7. Malam Minggu Kelabu

1600 Kata
Bunyi pesan baru dari Messenger terdengar. Kurogoh ponsel di saku celana. Tersenyum ketika melihat siapa nama akun si pengirim pesan itu. Lusiana Oktaviani. Adik tingkat yang masih satu fakultas denganku. "Kak James, lagi apa?" tulisnya. Aku tersenyum. Bahagia rasanya, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Akhirnya, setelah sekian purnama menanti, dia membalas pesanku juga. "Lagi santai aja. Kamu lagi apa?" "Lagi diem-diem aja, Kak. Btw, Sabtu ini sibuk enggak?" Mataku berbinar membacanya. Begini kah rasanya ketika mendapat ajakan ngedate? "Enggak sibuk, kok. Ada apa memang?" balasku lagi. Berdebar rasanya daada ini. "Temenin aku ke acara ulang tahun temen SMA ya. Mau enggak?" Yes! Anugerah Illahi ini. "Boleh. Jam berapa memang?" tanyaku. Tanganku sampai tremor mendadak mengetik pesan itu. Maklum, baru pertama kali chat sebanyak ini sama cewek. "Jam tujuh malam, Kak." Aku memejamkan mata. Terbayang sudah malam Mingguku kali ini tidak kelabu. "Oiya, Kak James punya motor, 'kan? Kalau boleh tau motor apa?" tanyanya lagi. Apa? Motor? Aku berpikir sejenak. Punya Mas Rendi, motor gigi biasa. Punya Faris, motor matik. Ya Salam, mau pinjem motor siapa ini biar agak kerenan dikit? "Motornya lagi mogok, Dek. Paling pinjem motor temen. Motor matik," ketikku. Agak ragu ketika akan mengirimnya, tapi ya sudahlah, kita lihat dulu apa balasannya. "Ya udah, enggak apa, Kak. Yang penting bisa jalan. Ya udah, aku mau mandi dulu, ya. Sampai jumpa hari Sabtu nanti." "Ya, sampai jumpa juga." Aku meraba daada. Debarnya masih terasa. Mendadak jadi tak sabar menunggu hari Sabtu tiba. "Heh, Jemes. Senyum-senyum kenapa lu? Lanjutin itu bungkus terigu, bukan maen hape melulu!" Aku menoleh kaget, masih dengan tangan di daada. Kali ini debarnya bukan karena bahagia, tapi karena sengsara. "Abis bungkusin terigu beresin kas bekas telor ke belakang," perintah Abah Jambrong lagi. "Iya, Bah." Kuanggukkan kepala. Menyimpan ponsel di samping kaki. Elah, lupa. Gue 'kan lagi bungkusin terigu. Entar hape gue kena jatohan terigu lagi. Bahaya, dong! Akhirnya kumasukkan ponsel ke dalam saku celana lagi. . Matahari hampir tenggelam di peraduannya ketika aku merebahkan tubuh di atas dipan kayu, di depan kontrakan. Mengistirahatkan tubuh setelah bekerja di toko Abah Jambrong dari siang tadi. Ya, memang harus bagaimana lagi? Kurasa saran dari Sari memang adalah pilihan yang paling tepat untuk kondisiku saat ini. Aku butuh uang tambahan untuk biaya kuliah, s**u Boy, semua keperluannya, dan juga .... "Abang James, mau makan sekarang?" Perempuan itu datang membawa sebuah rantang makanan, bersama Boy dalam gendongannya. Aku bangkit segera, menatapnya disertai senyum. "Neng tau aja, kalo Abang lagi lapar," ujarku. Nah, ini dia. Biar enggak ngerepotin Sari melulu. Walaupun sebenarnya senang, tapi lama-lama malu juga. Udah ngurusin Boy, ngasih makan pula. Masa mau gini terus. "Abang 'kan pasti kecapean kerja dari siang," tukasnya. Lalu duduk tak jauh dariku. "Beruntung Boy ini bukan anak rewel. Bisa ditinggal kalo lagi asyik main sendiri. Jadi, Sari masih bisa tetep masak." Dia membuka tempat makan itu. Tampak lah seporsi nasi dan sayur asem, lengkap dengan ikan asin dan sambal, ada lalapan juga. "Wah, pasti enak ini," gumamku sambil mengusap perut. Namun ternyata gumamanku itu terlalu keras, membuat Sari tertawa. "Ya, udah. Abang makan aja dulu, sebelum Magrib dateng," ujar gadis itu. "Boy udah makan?" tanyaku sambil menatap bocah yang asyik sendiri dengan jemarinya. "Udah tadi, minum s**u juga. Makanya anteng." "Ya udah, Abang makan dulu, ya." "Iya, Bang." Sari tersenyum. "Ceilah, gayanya udah kayak keluarga kecil aja!" goda Bang Ali, tetangga sebelah rumah yang sepertinya baru pulang dari warung. "Emang keluarga besar yang kayak gimana, Bang?" selorohku. "Kalo besar anaknya tiga. Hahaha." "Makan, Bang," tawarku. "Ya, silahkan. Ikut nikmatnya." Lelaki itu pun masuk ke dalam rumahnya. Aku pun mulai fokus menikmati makananku. Sempat aku melirik ke arah Sari. Dia sedang senyum-senyum sendiri. Lama-lama gue jadi cemas sama dia. Entah kenapa sejak kehadiran Boy, dia kayak yang aneh gitu. Sering banget senyum-senyum enggak jelas. *** "James, langsung pulang?" tanya Faris ketika aku berdiri dari kursi setelah satu jam duduk mengingat salah satu mata kuliah. "Iya lah, langsung pulang. Kenapa emang?" tanyaku heran. "Nongkrong dulu, lah. Kayak minggu lalu," ajaknya sambil mengangkat dua alisnya. "Enggak, lah. Ngantuk gue. Pengen pulang trus tidur," tolakku segera. "Ah, elah. Lo mah tidur melulu, James!" "Ya normal, lah. Gue ini 'kan bukan ikan yang hampir seharian bisa melek. Ya udah, gue duluan, ya. Eh, iya. Jangan lupa. Entar malem minggu gue pinjem motor lo. Dadah!" Aku pun berlalu cepat dari hadapan Faris. Segera aku naik angkutan umum menuju toko Abah Jambrong yang terletak di jajaran kios pasar induk. "Nah, tuh. Si Jemes udah datang!" teriak Abah Jambrong. "Jemes, cepet bawain belanjaan si ibu nih ke mobilnya." "Ya, bentar, Bah. Lepas dulu kemeja," sahutku. Aku berjalan ke bagian dalam untuk menyimpan tas lebih dulu, lalu melepas kemeja dan meletakkannya begitu saja di atas tas. Kemudian menghampiri Abah Jambrong, menanyakan barang mana saja yang harus aku bawa. Beginilah pekerjaanku. Kadang membungkus terigu, menimbang minyak goreng, atau membawakan belanjaan pembeli untuk mengangkut menuju kendaraannya. Bagiku apa saja akan kukerjakan, selama mendapat gaji tentunya. . Jam delapan malam, ketika aku selesai meninabobokan Boy. Kusimpan botol s**u di atas meja, setelah yakin dia tidur nyenyak. Ah, bebas! Aku pun duduk segera, meregangkan tubuh yang sedikit pegal. Sebenarnya, jauh di dalam hati inginnya tidur saja, cuma karena tidak terbiasa tidur di jam segini, akhirnya kuputuskan untuk mempersiapkan baju buat malam Minggu besok. Yuhu! Aku berjalan menuju lemari, mengeluarkan beberapa kemeja terbaikku. "Ulang tahun cewek remaja. Biasanya, temanya ceria ini. Berarti kemeja warna biru kotak-kotak abu, nih. Cocok!" Aku tersenyum membayangkan besok malam. Kusimpan kembali kemeja ke dalam lemari. "Apaan, nih?" Aku terheran melihat sebuah kain yang coraknya tak kukenal, terhimpit di sudut lemari. Kuambil segera. "Elah, kaos si Boy ini mah," gerutuku. Kubentangkan kaos dan celana berwarna putih itu. Setelan yang dipakai Boy di malam bersejarah beberapa bulan lalu, di mana dia kutemukan berada dalam kardus di depan kontrakan. "Ckckck. Enggak kerasa, udah mau empat bulan aja tuh anak tidur sama gue. Nih, bajunya aja udah kagak muat." Aku menoleh ke arah anak itu. Menatap wajahnya sejenak. Kadang bertanya-tanya. Apa orang tuanya tidak kehilangan? Atau mungkin keluarganya? Apa anak ini tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini? Hidup sebatang kara begitu. Pernah beberapa kali aku iseng membuka situs di internet, mencari berita tentang orang hilang. Akan tetapi, tidak ada artikel yang menuliskan atas hilangnya bayi berusia lima bulan. Parahnya lagi, tidak ada jejak apa pun yang bisa aku jadikan bukti pada pihak kepolisian. Misal tas berisi baju, gelang atau catatan. Tidak ada satu pun. Jika memang begitu, apa memang Boy sengaja dibuang? "Boy ... Boy. Sedih gue lihat hidup lo Boy." Kusimpan kembali baju itu. Elah, kenapa mendadak jadi melodrama gini? *** Hari Sabtu tiba. Pagi sekali aku sudah mencuci baju, membereskan rumah dan menyuapi Boy. Berbunga-bunga sekali hatiku, sampai membuatku tak bisa berdiam diri. "Boy udah mandi, Bang?" Sari terheran melihatku yang sedang duduk bersama Boy di depan teras. "Udah, Neng," sahutku. Sari tersenyum, lalu duduk tak jauh dariku. "Boy, udah ganteng aja." Dipuji seperti itu, Boy meloncat-loncat dalam peganganku sembari tertawa. "Neng, sebenernya Abang mau minta tolong," ucapku setelah beberapa saat kemudian. "Minta tolong apa, Bang?" Sari menghentikan candaannya bersama Boy. "Nanti malam Abang mau ada keperluan. Bisa ... titip Boy dulu enggak?" Senyum di wajah gadis itu memudar. Keningnya penuh dengan kerutan. "Ke ... mana?" tanyanya dengan intonasi ragu. "Ada temen ngajak jalan." "Cewek?" tukasnya dengan nada tak suka. "Bu-bukan. Cowok. Ada temennya yang ulang tahun, minta dianter dia," ujarku setelah melihat wajah itu berubah cemberut. "Beneran cowok?" tanyanya lagi. "Iya, cowok. Kamu inget Faris 'kan, temen Abang yang pernah main ke sini. Nah, itu." Akhirnya kutambah saja kebohonganku. "Oh, iya boleh, Bang." Sari pun tersenyum kembali. Ah, leganya. "Ya udah, Abang ke toko dulu, deh, ya." Kuberikan Boy pada Sari. "Iya, Bang." Sari pun mengambil alih bayi itu. "Dadah, Boy." Kulambaikan tangan padanya. "Papapapapa." Anak yang itu malah berceloteh tak jelas. . Sehabis solat Magrib, aku sudah siap dengan tampilan terbaikku. Menyisir rambut, menambahkan pomade agar terlihat keren. Tak lupa parfum yang mungkin bisa membuat Lusi terpesona. Udah, lah. Keren lo, Jem! Akhirnya aku keluar dari rumah kontrakan, tak lupa mengunci pintunya. "Abang!" Aku menoleh. "Ya, Neng." "Mau jalan sama cowok kok, harum bener," tukas Sari. Wajahnya itu, persis kayak istri yang udah curiga ama suaminya. Dih. "Lah, harum itu 'kan perlu, Neng. Masa Abang bau asem, sih, di pesta nanti?" Sari terdiam. "Iya juga, sih," gumamnya kemudian. "Ya udah, Abang berangkat, ya. Assalamualaikum," pamitku segera. Takut dia bertanya hal yang lain lagi. . Aku menghentikan motor di depan sebuah rumah sederhana dengan tampilan minimalis. Rumah Lusi. Hehehe. Tanpa menunda waktu, kuketuk segera pintunya. "Ya, bentar." Terdengar suara menyahut dari dalam. Lusi muncul dari balik pintu. Memakai celana jeans dan blouse berwarna putih. Tampak cantik dengan rambut sebahu yang dibuat Curly. "Eh, Kak James ternyata." "Udah siap?" tanyaku. "Udah, kok. Tinggal berangkat. Ayo!" ajaknya. Yes! Kami pun melangkah bersama menuju halaman. Namun, saat itulah sesuatu yang tak terduga terjadi. "Lusi?" "Mas Deri?" Lah, siapa tuh cowok? "Siapa dia?" tanya lelaki itu. "Ini ... temen," jawab Lusi terbata. "Temen? Bukan selingkuhan kamu lagi, 'kan?" tuding lelaki bertubuh tinggi tegap itu. Dilihat dari tampilannya, sepertinya berusia lima tahun di atasku. "Bu-bukan, Mas. Saya kakak tingkat Lusi di kampus," belaku cepat. "Trus kalian mau ke mana? Enggak mungkin kalau cuma temen mau jalan di malam Minggu gini?" tuduh lelaki itu lagi. "Kamu kapan pulang? Kok, enggak telepon dulu." Lusi menghampiri lelaki itu lebih dekat. "Sengaja. Biar bisa lihat kamu jalan lagi sama cowok lain apa enggak. Ternyata bener, 'kan. Kamu mau jalan sama cowok baru lagi." Apa? Jadi si Lusi udah punya cowok. Asem! Apes lo, Jem! Malam Minggu lo emang harus kelabu terus. ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN