BAB 11_KETIMPLAK!

987 Kata
Setelah banyak detik yang terbuang di antara kami, akhirnya gadis di depanku itu bicara. "Andai kamu mengatakan ini pada Belinda saat kamu melamarnya, aku yakin, dia dan ibunya pasti langsung menerimanya." "Aku sangat mencintainya, tak melihat apakah dia wanita berada atau tidak. Jika seadainya, Belinda pun hanya seorang pembantu sepertimu. Aku pun akan tetap mencintainya." Dahlia mengelus ujung meja yang terbuat dari akrilik itu. Entah apa yang di pikiran gadis itu. Namun kalimat dari bibir mungilnya menjawab pertanyaanku. "Jadi begitu rendahnya status seorang pembantu di matamu." "Bukan begitu. Jangan salah kaprah. Beda otak, beda pandangan, dan beda persepsi. Itu hanya perumpamaan. Jangan salah, pasangan yang kubawa saat melamarmu itu adalah dua pelayanku. Aku menghargai mereka bahkan menyayangi mereka seperti kedua orang tuaku. Tidak ada yang salah dengan art, justru mereka sangat luar biasa. Namun, marilah kita bicara dari segi strata sosial dan logika." Aku menatap serius pada wajah Dahlia yang sedang menunduk. Aku harap dia tak menolakku. Dan aku yakin, dia takkan bisa menolakku. "Aku berjanji. Setelah menikah nanti, aku akan membantu biaya pengobatan bayi yang ada di rumahmu itu," ujarku. Kedua bola mata Dahlia melebar langsung menatapku. "Dia adalah Nadia, keponakanku. Anak dari adik ibuku yang meninggal ketika melahirkannya. Keterbatasan biaya lah yang memperparah kondisinya," tutur Dahlia sendu. Kusesap tehku. Jauh dalam hatiku, rasa khawatir dan was-was merambat. Apakah semua berjalan sesuai keinginanku? Aku sedang bertaruh dengan kehidupanku sendiri. "Jadi apa keputusanmu?" tanyaku meminta ketegasan. "Aku tak ingin menikah jika dalam rencana pernikahan ini diiringi perjanjian untuk bercerai." Seketika alisku terangkat karena cukup terkejut dengan tanggapannya. Aku tak mampu menyembunyikan senyumku. Sengaja wajahku menghadap lain, hanya untuk menyembunyikan guratan ekspresi lucu yang kurasakan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku tak ingin kau ceraikan setelah menikah nanti itu bukan karena solah-olah aku sedang bucin. Pahami kalimatku," lanjutnya dengan suara berat. "Apa yang tidak aku pahami? Jelas-jelas, kamu sedang mengatakan, tak ingin aku ceraikan meskipun aku menikahimu tanpa cinta. Aku sudah menebaknya. Pesonaku memang tak bisa aku kurangi meskipun aku sudah berusaha. Jadi, bersabarlah. Dan tolong jangan baper ya!" Mulut Dahlia langsung mengerucut. Aaah kenapa makin terlihat manis? "Kamu jangan kepedean!" seru Dahlia yang membuatku langsung membeliak. "Apa? Siapa yang kepedean. Aku sudah tahu kok. Kamu tak mungkin melewatkan kesempatan ini. Menikahi laki-laki tampan, baik hati, dan calon direksi perusahaan besar, itu adalah anugerah yang luar biasa. Jangan lupa, sujud syukur nanti setelah sholat. Allah datangkan jodoh yang begitu luar biasa padamu. Oke." Ketimmpluk!! Gadis berhijab itu melempari dadaku dengan jajan donat di depan kami. Untung saja, jajan bulat berlubang itu terbungkus rapi jadi pakaianku tetap bersih. "Eeh! Gak sopan!" seruku melotot. "Bodo amat! Kamu sih ngeselin, sok kepedean. Aku akan jelaskan. Tolong simak dengan serius karena ini sangat penting. Jangan biarkan otakmu berlubang kayak donat itu! Fokus!" berangnya memerintah. "Silahkan jabarkan!" seruku menatangnya. Aku ingin mendengar apa isi kepala gadis yang sudha kusulap jadi Cinderela ini. "Dalam agama Islam, tidak ada nikah kontrak. Jadi, jangan iringi pernikahan ini dengan perjanjian untuk bercerai setelah melewati kurun waktu tertentu! Kalau memang hubungan pernikahan itu nantinya tak bisa dilanjutkan lagi, daripada saling menzholimi, kita bisa bercerai. Sampai sini paham ya?" Kedua bibirku membuka, terperangah dengan penuturan gadis di depanku ini. Apa dia seorang ustadzah? "Kita menikah dalam kondisi tanpa cinta, ingat itu. Aku tidak cinta kamu meskipun uangmu banyak! Dan aku pun yakin, kamu juga tak mencintaiku karena aku akui, aku bukan levelmu. Kita menikah karena saling menguntungkan. Kamu dengan ambisimu, aku dengan tujuanku untuk bisa meningkatkan taraf hidup keluargaku." "Namun meskipun demikian, jangan tentukan berapa lama kita akan bercerai. Aku takut itu jadi dosa besar. Kita sudah banyak dosa, jangan ditambah lagi dengan cara sengaja. Biarlah nanti, kemana arahnya pernikahan ini, aku pasrah." Setelah kalimat itu selesai dia ucapkan, aku baru menutup mulutku. Jika mataku tak langsung melihatnya sebagai art di rumah Belinda, aku tak percaya dia hanya seorang pembantu tamatan SMA. Hatiku seperti ada yang mencolek, ternyata dia gadis yang cerdas juga soleha. "Jadi, itu artinya kamu setuju?" Dahlia mengangguk. Aku pun menganguk samar, seperti lega. "Siap menerima semua konsekuensinya?" Gadis itu menatapku tajam. "Maksudku, konsekuensi menjadi istri selevel CEO itu ujiannya banyak ya. Akan banyak yang akan iri padamu," lanjutku segera memperjelas maksudku. Tiba-tiba saja tatapan gadis itu membuatku jadi menciut dan sekarang dia mengulum bibir bawahnya, lalu tampak mengembuskan nafasnya kuat-kuat. Sangat manis di mataku. Aku langsung kembali menegak tehku yang tersisa. Jantungku! Kenapa dia berdetak kencang begini? Seperti habis lari maraton saja. Tidak! Tidak! Ini pasti karena aku terlalu banyak minum teh. Aku segera meletakkan gelas kosongku lalu mendehem. "Eheem. Kuanggap pembicaraan ini sudah menemukan titik temu. Baiklah. Kamu bisa mempersiapkan dirimu. Aku butuh beberapa hari untuk mempersiapkan semuanya. Tetaplah standbye di rumahmu. Jangan jadi art lagi. Kamu sudah terikat perjanjian denganku. Paham?" Hanya anggukan saja yang diberikan Dahlia. Kenapa dia sekarang mendadak jadi diam? "Kabari kedua orang tuamu. Esok, akan ada orang suruhanku yang akan membawa ponsel untukmu," ujarku sedikit menegakkan badanku. "Tak perlu. Aku masih punya hp. Mana nomormu?" Dahlia menunjukkan ponselnya lalu sedikit mendongak padaku, memberi isyarat agar aku menyebut nomorku. "Tolong ya, nomorku tak cocok masuk hp jadul begitu. Aku terbiasa berhubungan via online. Agak kaku kalau harus sms atau telpon manual begitu!" "Ya sudah, tak usah saja hubungi aku. Beres," ketusnya menggenggam kembali hapenya yang tak berkamera itu "Tenang saja, aku kasih kamu gratis. Bukan termasuk hantaran atau lamaran kok!" "Hpmu itu cocok jadi senter saja. Tak usah pakai lagi. Pokoknya besok kamu terima kiriman ponsel dariku. Aku akan menghubungimu dari situ," tambahku. Ekspresi gadis itu mencolos saja begitu, tak ada gembira-gembiranya padahal mau diberikan HP baru. Heran. "Hp, Hpku! Kenapa kamu jadi ngatur?!" serunya dengan nafasnya yang memburu. Mungkin dia tersinggung. Dasar gadis aneh. "Ya kamu, harus menyesuaikanlah! Kamu kerja siang malam berbulan-bulan di rumah Belinda juga takkan mampu beli hp yang akan kuberikan. Jangan banyak protes. Aku tak hanya omong besar, aku yang fasilitasi! Sudah, buang saja hp jadulmu itu, sekalian nanti pakai lempar tikus di rumahmu. " Ketimplaaaaak!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN