BAB 1. Awal Perjodohan
Palangkaraya, Indonesia, 2022.
Matahari telah bersinar gagah, ketika Fatma baru saja mengumpulkan nyawanya. Jemari lentik gadis itu langsung merayap-rayap ke bawah bantal, hingga menemukan benda pipih canggih kesayangannya.
Setelah membuka aplikasi pesan, dimainkannya lagi pesan suara yang semalam telah dia dengarkan. Berisi suara sang Ibu yang tak lagi membahas soal kesehatan atau pun kiriman uang.
“Dari pada kamu Cuma buang waktu gak jelas, keluyuran sama teman-teman kamu, mending kamu cepat nikah, Fatma,” ucap Sarinah di kiriman pesan suara paling atas.
“Keluarga majikan Ibu sangat baik, dan mereka sudah banyak dengar tentang kamu dari Ibu. Ibu sudah cerita semuanya, kamu akan lebih terjamin sampai hari tua kalau kamu mau menerima saran Ibu. Di sini ada Ibu, dan kamu gak perlu takut apa-apa.”
“Besok kalau kamu sudah setuju, cepat kirim foto-foto terbaru kamu. Susah mau video call, karena majikan ibu super sibuk. Ibu juga lagi sibuk nih. Tolong cepat balas, ya.”
Pesan suara itu pun berakhir, menyisakan rasa yang masih sama bingungnya seperti semalam di hati dan pikiran Fatma. Kalau saja gadis itu tak menenggak pil tidur, maka semalam dia akan terjaga dan menjadi gila.
Fatma bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan gontai menuju kamar mandi. Dicucinya wajah dan sebagian rambut poninya pun menjadi basah.
Fatma memandangi wajahnya di depan cermin, merasa tak ada yang salah dari penampilannya.
“Bisa-bisanya Ibu minta aku nikah sama orang Arab, orang Arab kan besar-besar dan banyak duitnya,” gumam Fatma, melirik nakal pada pantulan wajahnya sendiri.
“Tapi Ibu benar juga. Bisa jadi ini jalan aku supaya jadi orang kaya. Di sini juga gak ada yang harus aku peduliin kan. Mana ada yang peduli sama aku? Tante sama anak-anaknya itu pasti akan nangis darah saat tahu aku akan jadi istri sultan Arab!” lanjut Fatma, terus bicara dengan dirinya sendiri.
Fatma kemudian mengambil ponsel yang tadi dia tinggalkan di atas tempat tidur, lalu menutup pintu kamar mandi. Fatma menanggalkan semua pakaiannya, dan hanya membalutkan handuk yang ujung kainnya jauh di atas lutut. Lalu dia mengatur waktu otomatis pada setelan kamera ponselnya.
“Oke, siap pose ya, cantik!” seru Fatma pada dirinya sendiri.
Fatma mengabadikan beragam gaya dalam galeri fotonya. Tak butuh waktu lama sampai semua foto itu pun berhasil terkirim ke ponsel Ibunya.
[Kalau orangnya mau, ya, kenapa aku harus nolak, Bu? Aku gak mau jadi anak durhaka, cukup jadi anak solehah saja.] Ujar Fatma di pesan terakhirnya.
..
Riyadh, Arab Saudi. 2022
Sarinah terbelalak ketika membuka rentetan pesan berisi foto yang diterimanya. Dia seperti tak menyangka bahwa Fatma bisa mengirim foto nakal seperti itu. Namun, Sarinah senang karena ternyata Fatma mau dijodohkan.
Sarinah meninggalkan sejenak pekerjaannya memasak di dapur keluarga sultan tempatnya bekerja. Lalu memilah-milah foto mana yang masih pantas untuk dia perlihatkan pada majikannya.
“Haduh, kalau lihat beginian, bisa-bisa Tuan Muda Omar langsung pingsan!” Sarinah menggerutu.
“Gak ada cara lain apa!” lanjutnya.
Setelah cukup lama memilah, Sarinah pun memilih satu yang menurutnya paling sopan untuk ditunjukkan. Foto terbaru yang pasti bisa membuat majikannya makin jatuh cinta.
Selesai menyiapkan makan malam, Sarinah pun menunggu sampai semua majikannya selesai makan. Omar Husein adalah pemeran utama yang paling dia nantikan, langsung saja saat tuan mudanya itu selesai makan malam, Sarinah memberi kode bahwa dia ingin bicara dengan Omar.
“Ada apa, Ibu?” tanya Omar dengan begitu ramah pada pelayannya.
“Tuan Muda, saya ingin menunjukkan foto terbaru Fatma, putri saya. Apa Tuan sibuk?” jawab Sarinah.
“Ah, sebentar saja, ya? Setelah ini saya harus pergi karena ada janji dengan teman.”
“Baik, Tuan. Sebentar saja. Di sini saja.”
“Baiklah.”
Sarinah bisa saja mengirimkan foto Fatma melalui pesan untuk Omar, akan tetapi Sarinah ingin melihat sendiri bagaimana reaksi Omar saat melihat putrinya.
Omar terkejut ketika Sarinah memperlihatkan foto Fatma, hingga Omar menutupi wajahnya karena malu.
“Tuan Muda, ini khusus untuk Tuan Muda saja, agar Tuan bisa benar-benar melihatnya,” jelas Sarinah.
“Ibu, Fatma tidak perlu sampai berfoto seperti itu,” sahut Omar dengan nada bicaranya yang super pelan.
“Putriku memang agak berani, Tuan. Tapi percayalah, dia hanya seperti ini untuk membuktikan pada Tuan.”
“Ibu, aku sangat mempercayai Ibu. Dan aku sudah melihat betapa cantik dan baiknya Fatma. Maka aku tidak ingin membuatnya malu. Katakan saja kapan dia bisa aku jemput.”
“Tuan Muda sudah yakin pada Fatma?”
“Bu, aku tidak suka main-main.”
“Kalau begitu, saya akan bicarakan nanti.”
“Baiklah.”
Sarinah kini merasa malu sendiri, harusnya dia tak perlu menunjukkan foto sexy Fatma pada Omar yang baik hati. Namun, dia juga terharu mendengar pernyataan Omar. Tak pernah sekali pun Omar bersikap merendahkannya.
..
Karena adanya perbedaan waktu, Sarinah merasa kesulitan untuk bisa bicara langsung di telepon dengan Fatma. Mereka harus janjian dulu agar bisa bicara, dan Fatma tak keberatan akan menunggu telepon dari Ibunya subuh ini.
Sudah hampir seminggu, Fatma tidak pulang ke rumah Ibunya. Rumah yang ditempati juga oleh Bibi dan sepupu-sepupunya. Seringnya terjadi kesalah-pahaman membuat Fatma lebih suka tinggal sendirian di kos-kosan yang baru dia sewa.
Kali ini dia pulang sebentar untuk mengambil beberapa pakaian. Dan sontak saja Bibinya merasa kesal karena Fatma datang dan pergi sesuka hati.
“Fatma, kamu mau ke mana lagi?” tanya Bibinya yang seorang janda dengan nada kasar.
“Ke kosan, lah,” jawab Fatma cuek.
“Mau sampai kapan kamu ngambek?” tanya Bibinya lagi.
“Sampai Bibi balikin semua uang kiriman Ibu bulan lalu!”
“Ya ampun, Fatma. Bibi Cuma pinjam sebentar, uang kalian juga masih banyak kan!”
“Masalahnya, Bibi juga sudah pinjam banyak! Kalau untuk kebutuhan keluarga sih, oke. Tapi ini, malah buat kasih makan buaya gak jelas!”
“Jaga ya, omongan kamu!”
“Bibi tuh yang harusnya jaga diri!”
“Kurang ajar kamu!”
Fatma membanting keras pintu kamarnya, lalu berlalu pergi keluar dari rumahnya sendiri. Dengan sepeda motor sekuter kesayangan hasil menabung uang kiriman dari Sarinah, Fatma kembali melaju menuju kos-kosan.
Motor terus melaju, membiarkan udara malam mengibas bebas rambut Fatma yang tak pernah panjang melewati bahu. Bibirnya dikatup keras, menyatakan tegas betapa Fatma tak menyukai sikap Adik dari Ibunya itu.
“Mereka keluarga kita, jangan sampai kamu membuat hati mereka terluka, Nak.”
Lagi-lagi nasihat Sang Ibu berusaha membuyarkan rasa kesal di pikiran Fatma. Meski cuek, Fatma tidak ingin Ibunya menderita selamanya.
“Dasar benalu gak tahu diri!” jerit Fatma. Membiarkan teriakannya lepas di jalanan dan hilang disapu malam.