6. Tawaran Sari

1641 Kata
"James!" Aku berhenti berlari. "Lah, lo kesiangan juga, Ris?" "Bu Gina enggak dateng," sahutnya. "Apa? Jadi enggak ada kuliah dong kita hari ini?" "Ya, enggak ada." Aku menepuk kening. "Sompret! Gue udah lari-lari dari turun angkot sampe sini." "Gue udah nungguin dari setengah jam yang lalu," timpal Faris. "Lo tumben kesiangan?" "Oh, itu. Tadi angkot yang gue tumpangin mogok, bannya kempes. Mau pindah kasian, jadi malah bantuin si abang-nya ganti ban, deh!" ucapku. Padahal, aku ketiduran lagi habis solat Subuh. Gara-gara si Boy semalaman rewel. Menjelang subuh, barulah dia bisa tidur nyenyak. Eh, malah jadi aku yang kesiangan bangun. Untung aja dibangunin sama Sari. "Wuih, keren lo, Jem! Kalo gitu, berhubung enggak ada jadwal, gimana kalo kita nongkrong aja?" Aku mengusap rambut dari depan hingga belakang. "Gimana, ya?" Kuberikan ekspresi sedang berpikir. "Gue traktir, deh. Asal lo bawa gue ke tempat nongkrong paling asyik. Gimana?" tawar Faris. "Beneran?" tanyaku dengan sorot mata tak percaya. "Iya. Gue abis dikasih duit lebih. Sabtu Minggu kemarin 'kan gue jaga toko gantiin Bapak." Aku memutar bola mata. "Okelah," sahutku akhirnya. . "Pesen apa aja yang lo mau, Jem," perintah Faris. Gayanya udah kayak Bos aja, ckckck. "Gue mau roti bakar sama ice cappucino, deh!" pintaku. "Siap!" Faris pun memanggil seorang pelayan, lalu memesan menu untuk teman nongkrong kami. Sedang aku, memilih melayangkan pandangan ke sekeliling. Kafe masih terlihat sepi. Mungkin karena memang masih jam sepuluh pagi. "Hei, Boy!" Aku tertegun. Menoleh ke arah sumber suara. Seorang lelaki berpakaian parlente berjalan menghampiri seorang perempuan yang sedang duduk bersama anak laki-laki. Dilihat dari kisaran usia mereka yang sudah tampak tiga puluhan, pasti itu anaknya. "Papa! I miss you!" "Hei, My Boy. Papa juga kangen sekali sama kamu." Lalu tampak ayah dan anak itu bercengkrama, meluapkan kerinduan mereka. Sedang sang ibu hanya duduk memperhatikan suami dan anaknya sambil tersenyum senang. Tiba-tiba, aku teringat Boy di rumah. Sedang apa dia sekarang? Yang jelas, pasti sedang bersama Sari. Tapi, apa dia sedang bermain seperti biasa, atau menangis seperti semalam. Kuperhatikan keakraban ayah dan anak itu. Mereka tampak dekat sekali. Entah kenapa aku malah memikirkan nasib Boy. Kira-kira, apa Boy bisa mendapatkan sosok ayah yang sangat menyayanginya seperti itu? "James. James!" "Apa?" "Ngelamun aja lo. Liatin apa?" "Enggak." Kuluruskan kembali posisi badan. "Lo liatin pasangan suami istri itu?" "Kata siapa?" elakku. "Lo pengen punya istri, James?" "Ah, lo. Gue 'kan masih kuliah," sungutku. "Hahaha, ya kali aja lo minat jadi Papa Muda." Faris memegangi perutnya. "Elah, ngurus diri sendiri aja belom bener," dalihku. Kurogoh ponsel dalam saku celana. Memeriksa sekiranya ada pesan dari Teh Nurul, tapi ternyata tidak ada. Apa mungkin tuh anak udah anteng lagi, ya? "Permisi, ini pesanannya." Pelayan datang membawa seporsi roti bakar, pisang goreng crispy, dan dua gelas ice cappucino. "Makan, James," ucap Faris. Dia tampak lahap menikmati makanan dan minumannya. Aku meraih gelas, menyesapnya perlahan. Dering ponsel terdengar. Bukan dari milikku, tapi milik Faris. Dia tampak kesal menerima panggilan itu. "Halo, assalamualaikum, Bu," sapanya dengan logat medok Jawa. "Memang Ibu mau ke mana? Bapak juga? Yo wis, nanti Faris pulang langsung ke toko. Yo. Waalaikumsalam." Faris menyimpan ponselnya lagi ke dalam saku celana. "Punya nyokap sama bokap kok, ya ndak bisa lihat anaknya seneng dikit," gerutunya sambil memasuki ponsel. "Kenapa Ibu lo?" tanyaku sambil mengambil satu potong roti. "Mau ada keperluan. Suruh gue jaga toko lagi. Tau aja anaknya lagi nongkrong." Wajahnya terlihat kesal. "Oh." Kuanggukkan kepala beberapa kali. "Ya udah, James. Gue duluan, deh, ya," ujarnya sambil berdiri. "Apaan? Lo yang ngajak gue ke sini. Masa datang barengan pulangnya pisah," omelku. "Jadi lo mau sama gue terus?" "Ya, bukan gitu. Masa gue pulang naik angkot," protesku. "Lah, iya. Lupa. Ya udah, gue anterin sampe perempatan doang tapi, ya." "Nah, gitu, dong!" Aku pun meraih tas lalu berdiri. "Tapi, ini pisang goreng lo sama roti bakar gue belum abis, Ris." "Lo mau abisin?" "Bungkus, ya? Buat temen maen gapleh sama tetangga," pintaku sambil menaik-turunkan kedua alis. "Oke, lah. Demi lo, apa sih, yang enggak. Kalau perlu tambah lagi satu bungkus roti bakarnya." "Asyiap!" . "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Eh, udah pulang, Bang?" Sari tersenyum lebar. "Udah, baru sampai. Gimana Boy?" tanyaku sambil duduk di atas dipan tempatnya mengajak bermain Boy. "Udah turun panasnya, Bang. Ini, makannya udah mulai lahap lagi." Dia menunjukkan mangkuk kecil di tangannya. "Syukur, deh. Eh, iya. Ini, Abang bawa roti bakar buat Neng Sari." Kusimpan kotak makanan yang terbungkus plastik itu di sampingnya. "Roti bakar?" "Iya. Kebetulan tadi ... beli di jalan," ucapku. Sari tersenyum sambil menundukkan wajahnya. "Abang solat dulu, ya. Nanti ke sini bawa Boy." Aku berdiri kembali. "Abang," panggil Sari ketika aku baru menjejakkan kaki di tanah. "Iya. Ada apa, Neng?" Kuputar tubuh menghadapnya. "Sari masak ikan goreng. Abang suka?" "Suka banget. Apalagi pake sambel." "Kebetulan Sari bikin sambelnya juga. Kalau gitu, nanti Sari anterin deh, sekalian anterin Boy." "Okeh!" . "Nih, minum susunya. Cepetan tidur, gue ngantuk." Kuberikan ujung dot pada bibir Boy. Bayi itu langsung menyesapnya. "Jemes, buka pintunya!" Aku terkejut luar biasa, bahkan Boy yang sedang meminum susunya dengan cepat, tiba-tiba terhenti. Kedua matanya melebar, menatap ke sana ke mari. Hingga akhinya meluncurlah tangisan itu, bersahutan dengan suara teriakan dari luar. "Oek ...." "Jemes!" "Hwaa ...." "Buka pintunya!" Aku jadi kebingungan. Mana dulu yang harus kutenangkan. Akhirnya aku membawa tubuh itu ke dalam gendongan, lalu melangkah untuk membuka pintu. Tampak lelaki berwajah sangar itu menatapku tajam. "Eh, Abah. Ada apa bertamu malam-malam gini, Bah?" tanyaku sambil menepuk-nepuk punggung Boy. "Ada apa lu bilang? Masih berani lu nanya gitu," bentaknya. "Maksud elu apa nitipin duit kontrakan sama si Sari cuma setengahnya, hah?" Aku tersenyum pahit. "Bulan depan kurangnya ya, Bah," pintaku. "Apaan bulan depan? Kagak ada. Lu udah enak-enak nitipin anak lo sama si Sari, dikasih makan pula sama anak gue itu. Masih berani lu ngutang duit kontrakan? Kagak punya adab lu!" "Maaf, Bah. Uang James kepake buat beli s**u sama kebutuhan Boy. Kalau James kasih buat bayar kontrakan, nanti James kuliah gimana? Enggak ada ongkos, Bah." "Ya entu mah resiko lu! Anak-anak lu!" "Lah, Abah 'kan tau ini anak enggak tau punya siapa." "Abah!" Sari datang dengan tergesa. "Nah, tuh. Anak gue masih aja mau belain elu!" Aku masih menepuk punggung Boy sambil menggoyangkan tubuhnya. "Abah! Apa-apaan sih, malem-malem gini marahin Abang James? Malu, dilihatin banyak orang," tegur Sari setelah berdiri di samping ayahnya. "Si Jemes yang cari masalah sama gue. Kalo di enggak bikin gara-gara sama gue juga gue ogah ngabisin tenaga buat marahin dia," dalihnya. "Ya, 'kan bisa ditunda sampai besok. Dibicarakan baik-baik. Jangan pakai emosi gini, Bah. Mana Boy sampai nangis lagi." Sari menggerakkan kedua tangannya, hendak meraih Boy. "Udah, lu balik sana. Demen amat sama tuh anak kecil," cegah Abah Jambrong seraya menarik tangan Sari. "Pokonya kalo besok enggak lu bayar, awas lu, Jemes!" Lalu dia menarik gadis itu, membawanya pulang ke rumah. Aku menatap iba. Bukan pada Sari, tapi pada diriku sendiri. Ya Allah, gagal keren dah. Kayaknya gue bukan orang pilihan. *** "Aaa, makan dulu." Kujulurkan sesendok bubur bayi rasa kacang hijau pada Boy. Mulut itu terbuka lebar, lalu menutup kembali setelah melahap habis semua isi sendok. Bibirnya bergerak-gerak lucu mengunyah makanan dalam mulutnya. Setelah selesai makan, kumandikan Boy dengan air hangat. Walau sedikit kaku, tapi aku sudah pernah melihat bagaimana Sari memandikan anak ini. Jadi sedikit banyak aku tahu seperti apa caranya membasuh kepala dan tubuhnya. "Aaa!" jerit Boy. Dia tertawa senang ketika aku memasukkan tubuhnya ke dalam baskom berisi air. Lalu kedua tangannya menepuk-nepuk, membuat cipratan air membasahi wajahku. Aku ikut tertawa melihatnya. Terlebih ketika melihat dua gigi di gusi bawahnya. Lucu. "Udah, airnya udah dingin." Kuangkat tubuh montoknya, menutupinya dengan handuk. Segera aku bawa ke atas ranjang, mengeringkan seluruh tubuhnya. "Minyak telon apa bedak dulu, Boy?" Kuangkat kedua benda itu. "Cair dan bubuk. Kalau bedak dulu, entar hilang, dong, kena minyak," gumamku. Akhirnya kuputuskan mengusap seluruh tubuhnya dengan minyak telon. Kemudian menaburkan bedak di atas perut itu. "Wuih, keren lo, Boy!" pujiku setelah melihat dia memakai setelan baju berwarna biru tua. Kuangkat tubuhnya, mencium harum yang menguar dari tubuhnya. "Wangi," ucapku lagi. Bibirnya bergerak-gerak, seperti mengatakan sesuatu. "Apaan?" Kudekatkan telinga ke arah wajahnya. "Papapapa ... papapapa." "Lo manggil gue Papa?" Dia malah tertawa. "Dah, lo udah wangi, udah ganteng. Gue mandi dulu. Ngurus lo bikin gerah." Kusimpan tubuhnya di atas kasur. Selesai mandi, tampak Boy masih asyik berceloteh sendiri sambil mengemut jemarinya. Sesudah berpakaian lengkap, aku mengambil roti dan pisang goreng sisa kemarin siang untuk kunikmati sebagai sarapan pagi ini. Tak lupa, segelas kopi dan sebatang rokok sebagai pelengkap. "Abang." Aku menoleh. "Eh, Neng Sari." Dia duduk di tepian lantai teras. "Boy udah mandi?" tanyanya seraya menengokkan kepala ke arah dalam. Aku yang memang duduk bersandar di depan pintu hanya menganggukkan kepala. "Abang yang mandiin?" tanyanya lagi. "Iya. Kasian tadi habis makan pipinya belepotan." Kuberikan seulas senyum karena melihatnya yang tampak kecewa. "Maaf, ya. Tadi Sari nunggu Abah berangkat ke toko dulu. Makanya baru bisa ke sini," ucapnya penuh rasa bersalah. "Iya, enggak apa, Neng," ucapku. Lalu menekan ujung rokok yang sudah hampir habis hingga padam. "Neng mau ngopi?" tawarku, mengambil sepotong roti dari piring. "Enggak, Bang. Makasih," tolaknya. Aku tersenyum kecil diiringi anggukan kepala. "Bang, tadi pagi Sari udah bicara sama Abah." "Bicara apa?" "Soal ... uang kontrakan." "Oh, itu. Nanti sore, ya. Hari ini Abang mau coba pinjem sama temen," selaku. "Kalau Abang pinjem, nanti harus diganti. Abang pasti kesulitan lagi atur uang buat kuliah sama keperluan Boy." "Ya, enggak apa. Itu 'kan udah jadi tanggung jawab Abang," ujarku. "Mm, gimana ... kalau Abang kerja. Jadi Abang enggak usah andelin uang kiriman dari Emak terus." "Kerja apa?" Aku meraih gelas berisi kopi. "Kerja jadi pelayan di toko Abah." Mataku membeliak seketika, dan ... byur. Kopi di dalam mulut menyembur. Beruntung tidak mengenai Sari. "Jadi pelayan di toko Abah kamu?" tanyaku tak percaya. "Iya." Sari mengangguk. Ya, Salam. Itu sih, namanya mempertaruhkan nyawa di kandang singa! ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN