Chapter 3

1015 Kata
Part 3 Sinyal untuk Sang Putra Anita menyisir rambut basahnya di depan kaca rias sambil memperhatikan tanda merah yang terlihat jelas di leher putih mulusnya. “Andi benar-benar luar biasa, main sama dia berasa kayak di film bokep,” pikir Anita dengan wajah merona merah membayangkan kencannya dengan Andi di hotel semalaman. “Seandainya Andi punya pekerjaan tetap, maulah aku kawin saja sama dia. Ngapain nungguin suami yang jarang pulang kayak Fahri. Emangnya siapa yang tahan kalau j****y, jarang dibelai. Apalagi wanita muda dan cantik kayak aku. Hm ... tadi ibu bilang mau jual tanah. Wah ... bisa aku pake ntar duitnya buat buka usaha sama Andi. Fahri kan selalu menuruti kata-kataku selama ini,” pikir Anita senang. Seulas senyum licik terlihat di wajah cantiknya. *** “Ya ampun?! Ini orang tua kerjanya tidur terus sejak tadi! Habis ronda apa ngepet dia semalam.” Anita mengomel begitu hampir pukul dua siang, sang ibu mertua masih saja tidur dengan lelap. Begadang menunggui menantunya yang kelayapan tadi malam membuat Ranti benar-benar diserang rasa kantuk. “Woi ... bangun!” Anita menggedor daun pintu kamar mertuanya yang terbuka. Berlahan Ranti membuka mata begitu mendengar suara berisik yang ditimbulkan oleh Anita. “Astagfirullah ... aku belum salat Zuhur,” keluh Ranti begitu dilihatnya jam dinding sudah menunjukan pukul dua kurang lima menit. “Dasar orang tua pemalas! Tidur aja kerjaannya. Sana! Bikinin aku makan siang!” Anita kembali berteriak dari depan pintu. “Iya, tunggu sebentar! Ibu mau salat Zuhur dulu.” Ranti bangkit dari tempat tidurnya. Pelan ia berjalan menuju kamar mandi yang berdekatan dengan dapur. “Gak pake lama pokoknya! Aku udah lapar tau!” Anita mengomel lagi sambil berlalu dari depan kamar mertuanya. *** “Abang ... kamu lagi ngapain? Kapan pulang? Aku dah kangen nih ....” Anita bicara dengan manja. Ia sedang menghubungi suaminya--Fahri sore itu sembari rebahan di sofa ruang tengah. [Iya, Sayang .... Abang usahakan deh sebulan lagi pulang.] “Benar lho, Bang? Udah lima bulan Abang gak pulang-pulang. Aku kan jadi j****y ....” Anita bicara pura-pura sedih. Padahal dalam hatinya tidak ada rasa rindu sedikitpun untuk laki-laki yang sudah menikahinya dua tahun yang lalu. Pesona Andi yang lebih muda dan perkasa membuat hati Anita sudah tertutup buat Fahri. [Sabar, ya? Abang pasti akan pulang secepatnya. Abang juga rindu sama kamu kok] “Ok deh, Bang. Eh, ibu katanya mau bicara sama Abang. Bentar ya? Aku panggilkan ibu ke kamarnya.” [Ok, Abang juga kangen nih sama ibu, udah lama gak ngobrol.] “Sebentar ya, Bang ....” Anita bangkit dari duduknya dan berjalan ke belakang tempat ibu mertuanya yang sedang mencuci pakaiannya. “Bu, ini Bang Fahri mau bicara sama Ibu,” ucap Anita pura-pura lembut di mulut tapi matanya menyorot tajam menatap sang mertua. Ranti berdiri pelan dari tempat duduk kecilnya. Tangan yang penuh sabun cuci dibasuh dan dikeringkan dengan daster lusuh yang dikenakannya. Anita menyerahkan ponsel sambil tetap berdiri mengawasi Ranti yang menerimanya dengan tangan gemetar. Hatinya benar-benar tidak karuan karena akan bicara dengan putra satu-satunya itu. “Duh ... Anita gak mau pergi dari sini. Bagaimana caranya aku memberitahu Fahri tentang kelakuan istrinya?” pikir Ranti dengan resah. Dilihatnya Anita masih berdiri di depannya dengan mata yang melotot tajam. “Hallo, Fahri ....” pelan Ranti menyapa anaknya. [Assalamualaikum, Bu? Apa kabar? Ibu sehat-sehat saja kan?] “Waalaikumsalam .... Alhamdulillah, Nak. Ibu baik-baik saja,” jawab Ranti dengan netra yang mengembun. Hatinya menjadi sedih begitu mendengar suara putra kesayangannya itu. [Syukurlah, Bu. Soalnya aku beberapa kali mimpiin Ibu. Kirain Ibu sakit atau ada masalah apa gitu.] “Kamu kapan pulang, Nak? Ada yang ingin ibu bicarakan,” ujar Ranti sembari melirik Anita yang masih terus menatapnya. [In sya Allah, sebulan lagi lah, Bu.] “Kalau bisa pulanglah secepatnya, Nak. Soalnya itu peternakan ayam yang menyewa tanah kita mau membeli saja tanah itu. Mereka mau bangun kandang ayam yang lebih tinggi dan tertutup, soalnya ayamnya suka kabur dan gak pulang-pulang.” Ranti bicara memberikan sinyal kepada putranya. [Apa maksud, Ibu? Tanah itu kan sudah kita jual ke Pak Mamat, pemilik peternakan enam bulan lalu?] “Nanti sajalah bahas masalah ini pas kamu sudah pulang ke Palembang. Ntar ibu kasih tahu Pak Mamat. Sudah ya, Nak. Kamu mau bicara dengan Anita lagi bukan?” Ranti buru-buru memutus pembicaraan tanpa memberi kesempatan Fahri untuk bicara lagi. Ponsel segera diserahkan kembali ke Anita. Tanpa bicara apa-apa ia melanjutkan mencuci pakaian menantunya. Meski ada mesin cuci yang dibeli Fahri lima bulan lalu, Anita tetap menyuruhnya mencuci dengan tangan. Padahal tangannya sering terasa ngilu setelah bersentuhan dengan air dingin terlalu lama. Ranti menoleh sebentar begitu didengarnya sang menantu bicara merayu putranya. “Semoga saja Fahri tidak bicara mengenai tanah yang sudah mereka jual itu kepada Anita,” harap Ranti dalam hati. “Abang! Tadi aku dengar tanah bekas rumah ibu dulu mau dijual, ya? Baguslah, Bang. Aku memang ada rencana mau mulai buka usaha nih. Biar nanti kalau Abang sudah menetap di Palembang kembali, usaha kita udah jalan. Gimana, Sayang?” rayu Anita begitu pembicaraan dengan sang suami dilanjutkan kembali. [Sabar … jangan buru-buru. Nanti saja kita bicarakan pas aku pulang sebulan lagi. Sudah dulu ya, Sayang? Ini restoran lagi rame nih.] “Ya udah deh! Dadahh ....” Anita memutus sambungan telepon dengan wajah cemberut. “Sialan si Fahri! Pake nunggu bulan depan lagi jual tanahnya. Padahal aku udah gak sabaran mau ngasih tahu Andi mengenai rencanaku untuk buka usaha sama dia,” gerutu Anita dengan kesal. Ranti menghela nafas lega begitu dilihatnya Anita cemberut begitu selesai bicara dengan Fahri. “Alhamdulillah. Pasti Fahri tahu akan kode yang aku berikan tadi dan tidak menuruti kehendak Anita untuk buka usaha,” pikir Ranti. Wanita paruh baya berbadan kurus itu kemudian berjalan dari persembunyiannya di balik lemari pajangan yang membatasi ruang tengah tempat Anita menelepon dengan ruang makan. Ranti mendengar semua apa yang diucapkan Anita kepada Fahri dan mendengar gerutuan Anita setelah selesai menelepon anaknya. *** Fahri tercenung usai bicara dengan ibunya di ponsel Anita barusan. “Apa maksud ibu bicara seperti itu, ya? Apa terjadi sesuatu antara ibu dengan Anita? Ucapan Ibu tadi seperti mengandung rahasia yang Anita tidak boleh tahu, tapi bagaimana caranya aku menghubungi ibu tanpa melalui ponselnya Anita? Ah … salahku juga kenapa gak beliin ibu ponsel lagi pas pulang kampung lima bulan lalu.” Fahri meremas rambutnya kesal dan penasaran. Fahri teringat akan Anita yang telah dinikahinya dua tahun yang lalu tanpa proses pacaran. Ia sebenarnya tidak begitu mengenal sifat asli dari wanita yang merupakan cinta pertamanya kala SMA dulu. Apalagi setelah menikah, mereka hanya bertemu setiap enam bulan sekali. Itupun tidak lama, paling hanya dua minggu Fahri bisa menghabiskan waktu di kampung dengan istri cantiknya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN