Tak ditemani satu pun sahabatnya yang terkadang tidak tahu diuntung itu, Chindai mengalunkan lagu A Whole New World sambil menaiki tangga melengkung di gedung kelas sebelas menuju lantai dua. Niat Chindai adalah menemui Bagas dan memberikan kejutan yang semoga menyenangkan hati sang empu.
Namun, langkah Chindai tiba-tiba terhenti di per sekian detik, sementara matanya lantas terbelalak. Tak perlu diragukan, ia mengenal seseorang yang melangkah turun—berlawanan arah dengannya.
“Inai!”
Benar saja. Chindai langsung menyengir gamang, terlebih setengah tidak percaya jika Bagas menegur terlebih dahulu.
“Kok diam?”
“Hai, Kak,” sapa Chindai tidak kalah ramah, padahal di dalam hati getar getir luar biasa. Bagaimanapun, Bagas adalah seniornya di sekolah sekaligus laki-laki pertama yang berhasil membuat Chindai jatuh .
“Cari gue, ya?”
“Mau kasih hadiah.”
Kening Bagas berkerut sengaja dan senyuman tipisnya terlukis indah mendengar pengakuan Chindai yang malu-malu, tetapi berusaha terdengar elusif. Sambil menerima uluran gadis itu yang tak asing, ia membelalak. “Ndai, jangan bilang—”
“Selesai.” Chindai tergelak setelahnya.. Ia turut senang melihat kegembiraan laki-laki itu karena hal sederhana yang dilakukannya semalaman..
“Berapa, Ndai, totalnya?” tanya Bagas, tidak menghilangkan binar kebahagiaan di mata almonnya.
“Apanya, Kak.?”
“Bayarannya, Chindai.”
“Gratis, Kak Bagas.”
“Eh?” Bagas mendongak terkejut dengan mimik muka yang tidak setuju. “Gue sudah janji dulu, bakal bayar kalau proposal ini selesai.”
“Chindai juga janji enggak terima bayaran sepeser pun.”
“Tapi, Ndai—”
“It’s not big problem, Kak. I’m sure,” ujar Chindai berkeyakinan penuh. “Chindai mau balik kelas sekarang, ya,, keburu ada guru mengajar. Bye!”
“Tunggu dulu, Chindai!” larang Bagas cepat, bahkan menyengir kala menangkap kekagetan Chindai tatkala tangannya menyentuh lengan gadis itu. Ia juga mengatakan pada nafsi untuk tidak melepaskannya dalam waktu dekat. “Lima belas menit lagi baru bel masuk, Ndai.”
“Kenapa, Kak?”
Tidakkah Bagas sedikit tahu … di lubuk terdalam, harapan Chindai menjadi tinggi sampai ke langit ke tujuh.
“Gue traktir lo, ya, tanda terima kasih.” Beberapa saat Bagas meneliti jam tangan miliknya. “Ke kantin, yuk, Ndai.”
“No!” Chindai mencak-mencak dan menggeleng tegas. Sangat berbahaya, bahkan hanya dengan memikirkannya. Mungkin ajakan Bagas jika perlu langsung disetujuinya, Chindai pun amat mau. Namun, tidak ... ia kelewat malu.
“Kenapa lo tolak?”
“Takut muncul gosip, Kak.”
Tawa merdu Bagas biarpun terselip ejekan sontak diluncurkannya. “Hari begini lo masih pikir enggak-enggak? Bawa santai, Chindai. Iyain boleh juga, kok.”
Chindai melongo sesaat, susah payah berjuang agar tidak tenggelam di tatapan hangat Bagas yang sekadar perasaannya. “Chindai permisi, Kak,” tutur Chindai hampir tersendat, lalu berbalik untuk segera menelusuri anak tangga.
“Ndai, Chindai! Inai!”
Terlambat. Chindai benar-benar berencana menghindar.
***
“Enggak ketemu satu minggu, sudah bawa piala.” Bagas tersenyum bangga seraya duduk di samping Chindai yang terperanjat. Saking disadarinya, tangan Bagas tergerak mengacak rambut gadis itu. “Biasa aja …, Inai.”
Enggak ketemu satu minggu, sudah bawa piala.
Bukannya tenang, justru Chindai keblangsakan. Kalau begini, mending ia berganti posisi dan berlindung di kursi Marsha. Tak mengapa beradu mulut dengan Chelsea, asal Bagas tidak datang serta memperpendek umurnya.
Sikap Bagas yang seolah tak mengingat kejadian tadi pagi juga membuat Chindai justru makin ganar. Ketakutannya sekarang adalah Bagas mengetahui perasaannnya dan Chindai tidak siap untuk itu. Baginya, seperti ini saja sudah lebih dari cukup.
“Kak.” Chindai mengernyih gelisah di bawah tilikan dalam Bagas yang seakan menilainya setiap saat. “Kakak enggak sama Kak Rio di depan?”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa.”
“Lo gugup?”
Savage!
Chindai menahan hirup oksigen yang menunjang keberlangsungan hidupnya. Cara Bagas membikin tak berkutik sungguh tepat sasaran, apalagi laki-laki itu terus bertanya tanpa memikirkan nasib Chindai yang nyaris menangis.
“Napas, Chindai.”
“Kak!”
Bagas tertawa geli, terhibur menangkap Chindai gemetar dan berpaling ke arah lain. Pipi tembam tersebut juga tak tahan disentuhnya hingga jemarinya tergerak sendiri. “Astaga, lo ... lo cantik banget!”
Lagi, Chindai dibuat meringis, alih-alih gembira. Sampai kapa pun, ia tak kebal akan segala bentuk pujian Bagas.
“OSIS mulai mempersiapkan perpisahan kelas dua belas. Enggak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, ekstrakurikuler musik memegang andil kesuksesan acara,” kata Rio samar-samar bergelayut penjelasan.
“Kakak enggak kumpul OSIS?” Chindai mengalihkan pembicaraan daripada menyerap sabda Rio yang bisa nanti ditanyainya secara pribadi. Walau gugup, anggap saja ini langkah pendekatan terselubung layaknya yang dikatakan Salma.
“Jangan formal begitu, Ndai, enggak nyaman.” Bagas mendadak memutar tubuh Chindai langsung menghadapnya. “Lo-gue aja, enggak apa-apa.”
Mata bulat Chindai ditutup Bagas sebentar dengan alasan gemas ke sekian kali. Mungkin, Chindai menurut Bagas sejenis squishy. Namun, bukan itu masalahnya, tetapi ia sama sekali tak biasa memakai kosa kata gaul untuk memanggil orang yang lebih tua.
“Deal, kan, Ndai?”
“Iya, Kak. Chin—gue paham,” ucap Chindai ragu, pertama kali. Mau tidak mau, permintaan Bagas semacam mutlak; tak lucu doi mengamuk bila tidak dituruti. Chindai dan segala sok tahunya membeludak bersama angan.
“Nah, bagus,” seru Bagas senang. “Buka i********:. Lo juga belum follow gue.”
Astaga. Demi apa pun, Chindai sudah menunggu saat-saat ini tiba, di mana tidak akan ada yang namanya sebatas penguntit di media sosial. Dipikir Chindai, ia berakhir pengagum rahasia semata karena sekadar mengikuti di media sosial pun dilanda ragu. Kini, Bagas sendiri yang menawarkan.
“Chindai, hobi banget melamun.”
“Si-siap, Kak.”
“Yang di ujung, tolong perhatikan.”
Bagas berdeham, lalu cekatan pura-pura memainkan ponsel sambil mengutuk Rio kendati tidak bersuara. Di kursi sebelahnya, Chindai terlihat menunduk membaca novel di tangan. Sama-sama berharap anggota lain tidak melirik interaksi keduanya.
Menunggu lama hingga kondusif, Bagas kembali memberanikan diri menyenggol Chindai. Jika tak mengobrol, ia bosan luar biasa. Kehdiran gadis itu di ekstrakurikuler musik membawa perubahan besar bagi Bagas. “Rio memang kurang ajar. Sans aja, ya.”
Chindai manggut-manggut sebelum teringat sesuatu. “Kak, untuk yang minggu lalu, terima kasih banyak. Tadi pagi mau bilang begitu, tapi lupa.”
“Ah, iya. Gue lupa. Gimana keadaan lo?”
“Baik.”
“Jangan sembarangan makan. Awas aja sakit lagi, gue hukum.” Bagas mesem beriringan deretan gigi Chindai menyegarkan mata. “And then, your welcome, Inai.”
“Kak, Inai … artinya apa?
“Benar enggak tahu?”
Chindai menganggut pasrah dihadiahi Bagas cubitan di pipi lagi. Ia mesti terbiasa merasakan sentuhan di bagian wajahnya. Setidaknya, Chindai harus mengetahui rahasia di balik Bagas sering memanggilnya dengan sebutan yang khas.
“Oke. Kalau begitu, jangan searching apa pun. Harus janji pokoknya,” titah Bagas tak terbantahkan. “Entar gue kasih tahu pas waktunya yang tepat.”
“Kapan?”
“Ada saatnya. Nanti.”
Kemudian, suara Rio menggelegar di penjuru ruang musik lagi. Kali ini tampak sengaja mengganggu obrolan Bagas dan Chindai. “Dengar, adik-adik?!”
“Dengar, Kak!”
Bagas mendengus, tak suka sembrononya Rio yang menjengkelkan. Rekannya itu terlalu bertekad mengacaukan. “Kita perhatikan dulu si Rio. Seram kalau dia ngamuk.”
Di sisi lain, Chindai memahami lahir batin bagaimana Rio berlaku kala seseorang lawan jenis berada di dekatnya. Meski katanya Bagas dan Rio bak sohib dibelah dua di setiap berpendapat, tetap tidak akan mudah bagi kakaknya membiarkan laki-laki mana pun mengambil kesempatan.
“Seperti yang diketahui, SMA Rajawali tercinta kita ini menyandang juara atas kesuksesan Chindai dan kawan-kawan di perlombaan dua hari lalu.” Rio beserta segenap anggota ekstrakurikuler musik bertepuk tangan. “Good job!”
“Terima kasih, Kak!” seru Chindai dan timnya. Penampilan pertama yang sudah berhasil memikat juri, lalu berhasil mengobarkan semangat anggota lain yang belum tergilir menikmati sebuah perlombaan.
“Kita harus beli lemari, Kak. Piala berjibun, enggak ada tempat lagi,” usul Fattah, kekasih Salma sekaligus teman satu ekstrakurikuler Chindai.
“Iya, asal kalian rajin-rajin bayar kas. Jangan menunggak terus.”
Semua orang di ruangan tertawa puas, kompak merespons singgungan Rio yang tak salah. Sudah dikatakan, untuk hal-hal kecil semacam kas mingguan saja harus dicek agar tidak keliru. “Siap, Ketua, dilaksanakan sesuai kemampuan!”
“Perihal acara perpisahan. Kakak sebagai ketua umum ekstrakurikuler musik dan perwakilan siswa-siswi kelas dua belas, mengharapkan persembahan menarik untuk dikenang di hari perpisahan.”
Entah kenapa, Chindai terharu melihat pembawaan memukau Rio yang begitu pandai menyesuaikan diri—baik saat menjadi pemimpin, teman, dan kakak sekalipun. Laki-laki itu bak bunglon.
“Keputusan hari Sabtu. Entar gue kabarin lag detailnya.” Bagas mengacungkan jempol. Ini fungsi jabatannya, mengharuskan jembatan antar ekstrakurikuler dan OSIS. Terkadang, Bagas kelelahan dan satu pun kegiatan tidak berhasil mengusir bosannya. Hanya tidur obatnya.
“Apa yang kita tampilkan, Gas?”
“Band kelas dua belas dan orkes simfoni.”
Sejenak Rio berpikir keras sendiriaan. Nasib sekretaris dan bendaharanya belum menunjukkan batang hidung beberapa kali pertemuan ini, sehingga merangkap banyak tugas di luar ranahnya. “Sudah didiskusikan sama Pak Adi?”
“Besok Pak Adi minta waktu ngomong di sini, Yo..”
“Oke, bagus banget kalau begitu. Lo urus, Gas.” Rio tersungging mencurigakan, begitu yang ditangkap Chindai di pertama kali keduanya saling berada tatap. “Minggu depan kita enggak kumpul di ruang musik.”
“Yes!” Sahutan semangat justru muncul dari para anggota lain yang tampak sudah sama lelahnya dengan ceramah ketua.
“Enggak kumpul bukan berarti bebas, teman-teman dan adik-adik semua!” seru Rio semata pancingan. “Ruang musik akan direnovasi.”
“Renovasi?” potong Bagas tak berkesudahan.
“Dek, lo bungkam mulut Bagas. Berisik banget!”
Kemudian, Chindai bersumpah memberi Rio pelajaran sepulang sekolah. Ia diam sedari tadi, tetapi disenggol berkesinambungan. Sadar titik fokus perhatian mengarah padanya, Chindai tersenyum tidak enak hati.
“Lanjut aja, Yo,” titah Bagas turut kesal, menolong kecanggungan Chindai. Sama dengan gadis di sisinya, Bagas benci blak-blakan Rio.
“Proposal perbaikan ruang musik yang Kakak ajukan di-accept sekolah. Selama itu kumpul ekstrakurikuler musik dilaksanakan di rumah Kakak. Enggak ada alasan mabal,” tutur Rio menerangkan. “Kayaknya besok terakhir kita di sini, sekalian dengar pendapat Pak Adi.”
“Baik, Kak!”
“Jadwal dan lainnya, tunggu Kak Michelle.”
“Fantastis!”
Sejujurnya, pencapaian Rio di akhir-akhir jabatan mencetak sejarah yang memiliki dampak penting.