ADNAN DAN AILEENA | 1

1018 Kata
Lagu milik seorang penyanyi papan atas yang tidak pernah hengkang dari popularitas mengalun dari ponsel butut pria yang sedang membersikan tempat tidur, mengisi rumah minimalis yang terlihat sangat elegan dan nyaman. “Cintaku kandas, cinta kini hilang tak berbekas,” pria dengan celana boxer kartun pororo dan kaus lusuh itu terus bernyanyi dengan kemoceng di tangannya. Adnan Alfarizi. Pria itu resmi menjadi bapak rumah tangga sejak satu tahun yang lalu. Sejak menikahi Aileena Razeta Abdilah, seorang wanita karier super sibuk yang jarang sekali ada di rumah. Sudah setahun sejak Adnan menikah dengan Aileena namun tidak ada perkembangan apapun dalam hubungan mereka. Mereka tinggal dalam satu rumah dan tidur dalam satu kamar namun kasur yang berbeda. “Berasa tidur di asrama,” celetuk Adnan. Setelah selesai membereskan kasurnya dan kasur Aileena sedangkan sang ibu bos yang Adnan juluki sebagai wanita super itu sedang membersihkan diri di kamar mandi. Adnan melangkah keluar dengan kemoceng kesayangannya. Rutinitas Adnan setiap bangun tidur adalah membersihkan tempat tidur, memasak, membersihkan rumah dan melanjutkan skripsinya yang tidak kunjung di acc oleh dosen pembimbingnya yang super sibuk. Adnan di kenal sebagai mahasiswa abadi, bahkan di usianya yang sudah menginjak 24 tahun Adnan belum juga mendapat gelar S1. “Ai, sarapan dulu,” ucap Adnan ketika melihat Aileena menuruni tangga dengan buru-buru, Aileena sudah terlihat sangat rapi dengan setelan formal dan tas yang Adnan yakin harganya selangit. “Nggak usah sok romantis, ai…ai,” ucap Aileena. “Aku nggak sok romantis, Ai, itu kan nama kamu, Aileena,” jawab Adnan. “Oh… udah berani ngealawan, bagussss!! Nanti malam kamu tidur di sofa!” seru Aileena dengan sadis, Adnan berdiri dengan kaku di hadapan wanita itu. “Maaf, Bu,” ucap Adnan dengan penuh hormat. Aileena hanya diam, meringis menatap penampilan Adnan yang terlihat berantakan. “Aku berangkat, kamu jangan lupa kunci pintu dan kunci gerbang kalau keluar rumah,” ucap Aileena kemudian pergi begitu saja dari hadapan Adnan. Adnan mengusap dadanya dan diam-diam bernapas lega ketika tidak lagi mendengar suara high heels Aileena yang beradu dengan marmer. Setiap bertemu dengan Aileena, Adnan merasa bertemu dengan malaikat kematian. Hawa Aileena sangat menyeramkan. “Alhamdulillah, waasyukurillah, bersyukur Aileena dah berangkat kerja,” Adnan mulai bernyanyi sesuka hatinya, kini pria 24 tahun itu sibuk mengepel lantai rumah. Adnan Alfarizi benar-benar bapak rumah tangga yang sangat bisa diandalkan. “Istri cantik alhamdulillah, untuk di pajang di profil WA, nggak ada Aileena, Adnan sengasara, tak punya uang untuk bayar kuliah,” pinggul Adnan berlenggok heboh, sesekali dia memutar tongkat pelnya di atas kepala dan kembali bernyanyi seolah dia adalah penyanyi papan atas. *** Adnan menatap hampa ke arah layar laptop yang menampilkan skripsinya yang malang, skripsinya yang tidak pernah mendapatkan respon positif dari dosen pembimbingnya. Bosan dengan layar laptopnya, Adnan beralih pada layar ponsel bututnya, mengecek online shop-nya. Berharap ada pelanggan yang membeli sepatu yang Adnan jual, namun tidak ada satupun. Bahkan dalam bulan ini belum ada yang memesan sepatu padanya, bulan lalu ada satu pasang sepatu yang laku, keuntungnya hanya bisa untuk membeli seikat sayur bayam dan berakhir di tong sampah karena rasanya yang membuat orang tidak bisa berkata-kata. Sangat asin. Adnan tahu kenapa Aileena tidak pernah mau memakan masakan yang Adnan buat, rasanya memang tidak layak untuk di makan. Beralih dari ponselnya, Adnan kembali membuka laptopnya. Mencari berbagai resep masakan dan cara mengolahnya. Satu lagi yang Adnan syukuri, di rumah Aileena di sediakan wifi dengan kecepatan turbo hingga Adnan tidak perlu repot-repot minta di belikan kuota pada Aileena. Setelah mencatat bahan dan cara mengelola gulai ayam, Adnan bergegas membereskan kekacauan yang dia buat di ruang tamu. Jika Aileena tahu rumah berantakan, wanita itu ada berubah menjadi siluman macan betina, wajahnya menyeramkan seolah siap mengantar Adnan ke neraka. Senyum Adnan mengembang meilhat kotak berwarna putih bergambar kartun pororo yang sempat Adnan beli di tukang perabot serba goceng atau lima ribu rupiah. Kotak itu bukan kotak sembarangan. Adnan mengambilnya dengan hati-hati seolah dia sangat mencintai kota itu. Senyum Adnan semakin sumringah ketika kotak itu terisi penuh oleh uang berwarna biru dan berwarna merah. “Bu Aileena memang sultannya tidak kaleng-keleng,” celetuk Adnan, dia mengambil selembar uang berwarna merah dan selembar berwarna biru. Aileena memang selalu meninggalkan uang di kota itu dan meletakkannya di atas kepala kulkas. Aileena mengatakan, Adnan bebas menggunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Adnan semakin yakin kalau Aileena itu adalah wanita super yang dikirim Tuhan untuk mendampingi Adnan yang penuh kekurangan dan tidak luput dari dosa. Adnan Alfarisi: Ai, aku mau berangkat ke pasar, kamu mau nitip apa? Adnan menatap ponselnya sebentar, memastikan pesan itu terkirim pada Aileena dengan sangat baik dan sukses. Adnan menatap penampilannya sekali lagi, memastikan jambul katulistiwanya baik-baik saja, kaus lusuh yang sudah dia beli dari tiga tahun yang lalu, celana jeans yang warnanya sudah pudar dan sendal jepit kecintaan seluruh umat. Merasa tidak ada yang kurang dari penampilannya Adnan bersiul sambil memaikan kunci motor peninggalan kedua orangtuanya, motor Astrea itu melaju membela jalan raya. Sesekali mata Adnan kelilipan karena helmnya yang sudah tidak memiliki kaca. Adnan memarkirkan motornya, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana, senyum Adnan mengembang ketika melihat nama Istriku adalah sumber cuanku menghiasi layar depan ponselnya. Istriku adalah sumber cuanku: Jangan lupa kunci rumah dan gerbang, aku nggak mau kejadian bulan lalu ke ulang lagi. Kemalingan lagi, aku usir kamu! Istriku adalah sumber cuanku: Jangan malu-maluin di pasar! Jangan pakai cincin nikah keluar rumah! Kalau di tanya udah nikah jawab aja sudah! Kalau di tanya istrinya gimana jawab aja, Alhamdulillah! Istriku adalah sumber cuanku: Aku nitip pir hijau sama lemon. Pilih yang segar! Adnan diam-diam menarik napasnya, khas Aileena sekali. “Ck, terlalu bertele-tele, langsung keintinya aja kenapa sih, Beb,” ucap Adnan sambil melirik ke kiri dan ke kanan memastikan dia hanya seorang diri di parkiran. Adnan Alfarizi: Siap bu. Setelah membalas pesan dari Aileena dan Adnan kembali menyimpan ponselnya di saku celana sebaik mungkin kemudian dengan ekspresi wajah yang benar-benar sangat ringan Adnan langsung melangkah memasuki pasar. Adnan akan mulai beperan sebagai bapak-bapak yang ahli sekali menawar sayuran sampai harga paling murah. Kalau dipikir-pikir itu juga salah satu kelebihan Adnan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN