Mangkuk Dua

1527 Kata
“Tari!” sentak Simi. Perempuan periang yang kini sedang membawa tumpukan kardus itu melotot di depanku. Tidak terasa air mata mulai menetes, siapa bilang waktu dapat menyembuhkan luka? Buktinya sudah Enam tahun berlalu kejadian itu rasanya baru kemarin terjadi. Kuhapus lelehan yang membasahi pipi ini dengan tisu. Simi menyimpan kardusnya di meja, dia lalu duduk di sebelahku. “Lo masih ingat kejadian itu?” “Siapa yang bisa lupa sih, Sim? Kami temenan dari zigot, susah senang bersama, perkara rankingnya kegeser aja dia ngamuknya kayak kemalingan apa, yang gak bisa gue terima dia sebut gue pengkhianat. Pengkhianat sebelah mananya coba?” Simi tertawa, gigi gingsulnya membuat sahabatku ini terlihat manis. Dia lalu menepuk bahuku seraya berkata, “Coba move on, berdamai dengan rasa sakit, lupakan biar bablas. Biar usaha kamu lancar.” Aku tersenyum menanggapinya, tidak semudah itu, Sim. Oh iya, setelah lulus dari sekolah bisnis, aku memilih merintis bisnisku sendiri dengan membuka restoran ramen ini. Jiwa bebasku memaksa diri ini untuk berwirausaha ketimbang bekerja. Aku tidak mau terikat dengan orang lain, bukan berarti malas, karena toh dengan membuka usaha ini justru tanggung jawabku semakin besar. Aku menggunakan modal yang didapat dari uang pensiun Papa. Dan itu tidak boleh disia-siakan. Kehidupan sehari-hari kedua orang tuaku kini ada di tanganku. Jika aku gagal, maka entah apa jadinya. Kulihat Simi masih sibuk menata Restoran yang baru akan dibuka besok. Pekerjaannya sebagai designer interior memberikan keuntungan bagiku. Lumayan, tidak perlu bayar mahal untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Yang pasti aku bebas cerewet dan mengutarakan keinginanku dalam menata restoran ini. “Tari, coba ini kaktusnya tolong di simpan di rak dekat kaca yang itu,” perintah Simi. “Yang paling ujung yang ini, trus lanjut yang ini dan ini.” Simi menunjuk satu-satu kaktus yang dia maksud. Bagiku sama saja, mau di simpan di mana pun, tetapi bagi Simi jelas berbeda. Dia penderita OCD atau Obsessive Compulsive Disorder dia selalu memiliki ketakutan berlebih pada benda-benda kotor, berdebu dan kumal serta selalu mewajibkan mengatur benda-benda dalam pola tertentu. Kaktus ini contohnya. Kuturuti apa maunya, rak kayu yang dia pesan disimpan dekat kaca, dari luar orang-orang bisa melihat dengan jelas apa yang dipajang di atasnya. Kususun pot-pot kaktus sesuai dengan apa maunya Simi. Orang-orang yang melintas berhenti sejenak. Mungkin mereka mulai tertarik dengan restoran yang akan aku buka besok. Terutama pria berbadan agak subur, sudah dua kali lelaki itu lewat. “Begini, Sim?” tanyaku. Simi yang sedang mengatur pajangan lain menoleh. Keningnya berkerut. “Yang ujung geser dikit, trus putar,” perintahnya. Aku mengangkat bahu, benar, kan? Dia selalu begitu, bagi orang itu sudah sempurna bagi dirinya masih aja ada kurangnya. Kugeser kaktusnya dia mengangkat kedua jempolnya tanda puas. “Eh, eh, lo liat gak?” “Apaan?” kontan aku berbalik pria berjaket merah berbadan tambun itu balik lagi. Seperti sedang mencari sesuatu. Simi mendekat dia membisikkan sesuatu, aku tercenung mendengar apa yang dia katakan. Menepis segala macam pikiran jelek, lagipula Simi memang kerjanya seperti itu, selalu cemas. “Mungkin dia penasaran, Sim, liat tuh bodynya subur begitu, tempat makan kayak gini kan jadi surga buat mereka.” “Tari!” sentak Simi, aku kaget melihat sahabatku berkacak pinggang sambil melotot. “Apaan sih, sim?” “Jangan Body shaming!” “Astaga, aduh sory, gak lagi deh.” Iya betul, aku lupa tidak seharusnya menghakimi seseorang melalui fisiknya apalagi sampai body shaming. Dibantu Simi juga asistennya akhirnya persiapan grand opening Uchiha Ramen rampung juga. Fiuuh ... gak nyangka banget aku bisa berada di titik ini. Dulu hanya bisa mengkhayal saat makan di warung ramen. Sebenarnya mimpi ini adalah mimpi kami berdua, aku dan Raka. Tapi sepertinya dia sudah mengubur mimpinya dalam-dalam sejak menghempaskan perasaanku dulu. Bukan perasaan cinta, tetapi baper gegara lelaki itu kalah saing. Kalau aku yang baper sih wajar, ya. Namanya juga cewek, tiba-tiba dijauhin sahabat yang deketnya udah kayak ketempelan lem super glue. Selepas kuliah akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan mimpi ini sendirian. Menyaksikan muda-mudi menyantap ramen, bercengkrama, saling ledek karena gak bisa menggunakan sumpit adalah salah satu kebahagiaan yang tidak dapat aku lukiskan. Dan mimpi-mimpi ini besok akan terwujud berkat dukungan banyak pihak termasuk kedua orangtuaku. Juga Simi sahabatku. “Tari,” panggil Simi. Suara cemprengnya yang khas sudah terdengar jelas padahal jarak kami lumayan jauh. “Ini calon karyawan yang mau briefing udah pada datang, mau dibawa ke mana?” lanjut perempuan dengan pasmina oranye itu. “Oh iya suruh pada duduk di sini aja, emang dibawa ke mana lagi?” “Ya kirain mau dibawa ke hatimuuuu,” seloroh Simi sambil tertawa ngakak. Ada-ada aja tingkah sahabatku itu. Ada saja yang kalimat yang terlontar dari bibirnya, kadang bikin ngakak, kadang garing kayak kerupuknya mang Salim. Lima orang calon pramusaji masuk ke Uchiha Ramen, masing-masing membawa map berisi kelengkapan berkas lamaran. Dua orang laki-laki duduk di kursi paling ujung, sisanya menyebar. Aku berjalan mendekat dan mulai memberikan briefing untuk pembukaan Uchiha Ramen esok hari. Ah bener, alasan aku pilih nama ini karena Uchiha mengingatkanku pada sebuah klan di cerita komik. Diceritakan bahwa klan Uchiha adalah klan terbesar, dan klan yang disegani. Walaupun akhirnya mereka hampir punah, namun dengan bantuan Uchiha sasuke klan Uchiha masih tercatat sebagai klan terkuat dalam sejarah. Uchiha Ramen akan mengukir sejarah yang besar, aku akan porak porandakan perdagangan Indonesiaaaa. Eh salah, mari kuasai perdagangan dan dunia bisnis kuliner di Indonesia. Angkat tangan, naikkan satu kaki ke kursi, bunga-bunga bertaburan menyambut kesuksesanku. “Tari!” “Tari!” “Tari!” Semua orang meneriakkan manaku, menyanjungku, Uchiha Ramen .... “Tari!” Simi menarik tanganku, entah bagaimana ceritanya kakiku kiriku sudah berada di atas kursi dan tangan terangkat. Semua orang menatapku dengan mulut menganga. “Ehm, maaf, terlalu terbawa suasana. Abaikan yang tadi anggap tidak pernah terjadi.” Celaka, wibawaku hancur berantakan bagaikan gelas pecah yang berserak. Kulihat Simi, dia melotot, pasti habis ini aku akan diceramahi. Benar saja, ketika briefing usai, Simi sudah seperti petasan. Emosinya meledak-ledak. “Lo itu demen banget melamun, sih. Melamun dikit mewek ingat Raka, melamun dikit ketawa kek orang gak waras, sumpah ya tadi pegawai lo sampe ada yang ngakak gara-gara tingkah absurd lo.” Kupingku sudah panas, risiko berteman dengan Simi memang begini, tapi walau dia seperti ini aku sayang padanya. Kudekati dia lalu memeluknya, mengucapkan banyak terima kasih. “Lepasin, Tari! Lo keringetan kotor elah,” berontak Simi. Tubuh mungilnya meronta-ronta. *** Karangan bunga berjejer rapi di depan Uchiha Ramen, muda-mudi pecinta komik itu berbondong-bondong berkunjung dan pesan berbagai menu di Uchiha Ramen. Tidak hanya Ramen, tetapi jenis makanan Jepang lainnya yang tersedia di sini. Ini adalah pencapaian terbesarku, dulu aku menangis saat menerima Piala juara umum di sekolah, menangis lagi saat menerima buket bunga saat wisuda, dan kini aku juga menangis saat kini melihat banyaknya karangan bunga berisi ucapan selamat atas pembukaan Uchiha Ramen. Baperan emang, tapi baper karena pencapaian sendiri itu membanggakan, bukan baper karena orang lain lebih unggul. Kan ... kenapa sih bayangan Raka selalu hadir di setiap kesempatan? Serbuan pengunjung membuat semua terlihat sibuk, koki, serta pramuniaga, aku sampai-sampai harus turun tangan ke dapur membantu dua koki terbaik. Sesekali menyapa pengunjung, memperkenalkan diri berharap dibukanya Uchiha menjadi sahabat dekat para pecinta makanan Jepang. Ketika Uchiha Ramen sudah tutup dan aku sedang sibuk di belakang,kudengar keributan di luar restoran. Mungkin mereka yang datang terlambat sedangkan makanan sudah habis. “Mbak Tari, diluar ada yang mau ketemu sama pemilik Uchiha, dia rada ngambek pas kami bilang makanan habis dan toko sudah tutup.” Mutia datang dengan wajah kebingungan. Kusimpan tumpukan uang yang sedang dihitung, memasukkannya kedalam laci, lalu menguncinya rapat-rapat, khawatir ada tuyul lewat lalu menggondol hasil jerih payah hari ini. Pemandangan pertama yang aku lihat saat keluar ruangan adalah dua orang pria yang sedang berdebat, pria satunya pernah aku lihat kemarin. Pria dengan badan tambun yang bolak balik di sekitaran Uchiha Ramen. Benar dugaanku dan Simi, orang itu pasti memiliki maksud lain dengan terus mondar-mandir di sekitaran Uchiha, dia terus mendebat temannya yang sepertinya marah. Dilihat dari belakang, pria itu sepertinya tampan, aku mendekat lalu menyapa keduanya. “Lo!” “Lo!” Aku dan lelaki itu berucap bersamaan, deja vu. Kejadian delapan tahun silam terulang lagi. Pria tambun berbaju biru dongker itu ternyata Andra, aku tidak mengenalinya karena dia tidak sekurus dulu, sedangkan pria yang tengah marah ini siapa lagi kalau bukan Raka. Aku tidak mengerti mengapa dia terus-terusan marah, terus-terusan menganggapku seperti musuh yang siap menggulingkan dirinya di medan perang. Raka tidak bicara apa-apa, napasnya memburu naik turun. Matanya memerah seperti banteng yang sedang digoda oleh matadornya. Jujur rinduku terobati meski harus melihatnya dengan situasi seperti ini aku rela. Raka hari ini jauh lebih rupawan dari Raka saat SMA. Ah ... Sim, andai lo ada si sini. Lo bakal liat dan mengerti kenapa aku gak bisa move on dari Raka. Tangan yang semula terkepal kini terangkat, lalu menunjuk diriku seraya berkata, “Lo, gak ada bosannya ngancurin hidup gue!” Raka pergi kakinya menghentakkan kakinya, menghancurkan deretan karangan bunga yang terpajang di depan pintu masuk Uchiha Ramen. Andra mendekat, “Tari, Senju Ramen yang ada di persimpangan jalan sana adalah restoran Jepang milik Raka. Hari ini dia sedih sekali karena pelanggannya pindah ke sini.” Lelaki itu lalu pergi menyusul Raka. Mana aku tahu, lagipula ini dunia bisnis, aku membuka Uchiha Ramen dengan cara sehat, tidak licik, tidak main dukun. Tidak ada niatan untuk menyaingi siapa pun. Hanya ikhtiar untuk menggapai mimpi juga meraih kebahagiaan. Apa salah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN