Mangkuk Tiga

1646 Kata
“Tari! Tari! Tari!” Simi berlarian heboh. Dia mengap-mengap persis seperti ikan mas yang disimpan di daratan. Masih aku liatin, apa sebenarnya yang ingin dia katakan. Jujur mood aku agak berantakan, melihat karangan bunga yang nasibnya mengenaskan persis seperti persahabatan antara aku dan Raka. “Senju,” ujarnya di tengah helaan napas, “Senjuh ... hah ... air mana air, gue haus.” Kuserahkan air mineral yang tersisa setengahnya, ingin melihat bagaimana reaksi Simi jika tahu air mineralnya bekas minumku. Bersih memang, tapi arti bersih orang OCD dengan kita kan beda. Tanpa aba-aba Simi menenggaknya hingga habis. Dia lalu duduk di sebelahku. “Senju Ramen ternyata restonya si Raka. Anjir kalian sehati banget dah, kalian sebenernya Cuma gede gengsi aja sampe-sampe memelihara dendam. Dendam dipelihara, tuyul kek, kan mayan jadi duit.” Aku bisa saja menyumpal telinga dengan earphone, kemarin saja saat Raka dan Andra datang tanpa permisi dan membuat kekacauan Mood benar-benar anjlok. Hanya saja ini Simi, galaknya udah persis Bu Rum guru matematika saat SMA, gak nyimak auto lempar penghapus. “Gue tahu,” jawabku berusaha sedatar mungkin agar terlihat tidak peduli. Padahal sebenarnya kejadian semalam benar-benar membuat hatiku kacau balau tidak menentu. Antara aku dan Raka bukan sehati seperti yang Simi katakan sebenarnya. Namun, memiliki restoran Jepang merupakan mimpi yang kami pendam berdua sebelum keegoisan menjadi salah satu penyebab renggangnya hubungan persahabatan kami. Kuperhatikan wajah Simi dengan seksama, rautnya jelas sekali menyelidik, seperti seorang jagal yang bersiap menguliti binatang ternak yang baru saja dia potong. Simi bersiap memberondongku dengan jutaan pertanyaan yang mungkin aku sendiri tidak akan pernah menemukan jawabannya. “Kok gak cerita,” protes sahabatku yang menggemaskan ini. Dia melipat tangannya di d**a. “Mana sempat gue cerita,” elakku, “Lo datang-datang udah merepet aja mirip petasan, sampe lupa napas, sampe lupa kalau lo minum dari botol bekas gue.” Simi meringis, menatap dengan jijik pada botol air mineral yang dia pegang. Untungnya keburu datang pengunjung resto, kalau tidak habislah sudah aku kena marah. Kubiarkan Simi menikmati waktunya sendiri sambil mengerjakan pekerjaannya di pojokan resto. Aku seperti biasa membantu di belakang karena ternyata pengunjung lagi-lagi membludak. Kupanjatkan rasa syukur yang tidak terhingga dengan pencapaian ini. Meski aku harus melakukan mimpi ini tanpa Raka setidaknya aku sekarang bahagia. Salah satu pengunjung memesan Echa Ramen, menu yang paling basic di Uchiha Ramen. Ramen dengan mie nya kenyal dibuat khusus oleh koki andalan Uchiha. Disajikan dengan kuah creamy miso. Toping yang digunakan adalah telur rebus, jamur, wortel dan tamago. Dalam nampan yang sama disediakan chili oil secara terpisah. “Meja nomor tujuh,” teriak koki seraya membunyikan lonceng kecil di meja. Saat Nanda hendak mengambil nampannya, aku buru-buru mendahului. “Biar saya saja, Nanda, sekalian nyapa pengunjung.” Nanda mengangguk lalu mengambil hidangan lain yang sudah jadi. Kami berpencar menuju meja pemesan. Seorang gadis berhodie pink cerah duduk dengan manis di meja nomor tujuh, kuserahkan pesanannya sambil menyapa dan berbasa-basi. “Terima kasih sudah mampir ke Uchiha, silakan dinikmati,” ucapku sebelum meninggalkan meja tersebut. Semakin sore, pengunjung semakin banyak, bahkan Simi yang tengah asik mendesain di pojokan ruangan harus mengalah membereskan barang bawaannya dan pindah ke ruanganku. Sebagai konpensasi karena Simi harus terusir dari tempat duduknya, kuhidangkan Gyu Butter Gohan, daging sapi slice yang ditumis dengan menggunakan butter dan bumbu yang manis dan gurih lalu ditambahkan gohan atau nasi dan salad. Simi terlalu sempurna dalam segala hal termasuk milih menu makanan. Dia buka penggila mie atau ramen sepertiku. Dia adalah pecinta nasi, makan di mana pun dia ok, asalkan ada nasi di dalamnya. Gyu butter ini menurut Simi adalah menu paling enak, beefnya lembut pas banget buat Simi yang selalu kelaparan. “Gratis!” kusodorkan makanan itu tepat di hadapannya. Simi berterima kasih lalu menutup laptopnya. “Whoaaaaa, harumnyaaaa. Lo gak mau nemenin makan?” tanya Simi. “Pengunjung lagi banyak, Beb. Nanti aja kalo dah sepi gue temenin lo, Oke?” Simi terlihat mendengkus sebelum mengangguk dan mengacungkan ibu jari pertanda dia baik-baik saja. Setelah Raka memperlakukanku dengan tidak adil dahulu kala, Simi lah yang selalu menghiburku. Yang selalu ada dan tulus. Aku melihat ada yang tidak biasa di area resto di salah satu meja ada seseorang yang semalam sempat menghancurkan karangan bunga. Dia tidak mengacau, aku pun enggan menyapa, takut tiba-tiba ada keributan yang mengancam reputasiku juga reputasi Uchiha yang baru saja buka. Aku duduk resah dibalik meja kasir, menyaksikan Naila yang sedang bekerja dengan begitu cekatan. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Raka. Maksud kedatangannya ke sini aku tak tahu, kini kebimbangan menyergapku. “Nai, meja sepuluh pesan apa?” tanyaku setelah tidak ada pengunjung yang melakukan transaksi. Naila menutup laci, lalu menyeruput minuman yang disimpan dekat mesin kasir. Lalu dia mengecek pesanan sebelum menjawabku. “Sushi dan tendon,” jawab Naila setelah melihat list pesanan di komputer. “Sendirian?” tanyaku. “Tadi sih dua orang, ke toilet mungkin.” Aku mengangguk dan membiarkan Naila kembali bekerja, pengunjung tidak ada habisnya, sebaiknya aku membantu di sini saja dan membiarkan Naila membantu Nanda melayani tamu. Alasannya dari sini aku bisa melihat dengan jelas wajah Raka. Wajahnya terlihat menahan kesal, padahal seharusnya aku yang kesal. Pemilik restoran Jepang mau apa sebenarnya datang ke restoran milik kompetitornya? Otakku kan jadinya traveling ke mana-mana. Bisa saja lelaki itu mau menebar fitnah mencemarkan nama baikku. Mencari celah bagaimana mengalahkanku atau parahnya mencuri resep milikku. “Mbak.” Seorang lelaki berseragam SMA mengagetkanku, dia memesan lalu membayar pesanannya dan duduk di meja kosong menunggu waiters membawakan makanan yang hendak dia makan. Dia datang bersama seorang gadis mungil yang terlihat malu-malu. Mengingatkanku pada kejadian yang telah berlalu bersama Raka. Lelaki yang kini sedang menganalisa Sushi dari Uchiha. Semestinya Raka tidak melakukan itu. Pertama jika memang dia merasa usahanya terancam maka buatlah inovasi, apa pun usaha yang dia kalukan jika dijalankan dengan jujur pastilah akan menemukan keberhasilan. Walaupun banyaknya kompetitor di sekitar restorannya. Contohnya, banyak minimarket yang menjual barang satu jenis, bahkan beberapa di antaranya lokasinya bersisian. Mereka tidak merasa tersaingi dan terbebani dengan adanya minimarket lain. Kedua, tidak baik menyimpan dendam lama-lama. Bukankah dendam berakar dari penyakit hati? Bukankah penyakit hati itu salah satu penyebab menjauhnya kebahagiaan dari seseorang? Mungkin Raka memiliki penyakit hati yang sudah parah dan sulit diobati. Satu-satunya cara harus di rukyah. “Ngapain dia si sini?” tanya Simi berapi-api. Dia sudah memasukan laptopnya, memakai jaket dan bersiap untuk pulang. “Makan,” jawabku pura-pura tidak peduli. “Semalam dia datang ke sini.” “Makan juga?” selidik Simi. Aku meninggalkan meja kasir begitu Naila kembali. Lalu berjalan memutar dan menghampiri Simi, niatku sih mengantarkan sahabatku itu sampai parkiran, tetapi sepertinya kaki Simi lengket. Seperti kena lem super glue, menungguku menjawab rasa penasarannya. Kuseret dia hingga ke depan resto, sengaja pilih jalan samping agar tidak melewati Raka yang ternyata datang bersama Andra. “Lihat itu!” Simi membelalakan mata melihat tumpukan sampah karangan bunga yang hancur dan belum sempat diangkut petugas sampah. “Jangan bilang kalau ....” “Seperti yang lo duga,” ungkapku. “Jangan gila!” Sebenarnya Simi bukanlah seorang yang tempramental, tetapi ini bukan pertama kalinya gadis itu naik pitam dengan kelakuan Raka. Dia menyerahkan laptopnya kepadaku, lalu bersungut-sungut kembali ke restoran. Sejenak aku masih terpaku tidak menyadari apa yang sebenarnya akan dia lakukan, hingga beberapa saat kemudian kesadaran kembali menamparku. Gawat, Simi ngelabrak Raka. Dia berdiri dengan napas terengah persis di depan meja Raka. Kedua lelaki yang sedang makan itu menatap Simi tidak percaya. Begitupun denganku, kuserahkan laptop Simi kepada Nanda yang kebetulan melintas di depanku. “Gak bosen apa kalian ngusik hidupnya Tari?” tanya Simi diluar dugaanku. Kukira dia bakalan teriak-teriak mempermalukan diri di hadapan pengunjung restoran. “Kok gue,” protes Andra. Raka menyimpan sumpitnya, lantas mengambil tisu dan menyeka mulutnya. Dia melihat ke arahku, mencibir, sinis, tatapannya persis seperti tatapan seekor banteng yang hendak mengamuk. “Sory, ye, gue ke sini sebagai pengunjung yang sedang lapar,” ucap Raka. Memberikan penekanan penuh pada kata ‘lapar’. Mungkin dia hendak memakanku hidup-hidup agar lenyap dan tidak pernah lagi mengganggu hidupnya. Sayangnya sedikit pun aku tidak pernah merasa mengganggu hidupnya. Raka yang mempersulit diri sendiri dengan ambisi gila yang tidak pernah mau dikalahkan oleh siapa pun. “Sim, sudah katanya lo mau pulang.” “Pengecut banget, sih, lo beraninya nyuruh temen ngelabrak gue. Gue tahu dari tadi lo ngelirik-lirik gue dari sana,” ujar Raka, menunjuk meja kasir dengan dagunya. “Lo pasti ngerencanain hal busuk untuk menyingkirkan gue.” Hatiku sudah panas, sangat panas, ingin kusiramkan minuman dingin yang ada di meja tepat pada wajah Raka. Sayangnya pengunjung sedang banyak dan ada beberapa di antara mereka yang melihat ke arah kami. Entah apa yang merasukiku hingga meraih lengan Raka menyeretnya menuju ke ruanganku. “Sakit, lepasin, Tari!” bentak Raka. Aku tidak memedulikan rontaannya, padahal tubuh Raka jauh lebih besar dari tubuhku, tetapi amarah menuntunku hingga mampu menyeretnya hingga kini kami berada di ruanganku. “Mau lo apa?” “Lo yang maunya apa? Gak bosen lo ngancurin mimpi gue?” geram Raka. Dia balik mencengkram tanganku hingga mati rasa. Matanya berkilat marah, napasnya memburu. Rasa rindu kepadanya menguap begitu saja, aku merutuki diri yang bisa-bisanya merindukan monster di depanku. “Ga ada niat sedikit pun gue ngancurin mimpi lo. Gue juga punya mimpi, Ka. Mimpi yang gue bangun dengan menggunakan sisa kehidupan orangtua gue, apa gue salah?” “Kenapa di sini? Dari jutaan tempat yang bisa lo pilih, kenapa di sini?” Aku tidak menemukan jawabannya, itu semakin membuat Raka terlihat geram. Pandanganku memburam karena air mata. “Apa kita gak bisa bersaing secara sehat, Ka?” “Lo mau ngalahin gue lagi? Fine, gue terima tantangan lo!” Raka melepaskan cengkramannya lalu menghempaskanku hingga terjelembab di lantai. Tangisku pecah bersamaan dengan kepergian lelaki itu, Raka, gue rindu lo yang dulu. Rindu lo yang selalu melindungi gue. Bukan seperti ini, egois, serakah dan mau menang sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN