Tantangan 100 Hari : Pertemuan Pertama dengan Manusia Es
Namanya Kamil – dalam bahasa Arab artinya "sempurna", dan rupanya itu cocok banget. Kelas XII Akuntansi III di SMK Garuda, berparas tampan dan ramah ke semua orang. Tak heran cewek-cewek sekolah menyebutnya "pria idaman" yang selalu bikin hati berdebar.
Dia punya sahabat setia bernama Rivan, sudah bersahabat sejak SD sampai sekarang. Kemana-mana selalu berdua, kayak magang satu paket. Kala itu, mereka baru saja tiba di halaman sekolah. Tak lama, sapaan dan senyum dari para cewek mulai menyergap Kamil.
"Hi, Kamil!"
"Hi.." balas Kamil dengan senyum lembut.
"Hi Kamil, mau coklat?" seorang cewek dengan wajah malu-malu menyodorkan bungkus coklat.
"Boleh, thanks." Kamil mengambilnya.
"Tuh, buat gue ya!" Rivan langsung meraih coklat itu tanpa ragu.
"Iya deh, sini." Kamil menyerahkan dengan wajah pasrah.
"Kayaknya banyak banget cewek yang suka sama lo, tapi kok lo tetep jomblo sih?" ejek Rivan sambil membuka bungkus coklat.
"Emangnya lo punya pacar?" Kamil berbalik meledek.
"Ya punya dong!" Rivan cengar-cengir banget. "Pacar gue di kelas sebelah. Emangnya gue kaya lo, banyak yang suka tapi nggak ada yang nyantol satu pun?"
"Ya gimana ya, Van. Bukan gue nggak mau punya pacar, tapi belum ada yang bikin gue jatuh cinta banget. Mereka cuma sekedar suka aja, nggak lebih dari itu." jelas Kamil sambil mengangguk.
"Ya juga ya. Eh, ke kantin dulu yuk! Gue belum sarapan nih, laper banget!" ajak Rivan.
"Ih, kebiasaan deh lo. Kalo mau sekolah, usahain sarapan duluan dong biar nggak laper di kelas."
"Hustt!!" Rivan langsung memotong bicara. "Ceramahnya nanti aja di masjid. Sekarang ke kantin dulu, keburu jam masuk!" Segera dia menarik lengan Kamil pergi ke kantin dengan paksa.
"Sabar dong, Van! Jangan tarik tarik gitu!" Kamil menangis- menangis kayak main.
Di kantin, Rivan langsung melesat ke kasir buat pesen makanan. Entah kenapa, dia lebih suka sarapan di sekolah ketimbang di rumah – padahal dia anak orang kaya, rumahnya pasti ada masakan enak. Berbeda dengan Kamil, yang ayahnya cuma pekerja kantoran biasa.
"Ibu, Rivan mau nasi uduk satu porsi sama teh manis hangat!!" teriak Rivan sembari melambai.
"Siap! Den Kamil yang kasep ini, mau pesan apa ya?" tanya ibu kantin dengan senyum ramah ke Kamil.
"Ibu bisa saja, Kamil udah sarapan di rumah bu. Tapi boleh deh, pesan teh saja. Sekalian nungguin Rivan makan – ibu tahu sendiri, dia kalau makan lamanya minta ampun." Kamil tertawa kecil.
"Siap, laksanakan!" Ibu kantin langsung bergegas menyiapkan pesanan. Sementara itu, Kamil dan Rivan nyari tempat duduk yang kosong.
"Kamil, dengarkan gue baik-baik. Makan itu harus diresapi, dihayati lho! Biar rasanya enak, nikmat, dan mendarat di perut dengan selamat." jelas Rivan dengan nada serius yang bikin lucu.
"Iya, tuan. Tapi kalo kelamaan juga nggak baik – keburu bel masuk, di hukum baru tahu rasa!"
Rivan tertawa cekikikan. "Iya deh, kali ini gue cepetin."
Beberapa saat kemudian, pesanan mereka dateng. Pas lagi menikmati teh dan nasi uduk sambil ngobrol sembarangan, tiba-tiba datang empat cewek cantik dari kelas XII Akuntansi II: Titah, Ayunda, Hawa, dan Inggit.
Di antara mereka, ada satu yang dikenal sebagai "si paling dingin" di sekolah. Dijuluki manusia es, batu es, bahkan "kulkas dua pintu berjalan" – ya, Titah Kesumawardani.
"Mil, anak kelas sebelah keren-keren ya!" puji Rivan sambil melirik mereka. Sementara Kamil cuma fokus main ponselnya.
"Menurut lo yang mana yang cantik?" tanya Rivan dengan suara pelan.
"Enggak ada yang cantik di sekolah ini mah."
"Lihat dulu lah!" Rivan langsung menengokan kepala Kamil.
"Van, sakit tahu!" ringis Kamil, lalu lihat mereka sebentar. "Udah gue bilang, nggak ada yang cantik. Yang cantik cuma si Demplon gue, titik!"
"Ya jangan bandingin sama motor bebek lo yang ngarang itu deh." Rivan memonyongkan bibir.
"Menurut gue, mereka itu cantik, style-nya oke juga. Apa lagi siapa tuh namanya – gue lupa." Rivan mengingat-ingat (dia memang nggak terlalu kenal anak kelas lain, kecuali Tasya pacarnya).
"Oh, iya! Titah namanya!" cetus Rivan teringat.
"Titah? Yang mana?" Kamil tanya, lalu lihat mereka lagi.
"Yang di pojok kanan. Tapi sayang, dia katanya orangnya dingin banget – kaya kulkas yang lagi nyala full."
"Ah masa sih?" Kamil kaget, kayaknya nggak percaya.
"Iya, kata anak sekelasnya. Semua orang pada bilang begitu. Gabisa bayangin kalo dia punya pacar – pasti pacarnya makan hati terus, karena selalu di cuekin." jelas Rivan sambil tertawa.
"Ya sudahlah, nggak usah bahas mereka. Kita nggak kenal juga, nggak penting. Yang penting sekarang – gimana caranya gue beli bahan buat modifikasi si Demplon? Dia mau gue bikin kayak motor baru lagi, tapi tabungan gue kurang banget, Van." Kamil meringis.
"Gue ada ide!" Rivan tiba-tiba bersemangat.
"Ide apa?"
"Lo pengen beli semua keperluan buat renovasi si Demplon kan?" Rivan berbalik ke Kamil.
"Ya pengen banget! Gue pengen lihat si Demplon tambah cantik."
"Gue bakal beliin semuanya, GRATIS. Tapi gue punya syarat buat lo." ungkap Rivan dengan wajah serius.
"Serius lo? Mau beliin semua yang gue butuhin?" Mata Kamil langsung membulat girang.
"Ya serius dong!"
"Oke deh, apa tantangannya?" Kamil udah nggak sabar.
"Gue tantang lo buat taklukkin hatinya Titah dalam waktu tertentu." jawab Rivan, bikin Kamil terkekeh.
"Van, tantangan apaan itu? Jangan bercanda deh."
"Gue serius, Mil. Soalnya gue penasaran aja – sedingin apa sih dia itu?"
"Ya kali gue harus deketin dia – eh, dengerin ya Van, biasanya cuma cewek-cewek yang deketin gue." Kamil bicara sedikit angkuh.
"Ya enggak apa-apa, sekali-kali berhadapan sama manusia es batu itu hehe. Nenek gue bilang : maju terus, pantang mundur! Eh, Mil.."
"Apaan?"
"Daripada lo jomblo terus kan?"
"Em, bahasnya jomblo terus ya."
"Biarin wleekk!" ejek Rivan. "Elo kan ganteng, masa nggak berani? Cewek-cewek lain pada ngefans sama lo, masa Titah satu aja nggak bisa? Hu.. cemen banget!"
"Em.. berapa lama waktu nya?" tanya Kamil, kayaknya udah mulai ragu-ragu.
"Seminggu ya?"
"Apaan, nggak! Mana ada pdkt seminggu berhasil."
"Emm.. 100 HARI deh! Sudah itu, 3 bulan lebih – cukup kan!" cetus Rivan.
"Gimana ya?" Kamil merenung.
"Nggak harus jadian, Mil. Cukup lo bisa bikin dia ngomong 'Kamil yang ganteng, gue suka sama lo' – gitu aja!" Rivan terus membujuk.
"Bener ya? Nggak harus jadian?" Kamil memastikan lagi.
"Iya, deal?" Rivan mengulurkan tangan.
"Kalo gitu, oke – DEAL!" Kamil menjabat tangan Rivan dengan tegas. "Gue terima tantangan dari sahabat gue yang ngeselin ini – demi si Demplon!"
"Dimulai besok ya!"
"Oke! Ayo ke kelas, sepuluh menit lagi masuk!" ajak Kamil sambil berdiri.
"Ayok!"
Bel masuk berbunyi keras, para siswa langsung berhamburan masuk kelas masing-masing. Segera setelah itu, guru yang dikenal tegas dan dijuluki "killer" masuk – Pak Gatot. Tidak lama, diikuti seorang siswi perempuan. Siapa lagi kalau bukan Titah, yang membantu Pak Gatot membawakan buku paket materi.
"Titah, makasih ya." ucap Pak Gatot.
"Iya pak, sama-sama." jawab Titah dengan nada datar.
"Mil, mil! Tuh!" bisik Rivan sambil menunjuk diam-diam.
"Ekhemm!" Kamil dehem memberi kode agar Rivan diam.
Tapi Titah tidak menghiraukannya sama sekali – dia langsung bergegas keluar menuju kelasnya sendiri.
"Kenapa, Kamil?" tanya Pak Gatot melihat Kamil yang seolah-olah mau ngomong.
"Eh, enggak pak. Kayaknya tenggorokan saya agak kaku. Boleh ke toilet sebentar nggak pak?" Kamil meminta izin dengan cermat.
"Boleh, tapi jangan lama-lama ya!" pesan Pak Gatot.
"Gasken, mil!" Rivan tertawa cekikikan.
"Do'ain gue!" sahut Kamil lalu langsung keluar.
"Siap!" Rivan memberikan jempol, tapi langsung diam ketika Pak Gatot melihatnya tajam.
"Kenapa, Rivan? Kirain kamu mau ikut juga ke toilet?" ucap Pak Gatot.
"Enggak, pak!" Rivan menggeleng cepat.
"Pemanasan dulu ah!" gumam Kamil sambil berjalan cepat. Dia melewati Titah yang juga sedang berjalan, lalu sengaja menjatuhkan pulpennya di depan kaki Titah.
Kamil memperlambat langkah, berharap Titah akan memanggilnya, mengambil pulpen, dan mengembalikannya – jadi dia bisa mulai perkenalan. Tapi ternyata, harapan hanya harapan. Titah malah melangkah melewatinya begitu saja, meskipun Kamil yakin dia melihat pulpen itu. Bahkan, dia berjalan makin cepat menuju kelasnya.
Setelah Titah tak terlihat, Kamil mengambil pulpennya dengan kesal. "Yah, gue kira dia bakal manggil gue atau ngambilin. Terus balikin, kan itu hal biasa buat manusia?" dia bertolak pinggang, bingung. "Eh, pulpennya jatuh tuh! Gitu kan seharusnya?"
"Kayaknya emang es batu beneran deh orang itu. Duh mampus, gagal deh. Gimana ini, ngerenof si Demplon?" Kamil merenung, mulai ragu bisa menyelesaikan tantangan Rivan.
****
Pagi yang cerah menghiasi hari itu – cahaya matahari menyebar melalui celah jendela. Ini adalah hari pertama Kamil menjalankan tantangan. Seperti biasa, dia bangun dan bersiap sekolah, tapi hari ini ada perubahan kecil : dia sengaja merapikan penampilannya agar lebih tampan di mata cewek jutek itu.
Kamil olesi minyak rambut sampai rambutnya rapi, lalu mengenakan jaket kulit hitam favoritnya. Dia berdiri di depan cermin, memuji diri sendiri. "Ganteng juga gue ya, nggak malu-maluin kalau jalan bareng. Cewek jutek itu lama-lama pasti suka juga! Oke, kemarin cuma pemanasan doang. Mungkin dia kemarin buru-buru, nggak sempet ambil pulpen. Hari ini kita beraksi! Semangat Kamil, demi si Demplon motor kesayangan!"
"Kamiiiill.... Sudah jam berapa ini, ayo turun! Sarapan dulu!"
Suara dari lantai bawah memanggilnya – itu Pak Galih, ayahnya. Sejak kecil, Kamil tinggal sama Pak Galih saja di rumah yang tidak terlalu besar tapi asri, penuh tanaman hias yang selalu dibersihkan Pak Galih dan kakak sepupunya.
Pak Galih pernah cerita : ibunya Kamil sudah meninggal sesudah dia lahir, jadi Kamil tak pernah mengenal figur ibu. Pak Galih bekerja sebagai pegawai kantor pajak, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus – tapi dia tak pernah mengeluh. Bagi dia, Kamil adalah segalanya, dan masa depan Kamil harus selalu cerah.