“Pulang bareng siapa?” Bagas beranjak dengan niat menyusul, memandang lekat Chindai yang baru saja menoleh. Gadis itu tampak tak berniat pamit dan menyelonong akan meninggalkannya terang-terangan. Tinggi Bagas yang jauh di atas menyebabkan Chindai menadahkan kepala.
“Anu … Chin—gue sama Chelsea, Kak.”
“Bukannya dijemput saingan Karel?”
Chindai menggigit bibir bawahnya, panik. Ini termasuk kelemahan orang-orang yang tidak pandai berdusta. “Paling … paling sama Marsha, Kak.”
“Pacar—”
“Ah, iya. Sudah sama Rafli.”
“Lo jomlo sendiri?” tebak Bagas lebih daripada refleks, lalu terkekeh saat Chindai mengangguk. “Ajak pacar makanya.”
“Enggak ada.”
“Kan sudah bilang. Gue Inai lo. Kurang apa lagi?”
“Kurang kepastian, Kak,” kata Chindai asal. Ia mengerjap lesu, tidak ambil pusing atas teka-teki Bagas. Chindai akan berbalik, tetapi urung sebab pundaknya ditepuk tiba-tiba dari belakang.
Rio is back!
“Ganggu aja lo, Yo!” sahut Bagas jengkel begitu Rio berdiri—bak menantang—di hadapannya langsung. “Apa lo?”.
“Lo ngapain tahan Chindai di sini?”
“Ngobrol.”
“Jam pulang.”
“Terserah kita, dong.”
“Kita atau lo doang?” Rio menjulurkan lidah untuk mengejek Bagas, lalu beralih ke Chindai saat sadar pandangan mematikan menghunjamnya. “Lo dicari Salma, Dek.”
“Salma?”
“Kakak lihat Salma nunggu di depan, tapi balik dulu ... kayaknya ada ketinggalan di ruang tari. Kalian pulang bareng, kan?”
Sebuah kode terselubung. Chindai paham cepat dan ikhlas mengampuni tindakan Rio karena berhasil membebaskannya dari kekangan nikmat Bagas. “Chindai cari Salma dulu, Kak,” pamitnya dalih melirik Bagas yang menatapnya selalu.
“Gue antar?”
Chindai menggeleng. Kalau Bagas menawarkan dari jauh-jauh hari—minimal saat berbincang tadi—ia pasti menerima. Namun, Chindai telanjur menerima ajakan Rio.
“Yakin enggak mau?”
“Kasihan Salma, Kak.”
“Oke, deh. Hati-hati, ya, Inai!” ucap Bagas terselip peringatan.
“Iya, Kak. Chindai permisi.” Chindai menunduk hormat, serta-merta melangkah tergesa-gesa meninggalkan ruang musik.
Selanjutnya, Rio berubah otomatis. Ia bersedekap seolah pembawa acara terkenal, mengklaim diri bahwa siap untuk menginterogasi. “Gue mau tanya-tanya. Pertanyaan pertema. Apa lo lagi pendekatan?”
“Sok tahu.” Mata Bagas berkilat marah. Meski tuduhan tersebut benar, ia sedikit pun tidak memiliki hak mengaku. “Mending lo jangan halangi apa pun yang mau gue lakukan, Yo. Kali ini aja.”
“Gue rebut Chindai, ya?” tanya Rio, yang lantas menyebabkannya menahan tawa saat Bagas menjitak keras keningnya.
“Memang Chindai suka sama lo?!”
“Takut disaingi?”
“Enggak!”
***
“Alvin, lima tambah tiga hasilnya delapan. Kenapa lo isi tujuh, sih?” seru Chindai frustrasi. “Please, deh, gue bukan ngajarin anak taman kanak-kanak!”
“Eh. Sori, Ndai, gue keliru.”
Alvin Sinaga, teman sekelas Chindai yang detik ini menahannya demi mengajari soal—di mana nilai Matematika laki-laki itu anjlok. Meskipun tidak berada di urutan pemegang peringkat satu, dua, dan tiga …, Chindai tidaklah bodoh. Setidaknya, mampu menjadi guru gratis alias tak berbayar.
Bagi Alvin, Chindai di balik kata malas adalah penyelamatnya di saat orang-orang enggan membagi ilmu. Meja dan kursi di sekeliling telah tak berpenghuni, menambah kesan tenang dan syahdu. “Gue harus gimana?”
“Kerjakan ulang!”
“Enggak mau kalau lo marah-marah.”
Chindai melotot tajam. “Gue enggak marah, cuma lo harus buruan, elah!”
“Okay, My Princess!” Alvin menyeringai setelahnya. Ia hanya menggoda, tetapi juga bersemangat dan kembali fokus mengerjakan sesuai rumus sederhana yang dibuat Chindai. Seperti biasa, gadis itu selalu menjadi penyelamat.
“Dah, selesai itu, Vin.”
Betul saja. Tak sampai lima menit bagi Alvin menyelesaikan karena mulai paham. “Gue yakin seratus persen, ini benar!”
“Hem, iya.” Chindai pun tak berbasa-basi. Selama Alvin bertaut dengan buku dan pena, ia juga mengamatinya sekalian menghitung hasil. Jadi, diputuskan bahwa jawaban Alvin tidak ada yang bermasalah lagi.
“Serius?” Alvin berselebrasi, agak lebay. Ia memikirkan cara berterima kasih pada Chindai. “Gue traktir lo bakso Mang Ghani besok, Ndai. Janji!”
Biasanya, Chindai berseri-seri mendengar tawaran berupa makanan kegemaran di SMA Rajawali. Namun, sekarang pikiran Chindai sedang kalut, ekspresi murka Bagas dan Rio menghiasi kepalanya. “Selesai, kan, Vin? Gue mau cabut!”
“Lo kenapa buru-buru, Ndai?”
“Si b**o!” cecar Chindai, meredam geram. Ia amat tidak bermain-main, sementara waktu terus berjalan. “Gue kumpul ekstrakurikuler musik, katanya ada pembina. Sudah telat beberapa menit, nih. Mampus, gue dimarah.”
“Minggat aja.” Ide kreatif Alvin langsung mendapat jitakan keras di keningnya. Ia melongok Chindai yang sibuk membereskan buku-buku dan memasukkan ke dalam tas. “Kak Rio berani marahi lo, Ndai?”
Chindai jenuh, kakinya sendiri tertahan sebab di pintu ingin sekali bersilaturahmi di muka tampan Alvin. “Lo tahu sendiri gimana profesionalnya Kak Rio,” ucap Chindai keki. “Sudah, ah. Lo pulang aja duluan, gue nebeng ke Chelsea.”
Andai lo tahu, Ndai.
***
Sepanjang perjalanan, apalagi saat menginjak gedung ekstrakurikuler, Chindai dikuasai ragu. Bayang-bayang mabal yang disarankan Alvin menyenggol ego. Namun, Chindai tak ingin keluar dari tanggung jawab, terlebih dirinya junior. Panjang urusan kalau Rio mempunyai ribuan pertanyaan menjatuhkan.
Intinya, Chindai membutuhkan keajaiban. Tangga yang dilewatinya menjadi bukti bila kehidupan manusia sudah beralih ke ruangan masing-masing. Mengingat tegasnya Rio, Chindai makin putus asa.
“Mampus, gue benaran—”
“Telat. Memang bagus.”
Chindai mematung, juga halnya tersentak. Tanpa melirik ke sumber suara, ia mengerkah jempolnya. Panik, canggung, gelisah, takut … demi Tuhan, Chindai tidak sanggup sekadar berdiri di posisinya, sementara seseorang terlihat berjalan mendekat.
“Anggap aja lo tanam saham di SMA Rajawali, ya, Ndai. Bebas.”
“Kak Bagas.” Chindai menyengir lebar. Terkesan sok-sok akrab. Tolong apresiasi setitik keberanian yang diharapkan membantu. Ini gawat, Chindai tidak mau lemah di depan sosok yang disukainya.
“Gue tunggu, cari pembelaan yang dapat diterima,” gumam Bagas sinis. “Waktu dan tempat dipersilakan.”
Diberi kesempatan, Chindai merilekskan diri. Kontras sekali, ia gugup berhadapan dengan Bagas yang sorotnya mampu melelehkan siapa pun. “Ada teman yang minta ajarin tugas. Berhubung dia sering bantuin gue, enggak tega nolak.”
“Cowok atau cewek?”
“Cowok. Namanya Alvin.”
“Itu ajarin tugas atau pacaran?”
“Tugas, Kakak,” cicit Chindai, cemberut.
Bagas mengangkat bahu, bersikap cuek bebek meski tak sesimpleks itu. Ia hanya bertenggang tidak menuruti kata hatinya yang ini mengomeli tingkat kepekaan Chindai yang minim. “Well, lo ngapain di sini?”
“Ke ruang musik.”
“Pengen jadi sasaran kemarahan?” Bagas melewati Chindai dengan langkah tegas dan menyisakan ganar di mata elangnya. “Mending ikut gue.”
“Tapi Pak Adi—”
“Inai …, lo terlambat nyaris setengah jam, masih bisa berpikir gabung di dalam?”
***
Chindai menelusuri kagum setiap sudut ruangan yang dimasukinya. Di posisi duduk nyaman, ia menangkap piala tersusun rapi di meja guru, dan spanduk berupa foto rombongan. Dekorasi yang hanya bisa dikerjakan siswa-siswi rajin di dalamnya. AC menyala tinggi, menambah sejuk suasana.
Tak terduga Bagas mengajak Chindai ke kelasnya, tetapi berakhir meninggalkan gadis itu begitu saja. Chelsea dan Marsha sudah pasti di ruang musik mengikuti sesi kumpul dipimpin Pak Adi, sedangkan Salma latihan bersama ekstrakurikuler tari. Rio … pesan yang dikirimkannya tak dibalas Chindai apa pun.
Bagas sendiri izin rapat OSIS. Sebentar, katanya.
Maka dari itu, Chindai mencari jalan keluar demi mengisi waktu luang. Ia membaca novel terbarunya setelah memakai kacamata baca yang diambil di tas. Omong-omong, Chindai ingat jika Bagas tipikal laki-laki hobi berkacamata, entah memang memiliki masalah terhadap netra, atau sekadar gaya.
Chindai terhanyut pada bacaan, sementara Bagas telah kembali dan menimbang-nimbang saat yang tepat. “Rajinnya Inai,” gumam Bagas tak sabaran, kalimat pertama selepas menutup pintu hingga terdengar decitan.
Chindai mengerucutkan bibir. Siapa yang berani mengganggu kegiatan favorit, akan dicap sebagai pengganggu cap ulung kendati Bagas mengantongi segenap perasaannya. “Diam, Kak, berisik.”
“The Girls on Paper.” Bagas tenang mengeja yang menarik minatnya, lalu tersenyum kala Chindai meletakkan novel dan beralih meladeninya.
“Urusan Kakak sudah selesai?”
“Lo masih aja kaku.”
Chindai mencabau lehernya, tak berkutik. Kalau-kalau ditelaah, cuma Bagas yang pandai memainkannya di berbagai kesempatan. “Gue enggak biasa, Kak.”
“Biasakan. Latihan, gih,” ujar Bagas memerintah.
“Gue bingung mau ngomong apa, Kak. Enggak mungkin diatur-atur kayak teknologi. Gue bukan robot.”
Seketika keheningan melanda. Menyadari penyebab hal tersebut dirinya, Chindai menyembunyikan wajah di lipatan tangan. Malu sebab absurdnya tampak.
“Ndai?”
Chindai tahu sekali Bagas menahan sesuatu menyembur dari mulutnya. “Ketawa aja, Kak, sok banget ditahan,” ucapnya lirih sambil mengangkat kepala, menunjukkan sebagaimana rona merah di pipi.
Kekesalan Chindai malah membuat Bagas tergelak girang dan tergerak mengacak-acak rambut gadis itu. “Ya Allah, Ndai. Ngakak gue.”
“Kak, puas banget?”
“Lo lucu, sih.” Bagas berdeham, menetralkan keinginan menyudutkan lawan bicaranya lebih jauh. “Gue habis berpikir kalau pantas kasih lo panggilan Inai.”
“Enggak guna juga, gue enggak boleh cari tahu artinya,” jawab Chindai keki.
“Tuh, sudah biasa pakai lo-gue.” Bagas terkekeh, bergerak menyusul Chindai dan duduk di sampingnya. Entah bagaimana, ia tidak bisa menutup-nutupi raut senangnya. “Maaf, gue tinggal lo tadi. OSIS lagi ribet banget.”
“Kok ajak gue ke sini, Kak?”
“Terus mau gue ajak ke mana? Penghulu?”
“Enggak begitu konsepnya, Kak,” ujar Chindai pura-pura senderut. Semoga Bagas tidak notice detak jantungnya di jarak terdekat. “Jadi, apa?”
“Gue tadi malas kumpul, terus buat alasan kumpul OSIS. Eh, benaran ternyata.” Bagas curhat, tak menutupi kebodohannya hari ini. “Apalagi saat tahu lo terlambat, ya sudah mending diajak mabal sekalian.”
“Kakak sadar?”
“Memangnya lo anggota biasa untuk gue?”
Memastikan Bagas tak melihat, Chindai mencubit pergelangannya di bawah meja. Tidak mimpi, tetapi tetap saja terasa mustahil. Chindai sampai berpaling beberapa saat. “Hem … gue tadi sudah yakin bakal diamuk, apalagi ada Pak Adi.”
“Terima kasih coba.”
“Terima kasih, Kak Bagas.”
“Sama-sama, Inai.” Arkian, tak mau kecanggungan berlanjut memanaskan situasi, Bagas bertanya, “Lo suka novel?”
“Banget, Kak!”
“Minggu sibuk?” Bagas tersimpul bertepatan Chindai menggeleng. “Adek gue kayak lo, novel addict akut,” tuturnya menerangkan. “Minggu gue ajak lo ke gramedia, sekalian ketemu teman yang persis. Gue pusing temani dia melulu, siapa tahu dengan ada lo … beban gue berkurang.”
Chindai meneguk salivanya susah payah. “Kak Bagas serius?”
“Lo mau diseriusin?” Bagas balik bertanya dengan kerlingan maut. “Gue, sih, mau aja kayaknya … asal lo mau.”
“Kak!”
“Serius, entar gue jemput.”