8. Dilema James

1284 Kata
"Jadi pinjem motor gue buat jalan sama si Lusi?" tanya Faris. "Iya." Kuanggukkan kepala. Faris tertawa. "Lo ngetawain gue?" tanyaku sebal. "Selamat, James. Lo kena karma. Makanya enggak usah belagak boong segala kalo mau pinjem motor. Apes, 'kan?" "Puas lo ngetawain gue?" sungutku. "Ya, udah. Gue pulang sekarang. Takut kehabisan angkot. Good bye!" "Gud bay, Jamal, eh ... James!" . "Pestanya dibubarin? Kok, bisa?" Sari menautkan kedua alis. "Ada Satpol PP," jawabku asal. Perempuan yang tampak berusaha sekuat tenaga menahan kedua matanya agar terbuka itu menggaruk kepala, terlihat sangat kebingungan. "Buruan balik lu, Jem. Entar nangis lagi tuh bayi!" teriak Abah Jambrong. "Ya, udah. Abang pulang ya, Neng. Makasih banyak. Assalamualaikum," tandasku. Pergi segera membawa Boy dalam gendongan. Entar tuh Juragan Kontrakan teriak lagi terus nih anak bangun, 'kan berabe. Kurebahkan tubuh mungil dalam pelukan. Membenahinya agar merasa nyaman. Setelah Boy terlihat nyenyak, aku ikut merebahkan tubuh di sampingnya. "Sial banget hidup lo, Jem. Baru pertama kalinya diajak jalan ama cewek, eh ... tukang selingkuh. Berpotensi jadi pebinor lo, kalo beneran jalan ama si Lusi. Hadeuh. Tapi ngomong-ngomong, tuh cowok kok, masih mau pacaran ama si Lusi. Padahal udah tau ceweknya tukang selingkuh. Aneh. Ah, udah lah. Buat apa gue pikirin. Mikirin hidup sendiri aja udah mumet. Bener-bener pengalaman berharga, nih!" *** Suara benda jatuh, disusul tangisan. Berhasil membuatku terperanjat dari tidur lelap. "Astagfirullah, Boy!" pekikku. Anak itu menangis dalam posisi telentang. Segera aku raih tubuhnya, menggendong dan berusaha menenangkannya. "James, kenapa Boy nangis?!" teriak Teh Nurul dari depan rumah. Dengan cepat aku berjalan ke arah pintu. "Kenapa?" tanya perempuan itu lagi cemas setelah pintu terbuka. "Jatuh dari kasur, Teh," ujarku. "Ya Allah. Bagian mana yang jatuh duluan?" Dia meraih tubuh Boy. "Ku-kurang tau ... Teh. James lagi tidur, tau-tau nangis," terangku panik. . "Enggak apa-apa. Enggak ada cedera serius, Mbak Nurul," ucap perempuan bertubuh subur itu. "Enggak ada urat yang salah, Mak?" tanya Teh Nurul memastikan. "Enggak, kok. Percaya. Mungkin nangisnya karena kaget aja. Sakit biasa." Perempuan itu meyakinkan kami. "Ya udah, Mak. Semoga beneran enggak apa," tukas Teh Nurul. "Tapi ngomong-ngomong, ini anak siapa?" "Anak tetangga. Ini bapaknya," tunjuk Teh Nurul ke arahku. "Masih muda banget, ya." Kuanggukkan kepala seraya tersenyum. Senyum memilukan sebenarnya. "Nanti kalau bisa, bongkar aja ranjangnya. Tidurnya pake kasur yang digelar di lantai aja. Jadi kalau jatuh juga enggak tinggi-tinggi amat," saran perempuan yang katanya sudah biasa memijat bayi itu. "Hah, bongkar?" Aku melongo. "Iya, James. Bongkar aja ranjang kamu. Kayak Teteh. Teteh juga enggak pakai ranjang karena takut Syahid jatuh," ujar Teh Nurul. "Tapi 'kan, Teh ...." Aku terpaku. Dingin dong, kalau enggak pake ranjang. Setelah memberikan amplop yang sudah kuisi uang dengan jumlah seikhlasnya, aku dan Teh Nurul pulang dari rumah dukun bayi itu. Ckckck, nih bocah udah jajan aja lagi! . "Ini, kopinya, Bang." Sari menyimpan gelas di atas dipan tempatku beristirahat. "Makasih, Neng," ucapku. "Sama-sama." Sari menyahut sambil duduk. "Kemarin juga waktu tidur siang, hampir aja Boy jatuh. Ya, untungnya Sari cepet dateng ke kamar. Eh, tapi ternyata pagi ini beneran jatuh," sambungnya. "Iya, semalam Abang enggak kuat ngantuk. Biasanya sih, kalau dia udah mepet-mepet ke pinggiran kasur suka langsung Abang pindahin. Cuma kayaknya semalam kecapean banget, jadi enggak tau kalau dia udah tidur di pinggiran kasur. Padahal udah dihalangin sama guling di sebelah kanan, Abang sebelah kiri," terangku, seraya meraih gelas berisi kopi. "Ya, namanya guling, Bang. Beda lagi kalau ada yang jagain dua," ujar Sari. "Maksudnya?" Aku menautkan alis ketika hendak menyesap kopi. "Ma-mak-maksudnya, kayak Syahid gitu. Ada orang tua yang jagain," ucap Nurul diakhiri senyum, lalu merunduk, seperti menyembunyikan sesuatu di balik senyum itu. "Oh." Kuanggukkan kepala, lalu meminum kopi buatannya. Ya, karena kebetulan hari Minggu toko Abah Jambrong libur, akhirnya langsung saja aku bongkar ranjang di rumah. Menggantinya dengan tikar dan kasur saja. Hadeuh, enggak kebayang nanti malam gimana dinginnya. . Aku duduk di atas lantai, menatap laptop yang kusimpan di atas kasur. Wkwkwk, berasa aneh. Sedangkan Boy sedang asyik bermain bersama mainannya. Ponsel di atas meja berdering, berhasil membuatku mengalihkan perhatian. Aku pun merangkak saja untuk mengambilnya. Kang Kamil? Kedua mataku melebar melihat nama di layar ponsel. Oalah, aku sampai lupa. Ini 'kan sudah tanggalnya. Saking sibuknya kerja dan ngurusin Boy, sampai terlupa akan momen penting di setiap bulan. Apalagi uangku sudah sangat menipis sekali, setelah tadi pagi keberikan pada dukun bayi. Walaupun memang seikhlasnya, tetap saja jumlahnya cukup membuatku menepuk jidat. "Assalamualaikum," sapaku. "Waalaikumsalam. Sehat, Jamal?" "Sehat, Kang, " sahutku. "Akang gimana sama keluarga?" "Sehat. Ini Emak mau ngomong katanya." "Iya, Kang." "Assalamualaikum, Jamal. Gimana sehat?" "Waalaikumsalam. Sehat, Mak. Emak sendiri gimana? Sehat?" "Alhamdulillah, sehat." "Alhamdulillah." Lalu terdiam, menunggu kata-kata ajaib itu. "Jamal." "Iya, Mak." Aku menjawab dengan lembut dan penuh kesopanan. "Emak ...." "Iya." "Tidak bisa kirim uang buat kamu." "Terima kasih banyak, Mak. Eh, apa?" "Maaf, ada masalah di kampung. Ini benar-benar di luar dugaan, Jamal." "Lah, terus Jamal gimana kuliah sama bayar kontrakan?" "Nah, itu yang Emak cemaskan." "Ya, kalau cemas coba Emak cari cara biar--" "Eh, kalau Emak bilang enggak bisa, ya udah jangan maksa." "Kang Kamal? Mana Emak?" "Emak lagi sibuk. Ya udah, Akang tutup teleponnya. Wassalamualaikum." "Eh, Akang. Bentar." Kutatap ponsel yang sambungnya sudah terputus. Kucoba menelepon lagi, tapi ternyata sudah tidak aktif. Aih, tupai loncat! *** "Nah, ini gaji bulanan lu, Jemes." Abah Jambrong memberikan amplop padaku. Aku tersenyum lebar, membayangkan gaji pertamaku selama bekerja di toko."Makasih banyak, Bah." Aku meraihnya, lalu membuka segera. Melihat isinya, karuan saja kedua mataku terbelalak. "Loh, masa cuma segini, Bah?" "Iya, 'kan udah dipotong duit kontrakan sama biaya makan elu." "Apa? Makan?" "Iya. Setelah gue pikir-pikir, beras di rumah gue cepet abis." "Tapi, Bah. Itu 'kan Neng Sari yang kasih," sanggahku. "Lah, si Sari 'kan anak gue. Semua yang dia kasih ama elu, ya dari gue. " Akhirnya, aku terduduk pasrah di atas tumpukan kardus. Kalau cuma segini uang yang aku dapat, gimana kuliah sama ... s**u si Boy? . Kurebahkan tubuh di atas kasur. Menatap kosong ke arah langit-langit di atas sana. Membayangkan deretan pengeluaran bulan ini. Ongkos kuliah. Jajan. Rokok. Kopi. Susu. Makanan bayi. Diaper. Halah, ini kepala berada ada kincir angin di dalamnya. *** "Pulang kampung?" Faris membelalakkan kedua bola matanya. "Iya." Kuanggukkan kepala. "Lah, lebaran masih lama. Libur juga belom. Kok, lo pulang kampung?" Aku menghela napas. Memikirkan alasan yang tepat. Mana mungkin kukatakan jika Emak tidak mengirimiku uang, dan aku merasa penasaran atas apa yang terjadi padanya. "Emak lo sakit? Atau kakak lo? Siapa itu namanya? Kamaludin, ya?" Aku tersenyum kelu. "Ya udah, lo hati-hati, deh, ya. Kabarin gue kalo ada apa-apa," ucap Faris sambil menepuk pundakku. "Iya, pasti." Kuanggukkan kepala. . "Terus gimana kalau Abang pulang kampung?" Sari terheran menatapku. "Ya, naik bus, Neng," jawabku. "Bukan, maksudnya ... ini Boy." Sari menunjuk bayi dalam gendongannya. "Abang titip dulu, deh, ya. Paling cuma tiga atau empat hari." Sari terdiam sejenak. Lalu menganggukkan kepala. Aku pun tersenyum lebar. *** Pagi sekali aku sudah bersiap berangkat. Walau pun dengan ongkos pas-pasan, tapi tak apalah. Dari pada aku di sini dalam keadaan galau. Terdengar suara pintu diketuk. "Bang!" Aku berjalan cepat menuju pintu. "Eh, Neng Sari. Boy-nya belum bangun." "Bukan itu, Bang. Tapi ...." Aku menoleh mengikuti lirikan matanya. Tampak Abah Jambrong berjalan ke arah rumah kontrakanku dengan satu tangan memegang golok. Astagfirullah. Mau ngapain dia? . "Oek." "Hust, diem." "Oek." "Iya, panas. Bentar lagi busnya jalan. Diem, ya." Ya, seperti itu. Akhirnya aku pulang kampung membawa Boy karena Abah Jambrong tidak mengizinkan Sari untuk menjaga anak ini jika aku nekad pergi sendiri. Akhirnya, demi menemui Emak, kubawa saja Boy dalam gendongan. Walau sebenarnya sekarang pun aku malah bertambah gelisah. Aku sedang dilema. Bagaimana jadinya kalau Emak melihat aku pulang dengan membawa seorang anak? Oh, dunia. Kenapa kamu membuatku kebingungan begini? ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN