BAB 10_MELAMAR

1182 Kata
POV 1(ADITYA) Sejenak aku diam. Pikiranku berputar cepat. Aku adalah calon pimpinan tertinggi Central Glory. Pantang menjilat ludahku sendiri dan itu artinya aku sudah memutuskan. Nasi sudah menjadi bubur dan aku tak akan bisa mundur. Tak ada yang perlu aku sembunyikan dari Dahlia. Karena memang aku akan menikahi gadis ini bukan karena cinta. Hatiku sudah tertutup rapat. Terlalu sakit karena hinaan wanita yang aku berikan ketulusan cinta. Aku pun yakin, Dahlia pun sama dengan Belinda. Apa lagi, dia berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pastilah, rasa hausnya akan harta juga sangat tinggi. "Aku adalah anak sulung dari Hadi Pratama, pemilik banyak perusahaan di kota ini. Dan perusahaan tempat Belinda bekerja adalah milik ayahku. Sebagai anak pertama laki-laki, aku akan mewarisi perusahaan itu. Tapi ada syaratnya, harus menikah dan menguasai segala bidang di perusahaan. Itu mengapa, setelah lulus kuliah dan private bisniss class, aku bekerja sebagai admin di sana selama enam bulan. Ayahku tak banyak mempercayaiku karena selama ini, aku banyak berfoya-foya." Dahlia hanya diam, membiarkanku menyelesaikan ceritaku. "Aku sangat mencintai Belinda. Berharap dia pun memiliki ketulusan yang sama denganku seperti aku yang tak peduli dengan status strata. Aku berencana menikahinya dengan hasil kerjaku. Aku pun berbisniss software. Murni hasil keringatku sendiri. Tak ada campur uang ayahku. Lagi pula, selama enam bulan, rekeningku dibekukan. Tapi aku tetap bisa menikmati kemewahan karena ayahku masih membebaskanku membeli apa saja dengan kartunya sehingga dia tetap bisa memantauku." Gadis itu melebarkan bibirnya seperti sedang mengejekku. Mungkin dia berpikir, aku adalah laki-laki manja. "Kenapa kamu senyum begitu? Apa yang lucu?" tanyaku ketus. "Tak ada yang lucu. Kamu beruntung," jawabnya datar. Aku menoleh ke depan, melihat lalu lalang kendaraan. Kukeluarkan ponselku untuk melihat jam. Aku menghidupkan mobilku, bersiap ke suatu tempat yang aku rencanakan. "Jadi, kamu akan menikahiku hanya untuk sebuah pernikahan tanpa cinta? Hanya untuk membalas dendammu atas hinaan Belinda dan ibunya?" tanya Dahlia datar. "Untuk itu, aku akan membayarmu sangat mahal," jawabku terus mengendalikan kemudi. "Tak ada pernikahan yang dicintai Allah kalau ujung-ujungnya cerai. Aku takut, Allah murka karena mempermainkan pernikahan demi memuaskan ego," timpal Dahlia. Cukup terkejut, kepalaku langsung menoleh pada gadis itu. Aku tak menjawab apa-apa. Kulajukan mobil cukup kencang menyusuri setiap sisi jalan raya yang padat itu. Seperti banyak benang sedang berputar dalam otakku. Aku berpikir dengan serius. Didikkan ayahku adalah agar bertanggungjawab dengan semua perbuatanku. Aku adalah laki-laki dan seorang pemimpin. Wanita di samping ini benar. Dia adalah korban emosi dan egoisku. "Kita turun di sini," ujarku setelah sampai di sebuah klinik kecantikan. Dahlia melongo seperti kebingungan menatap bangunan yang nampak mewah dari luar. Klinik kecantikan ini mengusung konsep premium dan elegan. Jelas terlihat setiap sisinya menggambarkan kemewahan. Aku sering ke sini hanya sekedar merawat wajah tampanku ini agar tetap berkharisma. "Ayo, kok bengong?!" "Anu ... kita belum selesai bicara," jawab Dahlia seperti ragu-ragu. "Nanti kita bicara lagi, cepat! Turun!" Aku sedikit membentaknya sembari masih membukakannya pintu. Jelas terlihat dari wajahnya, gadis itu memucat, grogi. Mungkin karena baru pertama kali masuk tempat seperti ini. "Selamat pagi, Tuan Muda," sapa Cristi yang biasa melayaniku. Dia adalah beauty consultant yang membantu memilih jenis perawatan dan produk yang tepat untuk customer. "Hay. Pagi. Syukurlah kamu di sini Cristi. Bantu aku memoles bunga ini. Aku akan memberikanmu tips," senyumku padanya. Cristri melirik Dahlia. Wanita yang kulitnya bagai porsolen itu seperti kaget melihat bawaanku. Gadis lusuh berhijab dengan kulit berminyak juga kusam. Sekilas aku melihat ada beberapa jerawat juga bekas jerawat di wajah Dahlia. Tentu saja komedo juga memenuhi ujung hidungnya. Gadis itu tertunduk seperti berusaha menyembunyikan diri. "Lakukan yang terbaik ya beby. Bila perlu buat dia bersinar seperti purnama," ujarku merenggangkan tangan karena tubuhku terasa pegal. Cristi hanya mengangguk. Mungkin saja dia sedang berpikir keras, bagaimana mengubah bebek jadi angsa putih bersinar. Atau dia sedang cemburu? Sebab baru pertama kali aku membawa seorang gadis. Aku tahu, Cristi menyukaiku. Semua sudah terbaca jelas. Tapi gadis itu bukan kategoriku, sebab perbedaan agama kami. Meski aku masih brandalan, tapi urusan agama, aku sedikit punya kriteria. Seiman, itu yang utama. "Oh ya, untukku, cukup pijat relaksasi saja," lanjutku. Tanpa pikir panjang, Cristi memanggil karyawan klinik itu. Kulihat empat karyawan yang datang, tersenyum pada kami. Mereka mengarahkan Dahlia untuk menuju sebuah ruangan. Gadis itu terlihat semakin pucat saja. Aku sedikit mengangkat tanganku, meminta sedikit waktu. Kuseret tangannya agak menjauh. "Bersikaplah wajar. Ini namanya klinik kecantikan alias salon kecantikan, bukan tempat pemandian pesugihan. Kamu di sini akan dirawat, dibersihkan bukan mau dijadikan tumbal. Oke. Paham ya?!" Dahlia meremas-remas ujung tuniknya. Aku segera menepisnya agar dia melepaskan kain lusuh itu. "Jangan bikin aku malu," lanjutku berbisik. Aku kembali menyerahkan gadis itu pada empat wanita yang sedang menunggunya. Setelah menandatangani beberapa list perawatan, aku dibawa ke ruang khusus dan menerima pelayanan pijat yang menyegarkan badan. Beberapa jam yang terlewati, aku masih menunggu Dahlia di ruang tunggu VIP. Kuhabiskan waktu dengan membaca laporan keuangan perusahaan sembari minum teh hijau. Aku juga menunggu balasan ayahku. Semalam aku meminta rekeningku segera dibuka agar aku bisa melamar wanita yang akan menjadi istriku. Mungkin dia mengira aku bercanda, sampai sekarang tak ada tanggapan. Tak .... Tak .... Suara langkah seseorang yang sedang mendekat. Aku sedang fokus, jadi memilih untuk terus menatap layar ponselku. "Aku sudah selesai," ucapnya. "Oke. Baiklah. Setelah ini, kita akan ke toko pakaian. Aku sedang membuat janji dengan seseorang. Tunggu," ucapku datar tanpa menolehnya. Sejenak tak ada suara lagi. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku untuk menawarinya minum. "Kamu mau aku pesankan minuman seperti ini?" tanyaku mengangkat wajahku sembari menyodorkan gelas. Hampir saja aku akan menjatuhkan gelas itu jika saja aku tak segera mengendalikan diriku. Gadis berhijab yang kulihat kusut, kumal, kucal dengan wajah yang kusam tadi sudah berubah menjadi gadis yang bersinar. Aku seperti melihat orang lain, bukan seorang pembantu yang bekerja di rumah mantanku. Bagaimana dia bisa secantik itu?! Sekarang, aku hanya diam. Tak ada kata yang bisa aku utarakan. Jiwaku masih sangat kaget. "Gimana Tuan? Saya sengaja langsung sedikit mendadaninya juga memberikannya pakaian baru. Tentu saja, kau harus membayarnya," ujar Cristi tersenyum. "Aku sangat berterima kasih beby. Kau yang terbaik," jawabku mengerlingkan mata. Cristi tersenyum semakin lebar. Wanita itu meletakkan beberapa snack di atas meja lalu sedikit mengangguk dan pergi meninggalkan kami. Melihatnya dengan tampilan baru seperti itu, mengapa aku jadi salah tingkah? "Makanlah, mungkin bisa sedikit memberikanmu energi," tawarku menetralkan perasaanku. Aku hanya sedang terkejut, bukan apa-apa. "Yah. Aku seperti habis dikuliti hidup-hidup. Huuuft," jawab Dahlia meneguk minumannya. Sekarang aku yang kembali diam, bingung mau bicara apa lagi. Tiba-tiba notifikasi email masuk. Kuintip ponselku. Seketika hatiku menyeruak bahagia. Aku merasa, penderitaanku selama enam bulan ini telah berakhir. Hari ini, aku bisa menarik uangku kembali! 'Terimakasih, Papa!' tulisku pada pesan untuk ayahku. Sekarang aku seperti memiliki kekuatan baru. Kutatap Dahlia yang masih menyapu ruangan mewah ini dengan pandangannya. "Hey!" panggilku sedikit meninggi. Dahlia menoleh. "Mari kita menikah!" Gadis berkerudung merah jambu itu melebarkan matanya yang semakin indah setelah dihiasi oleh maskara dan eye liner. Bibirnya yang terlihat glossy sedikit membuka. "Aku akan membawa hantaran sejumlah uang lima ratus juta, satu buah mobil mewah dan sebuah rumah untuk keluargamu di komplek itu. Maharmu, kubayar dengan emas seratus gram, sebuah cincin berlian dan uang tunai lima ratus juta."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN