Mangkuk Enam

1977 Kata
“Nai, Nanda mana?” tanyaku saat melihat Naila sedang menghitung uang di belakang meja. Seharusnya hari ini Nanda yang bertugas, tetapi perempuan berambut lurus sebahu dengan kacamata bulat itu sama sekali tidak kelihatan. “PMS, Teh, tadi ke belakang dulu. Kesakitan dia.” Tangan Naila dengan cekatan mengumpulkan dan memisahkan uang sesuai dengan nominalnya, mengingatkanku pada petugas SPBU yang selalu membuat susunan uang-uang itu terlihat begitu rapi. “Mau aku panggilin, Teh?” tanya Naila. Aku menggelengkan kepala lalu meminta Naila untuk menutup Uchiha selama 30 menit. Setelah jam makan siang usai, pengunjung memang jarang datang, menjelang sore barulah Uchiha akan diserbu oleh para pecinta ramen dan makanan Jepang lainnya. “Kamu boleh istirahat dulu, temenin Nanda sekalian.” Naila berterima kasih dan pamit untuk membeli seblak ke warung seblak yang lokasinya tidak jauh dari Uchiha. Sepeninggal Naila, aku mengumpulkan Mas Retno dan Mas Dinan di ruanganku. Mereka koki andalan Uchiha. Ketika aku meminta mereka untuk berkumpul, raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa kaget. Khawatir, mungkin. Mas Retno duduk dengan gelisah di ujung sofa, sedangkan Mas Dinan tampak lebih santai, dia sengaja melepas apronnya dan melipat dengan hati-hati. Ada banyak kata yang ingin aku utarakan, sayangnya ketika berhadapan dengan mereka berdua kata demi kata seperti sirna begitu saja. Tidak ada AC di ruangan ini, sebagai gantinya ada kipas angin besar di sudut ruangan. Kadang benda itu tidak sepenuhnya difusngsikan mengingat udara di kota Garut cukup sejuk. Dan kali ini aku mengulur waktu dengan menyalakan kipas. Lalu berjalan memutar dan duduk tepat di hadapan Mas Retno. “Ada yang salah dengan kinerja kami, Teh?” selidik Mas Dinan. Rupanya lelaki ini tidak sabar untuk segera mendengarkan apa yang ingin aku katakan. “Kalian tetap yang terbaik, Mas. Saya ... hanya ingin menyampaikan sebuah gagasan, sekaligus juga minta pendapat,” ungkapku, tidak ada yang buru-buru menyahut atau menanggapi, Mas Retno dan Mas Dinan berpandangan. Ada pertanyaan besar dari sorot mata keduanya. “Saya ingin menambahkan menu baru di Uchiha, Mas.” Desah kelegaan terdengar bersamaan. Bahkan mas Dinan tersenyum manis sekali. “Kenapa minta menu baru suasananya dah kayak mau bikin kami jadi pengangguran, sih, Teh?” tegur Mas Retno. Aku tersenyum kecut, jelas kecut karena menu baru kali ini terbuat dari bahan yang harganya luar biasa mahal. “Mas-mas tahu daging Wagyu a5, kan?” “Jangan bilang kalau ....” “Ya,” sambarku. Mas Retno dan Mas Dinan memang koki andalan yang penuh dengan perhitungan, mereka berdua tidak langsung menyetujui gagasanku, melainkan mengajakku untuk berdiskusi. Risiko serta keuntungan yang didapatkan jika menggunakan daging sapi jenis ini. Dan juga kerugian yang kemungkinan aku dapatkan jika tetep nekad menggunakannya. Menurut Mas Dinan, daya beli orang Garut itu tidak semuanya mampu membeli makanan yang dibuat dari daging sapi wagyu yang harganya selangit. Kebanyakan bukan tidak mampu, melainkan sayang banget jika harus merogoh kocek untuk seporsi daging sapi yang mungkin bagi sebagian dari mereka sama saja. “Orang sini, tuh, kebanyakan pengen yang murah dan isinya banyak. Bukan yang mahal tapi seuprit.” Begitu kata Mas Dinan. Aku tidak menyangkal, tetapi tidak juga membenarkan. “Steak Wagyu A5 di resto langganan saya di Bandung, harganya 750 ribu bahkan lebih, yakin orang sini pada mampu beli?” tanya Mas Dinan lagi. “Banyak solusi sebenarnya, ada Japanese Wagyu A5 Beef yakiniku Cuts, harganya 300 ribuan kalau gak salah, bisa kita perkecil potongannya atau kurangi porsi, tujuan kita juga mengenalkan daging mahal dan berkualitas tanpa harus keluar uang lebih dari setengah juta. Jadi begini, Nan. Seperti yang kamu bilang, orang sini pasti ogah rugi dengan ngeluarin uang 750 rebu hanya untuk sepotong daging. Kebayang gak sih? Sayangnya mereka juga pasti penasaran sama rasa daging dengan harga selangit. Yang 750 rebu juga bisa dipotong lagi tuh, perkecil ukuran, perkecil harga. Dan berikan kesempatan orang buat nyicip dengan harga murah.” Mas Retno dengan semangat berorasi, dia juga beranggapan bahwa kita harus berani maju dan mencoba. Setelah kuutarakan maksud dari ide ini, Mas Retno setuju dengan pendapat Mas Fajar bahwa kita harus melawan kompetitor dengan elegan dan terhormat. Diskusi dan perdebatan terus berlangsung hingga Naila mengetuk pintu dan mengingatkan bahwa tiga puluh menit sudah berlalu dan Uchiha akan segera dibuka. Mas Dinan akhirnya menyetujui karena kalah jumlah, aku dan Mas Retno tetap setuju dengan adanya menu baru di sini dan menu yang kami pilih adalah beberapa jenis ramen dengan Wagyu a5 dan Steak wagyu. * Seminggu berlalu desas desus miring tentang kami perlahan menghilang, Uchiha kembali dipadati pengunjung. Sejumlah menu yang bervariasi menjadi daya tarik tersendiri untuk mereka yang ingin mencoba ramen rasa baru serta berbagai makanan jepang. Riuh pengunjung, serta kesibukan dapur Uchiha kembali membangkitkan semangat yang sempat memudar dan perlahan hilang. Meski semua sudah kembali seperti semula, tak lantas membuatku menyerah dan mengakhiri rencana menambah menu baru dengan bahan baku daging berkualitas yang belasal dari jepang itu. Sederet angka lengkap dengan nama Bima Lucas Pangestu tertulis indah di atas katu nama pemberian Mas Fajar. Sekelas distributor daging sapi nama Bima terlalu keren menurutku, Astaga bicara apa aku ini. Hanya saja nama Bima Lucas rasanya tidak asing, dan hanya ada satu nama itu yang aku kenal. Apakah itu dia? Atau mungkin ada Bima Lucas lain lagi. Berkali-kali berusaha menyambungkan telepon, tetapi terus-terusan sibuk hingga timbul pertanyaan sesibuk apa sih orang ini. Sup Dashi (sup dari kaldu ikan), jahe segar, menyapa penciumanku, benar saja beberapa detik kemudian Mas Dinan datang membawa satu mangkuk udon. Kata Mas Dinan aku kebanyakan mikir jadinya wajahku kusam, enggak segar dan terlalu kaku. Tidak ada hubungannya udon dengan mengubah mood, tetapi kata Mas Dinan, makanan yang dibuat dengan cinta di dalamnya akan membuat dan memberikan kebahagiaan. Sayangnya kadang aku lupa bagaimana rasanya dicintai. Karena tidak ada orang yang memperlakukanku penuh cinta seperti Raka zaman dulu kala. Kalau kata Simi sih aku terlalu baperan. “Mas Dinan ngasih ini bukan karena cinta sama saya, kan?” tanyaku, disusul dengan tawa Mas Dinan yang terdengar ugh jantan. Gigi gingsulnya mengintip dan jambang-jambang berumur sehari membuat lelaki ini terlihat sedikit panas. Sayangnya Mas Dinan bukan Raka, hatiku tidak pernah memilih lelaki lain selain Raka. “Enggak lah, Teh. Maksudnya dibuat dengan cinta bukan berarti kita mencintai orang yang akan memakan makanan yang kita buat. Cinta di sini maksudnya saya mencintai seluruh prosesnya, mencintai step demi step yang dilalui. Mencintai saat memotong bahan, bahkan saat menuangkan kuah ke mangkuk pun saya bubuhi dengan cinta.” Aku menunduk malu. Yaampun apa yang ada dalam pikiranku sampai-sampai mikir kalau Mas Dinan cinta kepadaku. “Maaf Mas, saya sudah kegeeran,” ucapku. Aroma sup Dashi membuat perutku sedikit keroncongan, segera kuambil sendok bebek dan mencicipi kuahnya. Seperti biasa, racikan mas Dinan selalu enak. Memanjakan lidah. Bersyukur aku dipertemukan dengan koki-koki andal seperti mereka. “Gimana?” “Enak, Mas. Enak banget, terima kasih karena Mas mau bekerja di sini. Chef andal kayak Mas seharusnya sudah punya resto sendiri.” Mas Dinan tersenyum memeluk nampan, lalu mengatakan belum saatnya dia memiliki resto, karena tidak dapat dipungkiri itu adalah salah satu cita-cita terpendamnya Mas Dinan. Tubuh tinggi lelaki itu menghilang dibalik pintu. Sebelum melanjutkan setumpuk pekerjaan akhirnya aku kembali mencoba menghubungi sang distributor yang sibuknya minta ampun. Mendadak muncul perasaan aneh ketika nada panggil tidak lagi terdengar suara operator yang mengatakan bahwa pemilik nomor itu sedang sibuk. Bunyi tut ... tut ... tut ... terdengar laksana kidung malam yang paling merdu. “Halo,” jawab penerima telepon tepat di dering ketiga. “Halo, selamat siang, apa saya bicara dengan Mas Bima?” tanyaku. ”Betul, dengan siapa ini?” “Maaf, Mas, saya Tari. Benar Mas Bima distributor daging Wagyu A5?” bertanya dengan hati-hati, tidak lucu kalau ujung-ujungnya salah bicara. Mas Bima orangnya baik, dia ramah dan dengan senang hati mau mendistribusikan Wagyu A5 ke Uchiha. Sayangnya saat ini hanya pegawainya saja yang bisa mengantar dan bertemu untuk melakukan transaksi dan mengurus segala proses perjanjian dan kerja sama. Mas Bima sendiri harus segera terbang ke Australia untuk mengontrol peternakan di sana. Ternyata Bima Lucas ini adalah pengusaha kaya yang memiliki banyak peternakan sapi di mana-mana. Baik sapi lokal maupun wagyu dengan berbagai grade. Mantap jiwa. Kabar ini seharusnya segera aku bagi dengan Simi. Aku akan meminta Mas Retno untuk membuatkan Gyu Butter gohan kesukaan Simi. Lalu datang ke tempat dia bekerja untuk memberikan kejutan. * Motor matic yang biasa aku pakai kudorong sampai keluar dari parkiran, dibantu Mang Somad, petugas parkir Uchiha. Makanan untuk Simi sudah kugantungkan di centelan, segera kutancap gas menuju tempat yang biasa Simi sebut kantor. Sapuan lembut bayu menampar-nampar wajah dan rambutku, terik matahari sore tak lantas membuatku gentar untuk melanjutkan perjalanan. Sayangnya, ketika melirik ke arah spion, ada sepeda motor yang terus-terusan mengikutiku. Seketika bberbagai asumsi dan ketakutan menghantuiku. Bagaimana jika, itu begal, bagaimana jika penjahat bagaimana dan bagaimana membuat konsentrasiku saat mengendarai sepeda motor sedikit ambyar. Sekali lagi kulirik spion, pengendara dengan helm fullface itu terus mengikuti, bahkan ketika aku menambah kecepatan si geboy, dia juga ikut tancap gas mengikuti. Jalanan yang sepi membuatku semakin ketakutan. Bayangan kematian ada di depan mata. Mama ... Papa ... maafkan anakmu ini, maafkan karena belum bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian. Aku terus menjerit dalam hati, wajahku basah dan dingin. Menangis adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat ini. Daripada terus berlari tancap gas dan membahayakan pengendara motor lain, aku memilih untuk menghentikan laju. Perlahan menepi, detak jantung ditingkahi oleh getaran yang kuat. Jemari bergetar. Rapal doa terus aku langitkan, berharap keselamatan dari Sang Maha Kuasa. Pengendara berjaket hitam polet merah itu berhenti tepat di depanku. Rasa takut berganti jadi amarah kala helm yang menutupi seluruh wajahnya itu terbuka. Centong Nasi! Raka Satria Rahadian si pengecut dan bancii kaleng! “Ngapain lo hadang jalan gue?” bentakku. “Ngapain lo mewek? Takut lo?” sinis Raka. Lelaki itu mendekat, wajahnya yang biasanya tampan kini tertutup keegoisan. Aku benci dan cinta dalam waktu bersamaan. Aku juga benci diri ini karena merasakan perasaan seperti itu kepadanya. “Ngapain lo? Mau nyelakain gue, hah?” “Santai, sis. Gue Cuma mau bilang lo jangan curang,” ejek Raka. Omongannya membuatku ingin membenturkan batu-bata yang tergeletak di jalanan tepat di atas kepalanya. Atau tepat di masa depannya, biar tahu rasa. Sayangnya akal sehat masih aku miliki, aku tidak mau berurusan dengan hukum hanya karena melakukan hal itu. “Siapa yang curang? Gak salah ngomong lo?” “Lo sendiri yang nantangin gue, tapi lo curang karena pakai jasa koki untuk bikin semua masakan jepang di restoran lo. Kalau berani masak sendiri seperti gue, oh ... pasti gak bisa ya, pasti semua pembeli kabur karena jangankan bikin ramen atau udon. Masak nasi goreng buat gue aja kalo gak kurang garem ya keasinan,” ledek Raka. Aku ingin marah, untungnya perkataan Simi selalu kuingat jelas. Kalau dilayanin berarti sama gilanya. An ogah dong dikata orang gila kayak si centong nasi ini. “Gue gak ada waktu ngurusin yang beginian, Ka. Asal lo tahu, masa depan kedua orang tua gue bergantung pada usaha ini. Gue gak punya waktu buat main-main.” “Lo sendiri kan yang nantangin gue?” tantang Raka. “Iya, dengan cara yang cerdas dan sehat, bukan curang kayak lo.” “Curang teriak curang, pakai jasa koki itu juga curang,” hardik Raka. Childish. Menyebalkan. “Terserah. Kalau lo gak bisa move on dari gue bilang aja Ka, jangan bisanya cari gara-gara aja.” “Jaga omongan lo,” teriak Raka. Lihat, kami jadi tontonan orang lewat, disangkanya kami adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. “Kalau lo beneran udah move on, lo gak bakalan ingat kalau gue pernah bikinin lo makanan yang kurang garem atau keasinan.” Skak Raka tak mampu membalas kata-kataku. Aku memilih pergi meninggalkan Raka, khawatir makanan milik Simi keburu dingin. Hal terakhir yang aku lihat melalui spion sebelum meninggalkan tempat itu adalah Raka yang mematung dan menjatuhkan helmnya di aspal. Sepertinya dia kaget, bodo amat. Aku lelah dengan tingkahnya yang kekanakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN