"Segini lima ratus ribu?" tanyaku tidak percaya sambil menyimpan kantong belanjaan di sudut kamar.
Kuperiksa kembali struk belanja di tangan. Enggak mungkin komputer salah ngitung. Ini mah lo-nya aja Jem, yang kelewatan. Mau-maunya beliin banyak s**u, botolnya juga, MPASI sama diapers buat itu bayi.
Hadeuh.
Aku menjatuhkan tubuh di atas kasur.
"Gimana entar gue kuliah? Duit ongkos sama jajan udah banyak kepake ini," gumamku.
***
Hari Sabtu. Jam tujuh pagi, Boy sudah selesai mandi. Sari yang memandikan dan memakaikannya baju. Semua baju Boy hasil turunan dari Syahid. Beruntung lah, segitu juga. Kalau tidak ada Syahid di muka bumi ini, maka aku akan lebih kerepotan memikirkan masalah bajunya.
"Ini makanannya, Bang. Disuapin ya, pelan-pelan tapi. Nanti tiap dua atau tiga sendok diselingin sama air minum. Jangan dulu dikasih s**u. Nanti aja kalau Boy ngantuk baru dikasih susu." Sari menyimpan mangkuk kecil berisi bubur bayi.
"Iya, Neng." Aku hanya bisa duduk pasrah melihat Boy yang sedang tengkurap sambil mengemut jemarinya.
"Ya udah, Sari mau nyuci dulu baju, ya. Udah numpuk banget. Abang kalau mau nyuci nanti tunggu Sari beres, biar ... kita gantian jaga Boy."
Aku menoleh. Sari sedang tersenyum menatap Boy. Gusti Allah, segitu sayangnya dia sama bayi itu. Sampai mesem-mesem sendiri.
"Iya, Neng. Enggak apa. Nanti mudah-mudahan tidur, biar Abang bisa nyuci," pungkasku.
Sari keluar dari kontrakanku, masih membawa senyum itu. Ckckck. Kuraih gelas berisi kopi, menyesap sisa rokok di tangan. Jarang-jarang, menikmati me time seperti ini. Cuma sayangnya terganggu gara-gara harus kasih makan itu bocah!
Setelah lintingan tembakau habis dan kopi di gelas tandas, aku masuk ke dalam rumah dan menghampiri Boy yang masih setia tengkurap di atas kasur. Oh, perlu diketahui. Walaupun merasa risih dengan keberadaannya, tetapi aku tetap menghargai dia sebagai bayi. Selama ini aku selalu merokok di luar rumah, tidak di depannya.
Kuambil mangkuk berisi bubur di atas meja, dan mulai menyuapinya. "Aaa, iya, bagus."
Boy mengunyahnya disertai tawa.
Kuberikan sendokan kedua. "Aaa, iya, pintar."
Boy lagi-lagi tertawa dengan kedua tangan bergerak naik turun.
Sendokan ketiga, mulutnya kembali terbuka lebar. "Aaa, iya, anak baik."
Boy tersenyum, lalu memasukkan jemari tangannya ke dalam mulut.
"Aduh, jangan masukin tangannya. Belepotan, 'kan!" seruku.
Kuambil sapu tangan yang sudah disiapkan Sari, menyeka wajahnya yang terkena bubur. "Hadeuh, penghormatan terbesarku untuk para bapak muda di luar sana, yang mau nyuapin anaknya."
Teringat pesan Sari untuk memberi selingan air minum. Kuraih gelas, memberikan tepiannya ke arah mulutnya. Mulutnya bergerak-gerak, seperti ikan yang kehausan. Lah, emang ada ikan yang kehausan?
"James, kasih minum kok, gitu!"
Aku berpaling. "Eh, Teh Nurul."
"Ya Allah, kamu kira ini bayi bisa neguk sendiri." Dia berjalan menghampiriku. "Pake sendok. Coba sini," pintanya.
Kuberikan sendok dan gelas padanya.
"Nah, isi sendoknya dengan air. Baru kasih sama dia. Tuh, bisa minum, 'kan," ucapnya.
Aku hanya meringis. "Syahid gimana sekarang, Teh?" tanyaku melihatnya yang datang sendiri.
"Lagi tidur, habis makan sama dikasih obat tadi," jawab Teh Nurul, lalu memberikan sesendok bubur pada Boy. "Wah, pinter ya, Boy. Makannya lahap."
"Teh, maaf, ya. Gara-gara ada Boy, Syahid jadi sakit," ucapku penuh rasa bersalah.
"Kamu ngomong apa, Jem. Kok, malah nyalahin Boy. Kita harusnya kasihan sama Boy. Kalau bukan kamu, Teteh sama Sari, siapa lagi yang urus anak ini?"
Aku terdiam mendengar ucapan Teh Nurul.
"Enggak habis pikir, orang tua macam apa yang tega menelantarkan anak selucu ini. Padahal di luar sana, banyak pasangan suami istri yang menantikan kehadiran buah hati di pernikahan mereka."
Jleb. Mendadak kaku bibirku. Tak sanggup berkata lagi.
"Kamu lanjutin kasih makannya, ya. Teteh mau nyuci dulu. Oh, iya. Sampai lupa, ini dot-nya udah ketemu." Teh Nurul memberikan sebuah botol s**u padaku. "Tadi pagi Sari bilang kamu cuma beli satu, pasti nanti butuh buat selingan kalau yang itu kotor. Udah dicuci tadi, tapi tetep tiap mau pakai rebus atau rendam pakai air hangat, ya."
"Oh, iya, Teh. Makasih." Aku menerimanya segera.
"Udah tau 'kan cara bikin susunya?"
"Udah, semalam Neng Sari udah ajarin."
"Ya udah, Teteh pulang dulu. Dadah, Boy." Dia melambaikan tangan pada bayi itu.
Boy hanya tertawa melihatnya.
Teh Nurul keluar dari rumah. Kebiasaanku memang tidak menutup pintu jika bukan sedang tidur. Terlebih sejak kehadiran Boy, hanya menjelang Magrib saja aku mengunci pintu.
Selepas kepergian ibu satu anak itu, aku menatap Boy. Wajah polos tanpa dosa, yang kerjaannya hanya tertawa saja. Bayi tampan berkulit putih dan berpipi tembam, dengan rambut hitam yang masih tipis.
Benar ucapan Teh Nurul. Kalau bukan aku, siapa lagi yang belikan dia s**u, makanan, dan diaper?
Jangan-jangan, aku ini orang terpilih, yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi malaikat di hidupnya?
Wuih, keren lo, Jem!
.
Setelah mencuci baju satu ember penuh, aku merebahkan tubuh di samping Boy yang masih terlelap. Kukira, tidak akan sebanyak itu. Ternyata, lumayan pegal mencuci baju anak kecil.
"Haduh, Boy. Baju lo kotor amat, bikin boros sabun cuci aja," gumamku.
Tiba-tiba, terdengar suara itu. Panggilan alam yang sedari tadi aku abaikan.
"Bentaran, ya. Badan masih lemes, nih." Kuusap perut yang sudah berdemo minta diisi.
Keadaan yang paling tidak sinkronisasi. Di mana perut dan tubuh saling bertolak belakang untuk rebahan.
Tok ... tok ... tok.
"Bang, tidur, ya?"
Suara itu?
Mata yang hendak terpejam dan raga yang semula ingin terbaring, otomatis bangkit seketika. Jiwa semangat berkoar.
"Iya, Neng." Kubuka pintu rumah.
Wajah itu tersenyum penuh cahaya. Ya, Cahaya Illahi. Jika aku adalah penolong Boy, maka Sari adalah penolongku. Apalagi setelah melihat mangkuk dan piring di tangannya.
"Ini, Abang pasti belum makan siang. Kebetulan Sari masak terong balado."
Kedua sudut bibir tertarik ke atas seketika. "Abang suka banget terong balado," ucapku. Padahal sih, apa aja suka. Selama Sari yang kasih.
"Ya udah, Abang makan dulu. Pasti capek abis nyuci."
"Iya." Kuterima sepiring nasi dan mangkuk berisi terong balado itu.
"Boy tidur?"
"Iya. Tadi habis makan main dulu, trus dikasih s**u dua botol. Akhirnya tidur, deh. Makanya Abang bisa nyuci," terangku seraya menyimpan makanan di atas tikar. "Neng, udah makan?" tanyaku.
"Belum. Udah, Abang duluan aja. Kalo gitu, Sari mau anterin makan siang juga buat Abah, deh."
"Iya, Neng. Makasih, ya."
"Iya, Bang."
Selepas gadis itu pergi, dengan segera aku mengambil sendok. Langsung mengeksekusi makanan di depan mata.
.
Jam sepuluh malam. Aku masih berusaha membuka mata lebar-lebar, menatap layar laptop di depan mata. Saking sibuknya seharian tadi, aku tidak sempat mengerjakan tugas untuk hari Senin. Lama-lama, berasa jadi Bapak Rumah Tangga yang juga memiliki kesibukan kuliah.
"Oek."
Aku menoleh. Boy menangis. Aduh, mengganggu sekali. Padahal dia baru saja tertidur sekitar jam delapan. Akhirnya aku bangkit dan meraih botol s**u di atas meja. Mencucinya lebih dulu karena habis dipakai. Setelah sebotol s**u siap, aku berikan segera.
"Hust, jangan nangis. Berisik. Ganggu orang tidur," ucapku seraya memasukkan dot ke mulutnya. Anehnya, Boy seperti tidak mau. Dia malah mendorong dot dengan lidahnya. "Ya ampun, apa mau sambil digendong?" ucapku sambil meraih tubuhnya.
"Astagfirullah, kok, panas." Sedikit terkejut ketika tangan ini menyentuh kulitnya. Kusimpan dot lebih dulu, meraba keningnya dengan punggung tangan. "Kenapa mendadak panas gini?"
Seketika aku panik. Bingung harus bagaimana, sementara Boy masih terus menangis.
Terdengar ketukan pintu dari luar.
"Se-sebentar," ucapku, membaringkan kembali Boy di tempatnya tadi. "Eh, Neng Sari," sapaku setelah membuka pintu.
"Boy kenapa nangis, Bang?" tanya Sari cemas.
"Badannya panas, Neng. Padahal tadi sebelum tidur enggak kenapa-napa," jawabku.
"Boleh Sari lihat?"
"Oh, iya." Akhirnya kubuka pintu lebih lebar, lalu memberinya jalan untuk masuk.
"Ya Allah. Iya, Bang. Ini mah panas banget. Bawa ke bidan aja, Bang."
"Iya, Neng."
Tanpa menunda waktu, aku dan Sari pergi ke rumah bidan terdekat. Beruntung Ibu Bidan itu mau meluangkan waktunya untuk memeriksa Boy meski dia sudah tidur.
"Cuma demam biasa," ucap Ibu Bidan setelah melepas stetoskop dari telinganya. "Berapa usianya?" tanyanya, kemudian duduk di kursinya.
"Enam bulan, Bu," sahutku yang duduk berhadapan dengannya, terhalang meja berisi tumpukan buku.
"Apa bisa cepat turun panasnya, Bu?" tanya Sari yang sudah menggendong kembali Boy setelah diperiksa di atas ranjang khusus pasien.
"Bisa. Tidak usah cemas," sahut Ibu Bidan disertai senyum. Lalu dia berbalik ke arah lemari kaca yang berisi banyak obat.
Aku dan Sari duduk menunggu, memperhatikan perempuan berjilbab hitam itu mengambil beberapa botol obat.
"Kalau bisa diberikan malam ini sebelum tidur, ya. Masing-masing seperempat sendok," ujar Ibu Bidan menunjuk tiga botol obat di atas meja.
Setelah mendengarkan keterangan dan beberapa nasihat dari Ibu Bidan, kami pun berpamitan pulang.
"Berapa semuanya, Bu?" tanya Sari.
"Seratus ribu rupiah," jawab Ibu Bidan ramah.
Sari menoleh ke arahku. "Seratus ribu, Bang."
Aku mengangguk diiringi senyum kelu, mengerti apa maksudnya. Akhirnya aku merogoh dompet di saku celana jeans. Membuka benda berwarna coklat itu, menarik selembar uang berwarna merah.
"Ini, Bu. Terima kasih, ya. Maaf, sudah ganggu malam-malam," ucapku diakhiri senyum getir. Berat rasanya, melepas uang itu. Terlebih ketika perempuan paruh baya itu mengambilnya dari tanganku.
"Sama-sama. Ini sudah pekerjaan saya. Mas dan Mbak pasti cemas sekali, apalagi jika ini pengalaman baru sebagai pasangan muda yang baru memiliki anak pertama."
Aku termangu mendengar perkataan Ibu Bidan itu, lalu menoleh ke samping. Sari hanya tersenyum malu. Bahagia banget dia disangka ibu dari Boy.
Kami pun pulang, menggunakan motor Mas Rendi yang sengaja aku pinjam.
"Makasih ya, Teh." Kuberikan kunci kontak motor padanya.
"Sama-sama. Mana sekarang Boy-nya?" tanya Teh Nurul.
"Lagi dikasih obat sama Neng Sari, Teh," jawabku.
"Oh, iya. Bayi umur segitu emang biasa panas mendadak, James. Enggak usah takut. Mungkin mau tumbuh gigi," tukas Teh Nurul.
"Hehehe, iya, Teh."
Dalam hati menggerutu. Bukan masalah panas mendadaknya, tapi ... itu duit udah melayang lagi.
Asem banget, dah!
*****
--bersambung--