Mangkuk Empat

1701 Kata
Kepergian Raka dari Uchiha menyisakan perasaan yang menyiksa. Jari-jariku tremor, bahkan ketika menyimpan cangkir berisi teh manis yang dibikinkan oleh Nanda. Cangkir beradu dengan tatakannya menimbulkan bunyi dengan getaran. Isinya hampir tumpah bergelombang dan bergetar nyaris seperti bak mandi usai gempa reda. Simi yang semula hendak pulang lebih memilih tinggal dan ngomel sebisanya, sesekali tangannya terkepal gemas. Kami bertiga—Aku, Simi dan Nanda—diam dengan pikiran masing-masing tepat di belakang kassa. Raka resmi menantangku mengibarkan bendera perang satu kali lagi. Kalau boleh jujur sih aku malas. Namun, sekali-kali orang seperti Raka harus diberi pelajaran. "Kalau nanti si centong nasi balik lagi ke sini, lo wajib bilang. Jangan diem-diem sok kuat dan sok bisa ngadepin sendirian." Simi beranjak, dia buru-buru mengambil barang-barangnya karena ingat ada janji yang harus ditepati. Kuantarkan sekali lagi Simi ke depan. Kami mengundang lirikan pengunjung yang tadi sempat melihat perseteruan antara aku dan Raka. Dua hari berlalu tidak ada berubah, Uchiha tetap dipadati pengunjung, menu yang bervariasi membuat para pelanggan datang lagi dan lagi. Mencoba setiap menu yang berbeda. Salah satu koki di Uchiha merekomendasikan koki pembantu, katanya dia pernah jadi co chef di salah satu restoran Jepang milik selebritis. Cukup terbantu, aku jadi bisa fokus di administrasi sesekali bantu Nanda di kassa. Menu spesial hari ini adalah Shoyu Ramen, Ramen yang satu ini termasuk yang paling populer. Semangkuk ramen ini dibuat menggunakan mi keriting dan disiram kaldu gurih yang bening. Kaldu shoyu memiliki base kecap sehingga menghasilkan warna kaldu yang kecoklatan. Biasanya ramen shoyu disajikan dengan topping sayuran dan potongan daging. Jika berkunjung ke Tokyo, ramen ini adalah yang paling mudah ditemui di semua restoran ramen. Koki Uchiha benar-benar paling berbakat. Hingga kepopuleran Shoyu Ramen entah bagaimana caranya sampai ke telinga Raka. Kata salah satu pengunjung yang setiap sore datang ke sini, Senju juga menyajikan shoyu ramen setelah tahu ramen tersebut jadi bintangnya di sini hari ini. Aku sebenarnya kasihan padanya, walau bagaimanapun dia tetap aku anggap sebagai sahabatku. Tentu saja tidak sepengetahuan Simi. Bisa ngamuk anak itu kalau tahu aku masih ngarep dan menganggap Raka sahabat. Senju Ramen mengalami masa di mana bisa dibilang krisis. Katanya pengunjung berkurang lebih dari 40%nya. "Kita tutup sesudah isya saja, Nan. Nanti biar aku kasih tahu bagian belakang." Nanda, mengangguk sekalipun wajahnya menyiratkan kebingungan. Bagaimana tidak, jam-jam makan malam seperti itu banyak pasangan yang datang untuk makan malam. Aku masih memikirkan Raka, mungkin dengan tutup lebih cepat, bisa membantunya untuk mendapatkan pengunjung lebih banyak lagi. Biarlah, kan Uchiha sudah dapet banyak pengunjung mulai dari sejak pertama buka hingga saat ini. "Ada masalah?" selidik Nanda. Kugelengkan kepala, sebagai tanda tidak ada hal yang perlu dia khawatirkan. Keputusan sudah diambil, beberapa orang yang sudah reservasi tetap kami layani sebagai bentuk dari tanggung jawab. Sedangkan pengunjung yang tidak melakukan reservasi terlihat kecewa melihat tanda tutup di depan restoran. BRAK!! Lelaki kisaran usia tiga puluhan terlihat marah di ujung meja. Tidak banyak pengunjung yang tersisa, hanya sekitar lima meja yang sudah reservasi sebelumnya. Nanda tergopoh-gopoh menghampiri, aku cukup mengawasinya dekat meja kassa. Dari jarak yang lumayan, aku tidak dapat mendengar apa yang diperdebatkan di meja sana. Nanda terlihat sedang meminta pertolongan, sehingga kuputuskan untuk membawa langkahku hingga mendekati mereka. "Kalau kenapa-napa memangnya kalian bakalan tanggung jawab, hah!" Suaranya tertahan meredam amarah. Pantas saja wajah Nanda terlihat pasi. "Maaf Pak, apa ada yang salah? Ada yang bisa saya bantu?" kuberanikan diri untuk bertanya. Nada bicara diatur sedemikian rupa supaya lelaki ini tidak bertambah marah. Orang yang terngah dikuasai emosi itu menatap garang ke arahku. Ada yang aneh dengan wajahnya, merah seperti rebusan kepiting. Berbintik-bintik serta matanya sembab, seperti habis menangis semalaman. "Kenapa gak bilang kalau ramen ini pake rumput laut?" tanya dia sengit. "Shio ramen memang menggunakan rumput laut sebagai topping," kilahku. Seharusnya dia tahu karena toppingnya banyak. Tidak tersembunyi. "Saya Alregi rumput laut, lihat nih!" Dia menujukkan tangannya yang memerah. Terjawab sudah mengapa lelaki itu berwajah merah dan bermata bengkak. "Astaga Pak. Kenapa Bapak pesan itu kalau tahu Alergi?" Enak saja, yang salah sebenarnya siapa? Seharusnya lelaki itu tahu, dong. Tahu kalau topping ramen yang dia makan adalah rumput laut. "Saya bisa tuntut kalian kalau begini caranya. Tau begini tadi makan di Senju saja. Nyesel saya bayar mahal cuma dapat penyakit." Bantingan sumpit mengakhiri perdebatan yang terjadi. Sebagaimana kerasnya aku berusaha mengejar dia, tetapi tetap sia-sia karena lelaki itu berjalan teramat cepat. Shio Ramen yang dia pesan adalah ramen yang dianggap sebagai ramen dengan kaldu paling legendaris alias tertua. Shio jika diterjemahkan berarti garam, maksudnya adalah garam dianggap sebagai bumbu tertua yang digunakan sebagai bahan perasa pada ramen. Banyak sekali yang memesan ramen yang satu ini, sehingga menjadi salah satu menu favorit pengunjung. Kaldu shio memiliki rasa gurih asin dan berwarna bening kekuningan. Biasanya kaldu ini dibuat dari tulang ayam atau tulang babi di negara asalnya. Ramen ini juga disajikan dengan topping rumput laut yang cukup banyak. Kejadian yang cukup memalukan karena jadi tontonan. Segera aku membungkuk. Minta maaf atas ketidaknyamanan yang baru saja terjadi. Satu per satu dari empat pengunjung yang tersisa meninggalkan Uchiha. Meninggalkan aku yang kini mulai mengucapkan selamat datang kepada masalah. Benar saja, keesokan harinya menyebar cepat, gosip-gosip dengan bumbu yang berlebihan. Ada yang bilang keracunan makana. Ada yang mengatakan aku angkat tangan dan tidak mau bertanggung jawab. Imbasnya Uchiha hari ini sepi, dan Raka di ujung sana tertawa karena merasa menang. Aku jadi curiga, jangan-jangan kejadian ini rencana busuk Raka untuk menyingkirkan Uchiha. "Namanya jualan pasti ada pasang surutnya, kayak gue nih, lagi surut juga." Simi menyeruput es lemon tea. "Ada saingan designer interior lagi?" "Bukan, lagi surut perkara jodoh. Gila ya Tari, temen-temen kita udah pada gendong anak, lah gue yang datang ngelamar pun belum ada." Aku memutar mata karena gemas. Gitu dia mah, aku ngomong apa, dia nanggepinnya bagaimana. Di beberapa situasi itu cukup menghibur, tetapi kalau mood sedang terjun, pengen rasanya ngacak-ngacak phasmina Simi. Sukur-sukur sampe nangis kejer karena lipatan di sisi kepalanya tidak presisi. "Si centong nasi ada cari gara-gara lagi, gak?" tanya Simi. Ada perasaan tidak rela kala panggilan centong Nasi tersemat untuk Raka. Untungnya aku cukup mengerti kalau Simi jengkel banget sama Raka. Ya sudah, untung Simi. Kalau orang lain yang menghina Raka mungkin aku gak bakalan terima. "Gak ada, Sim. Tapi gue curiga, manusia yang alergi rumput laut itu orangnya Raka. Curiga doang, sih. Gak ada bukti." Gerakan tangan Simi yang sedang mengelap meja menggunakan tisu terhentu begitu saja. Dia menatapku sekilas. Lalu menggeleng dan mengibaskan tangan. "Hanya orang gila yang rela melukai dirinya. Alergi itu bukan perkara sederhana, Tari. Mana mungkin suruhan Raka. Pake akal sehat kalau mau nuduh." "Ya gue rasa aneh aja, Sim. Udah jelas di mangkuk itu rumput laut. Hanya orang gila yang rela makan racun yang ada di hadapannya," balasku. Simi merogoh kantong celana. Keningnya berkerut hingga menyatukan kedua sisi alisnya. "Sebuah penelitian menyatakan bahwa gejala alergi rumput laut mungkin dipicu oleh kandungan asam alginat yang ada di dalam tanaman tersebut. Dari penelitian itu juga disebutkan bahwa sistem imun justru menganggap asam alginat sebagai zat yang berbahaya. Maka itu, tubuh membentuk antibodi hingga akhirnya menimbulkan berbagai gejala alergi. Kalau pasien tidak menunjukkan gejala seperti sesak, dan berkunang-kunang. Maka aman." Simi bergumam. Pandangannya tetap fokus pada layar gawai keluaran terbaru dengan tiga mata kamera. "Lo tau dari mana?" tanyaku. "Astaga, ini gue searching, Tari. Lo tuh yah, kalau berurusan dengan Raka. Berhubungan dengan Raka tetiba jadi lola. Gue pamit ah." "Sim, gak ngeramen?" Simi melihat sekeliling, aku tahu, pikiran sahabat baikku ini pasti jatuh iba. Melihat restoran yang mendadak sepi pasca insiden kemarin. "Gue pengen makan nasi padang, yuk mau nemenin?" ajaknya. Aku berpikir sejenak, mungkin benar, aku memang harus banyak berinteraksi di luar restoran . Dengan begitu, mungkin setidaknya bakalan ada ide untuk menarik kembali pengunjung Uchiha yang kabur entah ke mana. "Nasi padang uda Ferry gimana?" Simi mendelik, aku berusaha menahan tawa karenanya. Uda Ferry adalah penjual nasi Padang langgananku. Sayangnya Simi itu terlalu pemilih, hanya karena Uda Ferry memiliki banyak anak kecil yang doyan ngeberantakin bagian belakang tempat makan. Bagiku sih aman-aman saja, tidak ada gangguan sama sekali. Sayangnya buat penderita OCD seperti Simi. Hal itu adalah gangguan yang sangat berarti. Simi selalu terobsesi untuk melihat ruangan selalu rapi, entah di mana pun itu. Selain itu Simi selalu mencuci tangannya berkali-kali, mengatur benda-benda sesuai susunan tertentu. Dan Warung Nasi Padang milik Uda Ferry jelaslah salah satu warung yang dia hindari. Dia akui makanan di sana lezat. Bumbu rendangnya nendang banget. Bahkan sate padangnya maknyus. Ehm ... Jadi lapar. "Gue mau ke Bunga Tanjung, yang dekat toko Mas di ruko IBC itu loh. Sekalian jajan Bakso Mulang Sari." Simi menjawab dengan santai. "Gila aja, itu perut apa karet, masa abis nasi padang lanjut bakso," protesku. Simi buru-buru menyanggah, "Bakso mau dibungkus, pesenan Ibu." "Yee, bilang dari tadi dong. Gue ke dalam dulu, bilang anak-anak kalo gue mau cabut." "Ya udah, gue tunggu di mobil." Setelah menganggukkan kepala tanda setuju, aku menghampiri Nanda. Menghampiri koki dan berpesan bahwa aku bakalan pulang agak telat. Aroma apel menguar di seluruh ruangan kala memasuki mobil matic biru metalic milik Simi. Mobil sudah melaju bahkan sebelum aku pasang sabuk pengaman. Simi sepertinya sudah lapar banget. Tangannya bergerak cekatang mengendalikan roda kemudi. Mulutnya tak henti melontarkan berbagai obrolan. Kadang aku tanggapi dengan senyum, dengan ya aja. Atau sama sekali tidak menanggapi dan memilih fokus pada jalanan. Jantung berdetak kencang kala mobil mendekat ke arah pertigaan jalan utama. Di mana Senju Ramen. Restoran khas Jepang milik Raka berdiri dengan gagah. Merah dan berani. Itulah kesan yang aku dapatkan kala melihat bangunan persegi itu. Semesta menghendakiku untuk menatap Senju lebih lama lagi saat lampu lalu lintas berubah merah. Pandangan mataku terkunci pada satu titik. Ada Raka di sana. Dengan tawanya yang khas. Dengan rambut model barunya. Lelaki itu sedang bercengkrama dengan sosok yang seperti tidak asing lagi. Aku berusaha keras untuk menelisik ingatan. Siapa lelaki yang terlihat begitu akrab dengan Raka. Aku tidak dapat berkonsentrasi. Barulah ingatan itu kembali saat Simi sudah terlanjur injak gas. Lelaki itu adalah lelaki yang mengaku alergi rumput laut tempo hari. Benar dugaanku, manalaka melihat mata itu, ada kilatan seperti srigala licik dari mata sosok itu. Orang itu, orang yang marah marah karena alergi adalah orang yang baru saja aku lihat sedang tertawa bahagia bersama dengan Raka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN