Bab 5
Kami akhirnya tiba di ruko IBC, setelah mengambil karcis untuk parkir, Simi memutari area pertokoan untuk mencari lahan parkir. Sampai akhirnya kami menemukan satu space yang tersisa dekat dengan mobil pengangkut barang persis di depan central penjualan tas. Lahan untuk mobil terbatas, terkadang kalau penuh kami terpaksa parkir di area yang dikhususkan untuk sepeda motor.
“Buruan gue laper,” ujar Simi. Kuanggukkan kepala, lalu dengan patuh turun dari mobil dan berjalan mendahului perempuan itu menuju Bunga Tanjung yang jaraknya hanya beberapa toko dari tempat kami sekarang.
Bukan nasi padang yang kini ada dalam kepalaku, melainkan kelakuan busuk Raka si centong nasi yang sudah bersaing dengan cara curang. Menyebalkan memang, tadinya aku enggan mengumpat, tadinya aku juga berbaik hati kepadanya. Sekarang mungkin sudah saatnya menuruti apa maunya ego. Fine! Okay! Persaingan sehat dibalas dengan persaingan sehat juga, tetapi kalau memang jalannya harus curang maka jangan panggil aku Mentari Putri Dwijani.
“Tari awas!” Pekikan Simi terdengar bersamaan dengan decit rem dan juga klason yang berbunyi panjang. Tidak berselang lama pengendara sepeda motor yang berhenti persis di depanku ngomel-ngomel.
“Lo ngapain berdiri sambil bengong di tengah jalan, Tari?” tegur Simi, dia menyeretku setelah bungkuk-bungkuk minta maaf pada pengendara motor tadi, aku hanya melihat sekilas dan menganggukkan kepala sebagai tanda maaf juga.
Sudah kebayang, kan apa yang terjadi setelahnya? Ya, Simi si mulut petasan mulai meledak-ledak ngomel laksana seorang ibu yang memarahi anaknya karena berbuat salah.
“Yaampun, iya sory, gue beneran gak nyadar aja, tiba-tiba kepikiran sesuatu gitu.”
“Jangan bilang mikirin si centong nasi?” sambar Simi. Dalam hati aku membenarkan, tetapi bahaya jika dia tahu yang sebenarnya.
“Enggak, lagi mikirin daging sapi,” kilahku, tidak sepenuhnya berbohong karena kumelihat mobil pengantar daging sapi yang parkir persis depan Bunga Tanjung. Ternyata sekelas rumah makan padang besar seperti Bunga Tanjung juga pakai pemasok yang sama dengan Uchiha.
“Ngapain daging sapi dipikirin?” selidik Simi.
Aku tersenyum tak menjawab dan terus berjalan melewati deretan pertokoan sebelum akhirnya tiba persis di depan rumah makan padang langganan para pejabat kota Garut.
“Uda, apa kabar?” tanya Simi.
“Teteh Simi, baik kenapa baru datang lagi?” Wow akrab sekali, terkadang aku iri dengan kemampuan Simi bergaul dengan banyak orang, terlepas dari OCD nya yang yah kalian tahu sendiri kadang-kadang menjengkelkan, ya iyalah jelas jengkel, bayangin saja kadang kalau kita mau pergi ke mana gitu Simi suka kembali lagi ke rumah karena tidak yakin sudah mencabut setrikaan atau belum.
“Tenang Uda, Simi tidak akan pernah selingkuh, nasi padang Uda tetap nomor satu buat Simi.”
Sumpah, mendengarnya aku sedikit jijik, kulihat si Uda yang namanya masih menjadi misteri ini tersipu. Kulitnya yang sedikit gelap memang membuat orang tidak akan tahu kalau dia malu-malu, tetapi daun telinganya yang memerah tidak dapat dibohongi kalau sebenarnya dia memang sedang malu-malu.
Setelah mendapat pujian dan entah rayuan macam apa dari Simi, si Uda akhirnya mempersilakan kami untuk duduk. Simi memilih duduk dekat dinding, lantas dia sandarkan punggungnya, terlihat kelelahan tetapi mungkin tidak. Aku tak bisa tebak. Sambil menunggu pesanan, kusapu pandanganku ke seluruh rumah makan padang ini.
Terdapat tiga deret kursi meja, satu barisnya terdiri dari empat meja. Total ada dua belas meja dengan masing-masing terdapat empat kursi mengelilinginya. Aku ingat, kadang kalau pengunjungnya rombongan banyak, Si Uda dibantu oleh pegawainya menggeser dua meja dan menjadikannya satu.
Paling pojok ada tiga orang lelaki yang sedang makan. Meja lainnya ada satu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anaknya yang kira-kira berusia empat tahun. Selebihnya meja kosong, hanya berisi kotak tisu, tempat sendok garpu, dan botol kecil berisi tusuk gigi.
Aku dan Simi mengucapkan terima kasih serempak ketika pesanan kami tiba, satu porsi sate padang untukku, sedangkan simi nasi rendang ekstra sambal ijo.
Kami makan dalam diam. Tidak ada obrolan, Simi memang selalu begitu jika makan, sedangkan aku, tiba-tiba menemukan cara untuk bermain-main dengan Raka setelah melihat potongan rendang daging sapi yang kini sedang Simi nikmati.
*
Aku terdiam. Lama sekali memikirkan bagaimana caranya membuat Raka jera. Mungkin Simi benar, sudah tidak ada harapan perdamaian antara aku dan lelaki itu. Hanya saja, kalau boleh marah, aku ingin marah pada hatiku. Marah karena tidak pernah bosan mencintai Raka.
Aku lupa kapan tepatnya perasaan itu muncul, yang pasti dulu kala saat kami masih bersama hanya dengan mengingat senyuman Raka aku bisa tidur pulas. Hanya dengan melihat cara lelaki itu makan aku bisa kenyang tanpa makan.
Hanya dengan mendengar ajakannya aku merasa bahagia. Luka yang paling mendalam adalah kala lelaki itu marah dan membanting piala yang katanya piala itu seharusnya jadi milik dia. Aku rela memberikan apa pun termasuk piala itu. Aku hanya butuh beasiswanya saja karena kedua orangtuaku tidak sekaya kedua orangtua Raka yang bisa menyekolahkan anak-anaknya di Perguruan Tinggi ternama dengan biaya kuliah selangit.
Harapanku untuk tetap bersama dia perlahan memudar, tetapi aku jamin rasaku pada dirinya tidak akan pernah pudar.
Mungkin cara yang aku dapatkan ketika melihat rendang daging sapi di bunga tanjung tadi harus benar-benar dilakukan. Bukan licik, melainkan karena gimana ya, Raka itu sekali-kali harus dikasih pelajaran yang bikin dia sadar bahwa kita itu tidak selamanya berada di atas, wajar jika bertemu dengan kekalahan, wajar jika pencapaian kita ada dibawah pencapaian orang lain.
Di depan laptop aku mencari pemasok daging sapi di kabupaten Garut ini. Seluruhnya sudah aku kumpulkan datanya. Dan setelah melakukan pencairan yang hampir memakan waktu hingga hampir tengah malam, aku menemukan fakta bahwa pemasok daging sapi Senju sama persis dengan pemasok daging ke Uchiha.
Aku sudah mengirimkan pesan pada pemasok. Dengan mengorek sedikit tabunganku akhirnya hari minggu besok ada janji temu antara aku dan salah satu pemasok untuk melancarkan rencanaku.
*
Hari ini merupakan hari yang cerah, bukan karena langitnya biru melainkan hatiku yang sebiru langit. Perasaan sebenarnya tidak karuan karena jujur saja tidak pernah satu kalipun aku berbuat hal-hal licik seperti ini.
Terlebih orang yang akan aku curangi adalah Raka. Sayangnya, melihat cemoohan dan senyum sinis lelaki itu membuatku semakin yakin dan mantap untuk melakukan hal ini.
Mas Fajar namanya, wajahnya secerah namanya. Lelaki dengan setelah mirip koboy itu akhirnya tiba di Uchiha. Sambil menyelam minum air, sambil ngantar pesanan Daging aku dan dia meeting di sudut restoran.
Dengan sabar kumenunggu lelaki ini menghabiskan Spicy Miso Ramen, ramen berkuah merah dengan toping ayam dan telur yang rasanya mantap. Wajah Mas Fajar sampai berkeringat banyak karena kepedasan. Berkali-kali dia memuji rasa pedas yang katanya nampol banget.
Terakhir, Mas Fajar menyeruput kuahnya langsung dari mangkok, melihat kepuasan para penikmat ramen di depanku membuatku bahagia. Kadang perasaan seperti ini menjadikan semangat agar berjuang lebih keras lagi.
Seperti saat ini aku tengah berjuang untuk memerangi kelicikan yang Raka lakukan. Sudah aku bilang tadi, cara curang harus dibalas dengan cara curang lagi, ibarat kata, darah dibayar darah.
“Kalau seperti itu saya tidak bisa,” tolak Mas Fajar saat aku mengutarakan rencanaku kepadanya.
“Reputasi perusahaan kami bisa rusak, Teh.” Dia melanjutkan, masih berusaha tarik dan embuskan napas karena kepedasan, sesekali Mas Fajar menyeka keringatnya dengan tisu, keringat yang sepertinya datang lagi dan lagi.
Aku menunduk lesu, benar juga, kami membeli dengan sistem DO dan Raka sudah punya DO sehingga perusahaan tidak bisa menghantikan pasokannya. Aku memang meninta Mas Fajar untuk tidak mengirimkan daging sapi ke Senju. Tadinya biar si Raka centong Nasi tahu rasa saat kelimpungan karena stok daging tidak datang sebagaimana mestinya.
“Persaingan dagang mengerikan sekali. Teh tari, pemasok daging juga banyak, dan kami bersaing.” Mas Fajar berhenti sejenak. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Lalu mengambil rokok dari kantong celananya.
“Boleh?” tanya dia, aku mengangguk. Ruangan paling belakang ini merupakan smoking area, aku sudah tebak Mas Fajar pasti merokok setelah makan, untuk itu aku membawanya di sudut ini.
“Nah, Teh Tari. Tahu kan cara yang kamu lakukan itu licik, curang, tidak boleh dilakukan. Oke, balik lagi ke persaingan ada yang main dukun, Kami beberapa kali menemukan gundukan tanah kuburan di depan rumah potong sapi milik kami. Selain tanah kuburan adapula telur ayam kampung, kemenyan sesajen dan banyak lagi benda-benda klenik yang kami temukan. Kau tahu apa yang tertjadi?” tanya Mas Fajar yang ternyata orang Medan.
“Apa?” Aku bertanya nyaris dengan bisikan.
“Tidak ada yang terjadi, kusuruh si Ujang bersihkan halaman yang ditaburi kembang atau tanah kuburan. Dan kutingkatkan kualitas, pelayanan dan prestasi. Aku lawan dengan prestasi dan semua kompetitorku tumbang. Mereka mengira dukun aku paling kuat, padahal, aku hanya kerja dengan cara yang benar, biar Allah rida. Biar anak dan istri makan rezeki halal dan berkah.”
Seumur hidup belum pernah ada yang menampar pipiku, namun, kali ini rasanya aku seperti ditampar bolak balik oleh Mas Fajar. Tanpa aba-aba aku menangis. Membuat Mas Fajar menegakkan posisi duduk lalu mengusap tanganku persis seperti Bapak Ari yang selalu melakukannya saat aku berseteru dengan Raka. Raka versi dewasa itu menenangkanku dengan cara yang sama dengan Mas Fajar.
“Jatuhkan kompetitor kamu dengan prestasi, dan gunakan uang ini untuk melakukannya, mau tahu caranya? Sini saya bisikin,” ujarnya diikuti dengan kikikan, Mas Fajar benar tidak selayaknya aku memberikan uang sogokan kepada Mas Fajar demi kecurangan yang aku lakukan. Malah aku dapat wejangan dan juga bonus untuk menggulingkan Raka melalui jalur terhormat. Bukan cara hina yang, yah kalian tahu sendiri bagaimana.
"Mas Fajar mau bantu aku?" Malu-malu aku bertanya, dia menatapku. Lalu memberikan sesuatu mirip brosur dari tas motif loreng yang sedari tadi dia selempangkan.
"Teteh pernah dengar daging wagyu?"
Pertanyaan Mas Fajar sudah aku tebak ke mana arahnya. Ditambah dengan keterangan pada brosur.
Wagyu (sapi Jepang) yang memiliki kecenderungan genetik berupa pemarmeran (marbling) tinggi dan memproduksi lemak tak jenuh berminyak dalam jumlah besar. Sapi wagyu terkenal karena pola marmer pada dagingnya dan kualitasnya.
Kecenderungan genetik sapi ras Wagyu menghasilkan daging dengan kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang lebih tinggi daripada daging sapi pada umumnya. Pemarmeran / marbling (MB) terus-menerus juga memperbaiki rasio lemak tak jenuh tunggal dan lemak jenuh.
Aku mengangguk, lalu menatap Mas Fajar. Ide Mas Fajar terlalu liar, masa iya ramenku menggunakan daging sapi wagyu yang harganya antara 400 hingga 800 ribu rupiah.
"Teh Tari tidak harus menggunakan wagyu untuk ramen, tetapi tambahkan menu baru, steak wagyu atau terserah Teh Tari yang penting Uchiha punya ciri khas yang tidak dapat digapai oleh kompetitor."
Mengerikan, tetapi mungkin bisa dipertimbangkan.
"Saya mau diskusi dulu sama koki-koki saya Mas," ucapku. Mas Fajar mengangguk-angguk, lelaki itu menenggak sisa minumannya hingga tandas.
Dua orang pengunjung datang mendekat, lalu duduk di meja sebrang kami. Kedatangan mereka juga mengakhiri pertemuan antara aku dan Mas Fajar.
Sebelum pergi Mas Fajar membuka dompetnya dan menyerahkan selembar kartu nama.
Distributor daging Wagyu yang harus aku hubungi jika mengikuti saran Mas Fajar untuk menggunakan wagyu sebagai salah satu menu unggulan di Uchiha.