengumpati orangtua itu tak dosa, ingin sekali rasanya Ranu melakukannya pada sang ayah yang kemarin ribut memintanya untuk bersiap pergi, bahkan sampai harus membolos kerja. Tapi apa? Ranu menunggu sedari pagi, siang hingga sore, tapi ayahnya belum juga menampakkan diri.
Seharian itu kesibukan Ranu hanya membersihkan rumah. Di iringi rentetan omelan dari sang ibu yang selalu saja menemukan kesalahan sekecil apa pun yang Ranu lakukan.
Pukul tujuh malam, ayahnya kemudian baru pulang. Dan lagi-lagi Ranu mendapat makian karena belum bersiap-siap.
Astaga ... Mana Ranu tau? Dia bahkan mengira jika rencana ayahnya itu batal. Lagipula mana mungkin Ranu bersiap-siap dan berkeliaran sedari pagi dengan dress blink-blink warna emas pemberian ayahnya.
"Yaudah buruan! Siap-siap sana! Ma, bantu dandanin dia, jangan sampai bikin malu." Titah Indra pada Mira yang melaksanakan perintahnya dengan ogah-ogahan.
Ranu ingin sekali menolak perintah ayahnya yang meminta sang ibu mendandaninya. Sungguh! Ranu bisa mendandani dirinya sendiri meski dengan gaya sederhana. Masalahnya, ia sudah sering melihat seheboh apa ibunya saat akan pergi arisan atau pun kondangan bersama teman-teman wanita paruh baya itu yang tak kalah heboh.
Nyaris setengah jam Ranu duduk kaku di depan meja rias dengan ibunya yang melakukan make over dengan omelan yang menjejali pendengarannya. Belum lagi, saat menepuk-nepuk spon bedak di wajahnya, Ranu lebih merasa jika ibunya itu tengah menaboki wajahnya. Karena begitu keras dan penuh emosi. Pipinya bahkan sudah memerah tanpa perlu di beri blush on. Tapi ibunya tetap membubuhkan blush on secara berlebihan, yang membuat pipi Ranu seperti baru saja terkena tamparan karena begitu merah.
"Udah, selesai! Habis ini buruan keluar! Gue juga mau dandan cantik. Gara-gara lo jadi buang waktu banyak!" Omel Mira sembari menepuk-nepuk kedua telapak tangannya seolah tengah membersihkan diri dari debu yang tertempel. Sebelum kemudian berlalu pergi ke luar kamar putrinya. Meninggalkan Ranu yang terbengong melihat sosok yang berada dipantulan cermin.
Di sana, tampak seorang wanita dengan bedak yang terlalu putih hingga nyaris seperti pucat, dengan lipstik merah menyala. Eyeliner yang tergores terlalu panjang, lalu alis yang biasanya rapi meski tak diukir, kini tampak sangat tebal bahkan seperti berbentuk kotak. Shading di hidungnya yang alih-alih membuat mancung justru terlihat aneh karena terlalu tebal. Belum lagi bulu mata palsu yang sangat lebat dan panjang, juga terasa berat hingga Ranu kepayahan untuk membuka matanya. Sementara rambut hitam panjang Ranu dibiarkan tergerai. Mungkin ibunya sudah lelah atau terlalu malas untuk membentuknya.
Ini benar-benar dandanan khas ibunya jika akan pergi arisan atau kondangan. Hal yang membuat Ranu sedari awal enggan dan lebih memilih berdandan sendiri. Tapi ayahnya pasti marah jika ia berdandan terlampau sederhana.
"Ranu! Cepat keluar!"
Teriakan ayahnya membuat Ranu yang sedari tadi terbengong karena masih terkejut dengan penampilannya. Segera beranjak dan meraih sling bag sederhana yang sebenarnya tak cocok untuk penampilannya yang terlampau heboh.
Ranu berdiri kikuk dengan tangan yang sibuk menaikkan gaun berbentuk kemben yang melorot. Sayangnya, setiap kali menaikan gaunnya ke atas, maka gaun itu justru tertarik naik dan membuat pahanya terlalu terekspos. Membuat Ranu menurunkan lagi, tapi bagian atasnya yang kemudian jadi melorot kembali. Astaga ... Membuatnya jadi frustasi.
Indra mengernyitkan kening saat melihat penampilan Ranu yang sejujurnya membuat bingung, apa seperti itu bisa dikategorikan cantik?
"Ma, itu Ranu kenapa jadi horor? Nanti bisa kacau rencana papa," bisik Indra yang membuat Mira memelotot tak terima, karena hasil make over yang ia lakukan susah payah justru dihina.
"Papa kalau ngomong jangan sembarangan!" Kesalnya sembari berkacak pinggang, "jadi maksudnya penampilan mama juga horor?"
Dengan lugu, Indra mengangguk tanpa ragu, "iya, dandanan mama juga horor. Bahkan lebih horor dari Ranu—aduh! Ma, sakit!" Teriaknya karena sang istri memukul kepalanya dengan tas yang luarnya ada duri-duri tajam seperti kulit durian.
"Makanya, kalau ngomong jangan sembarangan!" Dengkus Mira sebelum kemudian berlalu pergi lebih dulu, tapi nyaris jatuh karena tersandung kakinya sendiri yang mengenakan sepatu hak tinggi.
"Papa kan udah bilang, pakai sandal jepit aja Ma."
"Diam!" Sewot Mira yang nyaris kembali melayangkan pukulan dengan tas berduri yang ditentengnya ke wajah suaminya yang terbahak menyebalkan.
Ranu sendiri hanya diam sembari mengekori kedua orangtuanya di belakang. Menggigit kuat bibir bawahnya agar tak ikut mentertawakan sang ibu. Takut terkena amukan juga.
Ranu mengernyitkan kening saat ada sebuah mobil berwarna hitam yang terlihat mewah terparkir di depan teras rumah. Ibunya memekik girang dan dengan susah payah berjalan dengan sepatu hak tingginya masuk ke dalam mobil yang pintunya dibukakan seorang pria paruh baya yang usianya mungkin tak jauh beda dengan orangtuanya. Di ikuti ayahnya yang juga terlihat antusias. Meski ragu, Ranu ikut masuk ke dalam mobil.
Setelah semua masuk ke dalam, mobil hitam yang mewah itu mulai melaju. Di dalam, Mira tak henti-hentinya berceloteh dengan antusias. Sesekali ditimpali Indra. Hanya Ranu dan pria asing yang duduk di belakang kemudi, tampak tenang mengendarai mobil tanpa terganggu ocehan orangtua Ranu.
"Astaga Papa ..., Mama kangen banget duduk di jok empuk mobil mewah kaya gini!" Serunya antusias, dan mendapat kekehan dari suaminya yang duduk di kursi depan samping pengemudi. Sementara Mira di jok belakang bersama Ranu yang hanya diam.
"Kita bisa hidup enak lagi Ma, asal rencana ini berhasil." Ucap Indra sembari menatap Ranu dari kaca spion dalam. Wajah bengisnya tersenyum culas melihat putrinya yang menatap keluar jendela mobil.
Dengan senyuman sinis, Mira ikut melarikan pandangan pada Ranu yang duduk di sampingnya, "tentu saja harus berhasil Pa, Mama sudah muak hidup susah!" ucapnya yang kemudian merubah wajah sinisnya menjadi senyuman manis saat tatapannya bersirobok dengan Ranu yang mengernyitkan kening bingung. Mengingat, sangat jarang ibunya itu menampilkan wajah ramah padanya jika bukan saat ia tengah gajian, "Ranu, kamu sayang kan sama Ibu dan Ayah?" Tanya Mira sembari mengelus surai hitam Ranu.
Meski bingung mendapat pertanyaan seperti itu dengan tiba-tiba, Ranu tetap menganggukkan kepala, "iya, tentu saja Bu."
"Bagus, jadi nanti kamu harus nurut apa pun yang Ayah dan Ibu perintahkan ya?" Tanya Mira dengan senyuman yang perlahan berubah kecut karena Ranu terlalu lama berpikir untuk menjawab, dan membuatnya kesal, "ya?" Tanyanya sekali lagi, kali ini sembari menjambak rambut Ranu yang tadi dielusnya lembut.
"I—Iya Bu," jawab Ranu terbata, menahan rasa sakit dikepalanya.
Tersenyum lebar, Mira melepaskan jambakkannya dan kembali mengelus lembut surai hitam Ranu, "bagus, itu baru namanya anak tau diri." ucapnya sebelum kemudian kembali berceloteh tentang mobil mewah yang ditumpanginya.
Mengabaikan Ranu yang sibuk mengusap-usap kepalanya karena masih tersisa rasa sakit. Gadis itu memilih kembali melarikan pandangan ke luar jendela mobil. Entah kenapa, rasa bingung yang sedari tadi menggelayuti kepala, kini berubah menjadi rasa gelisah yang membuat Ranu terkungkung takut, akan hal buruk yang sepertinya akan menghampiri.