Siapa Dia?

1368 Kata
Seperti rencana keduanya, setelah pulang dari studio Yoovan, Clara dan Jeo menuju kediaman Clara. Dan saat ini, mobil Jeo sudah berhenti tepat di depan rumah Clara. "Itu bukannya mobil pipi Adit ya Ra?" Tanpa babibu, Clara langsung keluar mobil dan mengabaikan pertanyaan Jeo. Dia mau cepat-cepat bertemu pipinya. Tidak tinggal diam begitu saja, Jeo pun ikut turun dari mobil. Feelingnya merasakan akan ada suatu hal yang kurang menyenangkan. "Assalamu—" salam Clara terhenti begitu melihat ada seorang wanita tengah duduk di ruang tamu, dan dia tidak mengenalnya sama sekali. "Kamu siapa ya?" tanya Clara dengan nada sinisnya, walaupun panggilan yang dia gunakan tetap aku-kamu, tapi nada bicaranya tidak bisa biasa saja. Wanita yang ditanya Clara sontak bangun dan menunjukkan senyum lebarnya, "Kamu Clara ya?" Bukannya menjawab Clara malah melenggang begitu saja seraya meneriaki pipinya. "Pi, Pipi di manaa? Ara pulanggg," teriak Clara, kakinya melangkah ke kamar utama yang mana merupakan kamar kedua orang tuanya. Tangannya mengambang sempurna ketika mau membuka pintu di depannya. Wajahnya langsung pucat pasi, bahkan tangannya ikut gemetar. Detik itu juga, Clara langsung berlari keluar rumah. Jeo yang duduk di teras, kaget melihat Clara berlari keluar rumah. Ponsel yang baru saja mau dia keluarkan dari saku, dia masukkan kembali dan ikut berlari menyusul Clara yang sudah masuk ke dalam mobilnya. Ketika dirinya ikut masuk ke dalam mobil, Jeo kaget bukan main. Clara, adik sepupunya tengah menangis tersedu-sedu. "Hei, what's wrong Dek?" tanya Jeo sangat lembut. Bukannya berhenti menangis, tangisnya malah semakin paran ketima mendengar pertanyaan Jeo. Langsung saja, Jeo membawa tubuh Clara ke dalam pelukannya. Jika Clara seperti ini, yang dibutuhkan memang bukan pertanyaan, melainkan pelukan yang menenangkan. Tanpa mengatakan apapun, Jeo mengelus punggung Clara. Membiarkan adiknya menumpahkan emosi di dalam dirinya. Ketika tidak ada lagi suara tangisan, Jeo memundurkan badan Clara. Kedua tangannya menyapu sisa air mata Clara yang masih tersisa di kedua pelupuk matanya. "Mau cerita?" Clara langsung menggeleng, dia kembali menyenderkan tubuhnya disandaran jok mobil, "Langsung ke markas aja Je," ucap Clara tanpa menatap Jeo lagi. Hatinya masih tidak karuan, dia sendiri sebenarnya masih ingin menangis dan menumpahkan emosi. Jeo menurut, dia langsung menghidupkan mobilnya dan menancap gasnya menuju markas. **** "Si adek belum keluar dari kamar?" tanya Mahes seraya ikut bergabung di sebelah Jeo yang asik dengan playstationnya. Tentunya Jeo tidak sendiri, ada Kevin sebagai lawan mainnya. Jeo hanya merespon dengan gelengan kepalanya. Fokusnya masih dengan game di depannya. Kevin menyeringai begitu tahu kalau sedikit lagi, Jeo pasti kalah dan berujung merajuk. Benar saja, suara bantingan terdengar. Jeo membanting konsolnya dan langsung menghadiahi lemparan bantal ke arah Kevin. Mahes memutar kedua bola matanya dengan malas. Pertengkaran yang selalu ada. Kevin dan Jeo dijadikan satu ketika main game, Mahes yakin pasti tidak akan berjalan mulus. "Assalamu'alaikum." Mendengar suara salam dari depan, Kevin dan Jeo langsung menghentikan pertengkarannya. "Lanjutin, kenapa udahan berantemnya?" Jeo dan Kevin langsung diam, kepalanya menunduk tidak berani menatap siapa yang bertanya. "Bawa apa Mas?" tanya Mahes melihat Varo membawa sesuatu ditangannya. Varo memberikan kantong plastik yang dia bawa ke Mahes, "Siapin buat makan malem Hes." Mahes mengangguk dan melaksanakan apa yang masnya suruh. Varo memilih duduk di sofa, tepatnya tempat di mana Mahes duduk tadi. "Je, pijitin gue dong. Pegel banget pundak gue." Jeo mengangguk dan menuruti apa yang masnya katakan, "Adek belum juga keluar kamar?" tanya Varo yang dibalas gelengan kepala oleh Jeo. "Aku juga ngga tahu kenapa Mas. Pokoknya pas nyampe rumahnya pipi, dia masuk ke dalem rumah. Aku nunggu di teras, mau masuk di ruang tamunya ada orang. Yaudah aku nunggu si adek di teras." Merasa terpancing, Kevin ikut menatap Varo dan Jeo bergantian, "Tamu siapa Je?" tanya Kevin penasaran. Jeo mengangkat kedua bahunya acuh, "Kan aku bilang Bang. Aku ngga tahu." "Udah ada yang coba ketok pintu kamar si adek?" tanya Varo, menatap dua adiknya yang langsung dijawab dengan gelengan kepala. "Biasanya adek langsung mau kalo sama bang Jiy." "Ya masalahnya Jiyad kan belom balik. Dia belum makan kan dari balik ngampus?" Jeo menggelengkan kepalanya, "Aku udah coba ketok Mas. Cba deh, Mas yang ketok. Barang kali Ara mau bukain." Varo lantas bangun, melangkah menuju kamar adik sepupunya yang paling bontot. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu di depannya, "Dek, Dek Ara keluar yuk. Mas ada bawain dimsum loh kesukaan Adek. Nanti diabisin mas Jeo loh dimsumnya." Dengan santainya, Varo menyebut nama Jeo. Padahl sang empu ada di sebelahnya. Jeo sendiri mendengar namanya disebut hanya bisa mendengus saja. Biasanya cara seperti itu akan manjur, biasanya ya jika tidak ada kejadian yang kurang mengenakan. Nihil, tidak ada jawaban apapun dari dalam kamar, "Ada jawaban?" tanya Jeo, padahal dia berdiri tepat disamping Varo. Varo menghela nafas beratnya, "Gue takut dia kenapa-napa. Si adek kan punya asam lambung," matanya menatap Jeo, "Tadi kalian udah makan siang?" Jeo mengangguk, "Kita tadi balik ngampus mampir ke studionya bang Yo dulu." "Yoovan tahu ini?" Jeo menggeleng, "Kata mas Mahes jangan kasih tahu bang Yo dulu." Varo ikut mengangguk, "Bagus lah. Si Yoovan gampang emosi soalnya." "Lu berdua ngapain jegrek di depan situ?" "Nyoba rayu Clara Mas, tapi nihil pintunya ngga di bukain." Mahes berdecak pelan, tangannya mengeluarkan benda dari saku celananya, "Ada akal teh di pake. Kan ada kunci sharep." "Ya mana gue inget sih Hes. Dah buruan, kesian si adek." Mahes langsung maju dan membukakan pintu di depannya. Begitu berhasil, senyum terbit di bibir ketiganya. Mahes melangkah lebih dulu mendekati kasur Clara. "Ra," panggil Mahes pelan seraya melangkah masuk. Mahes menoleh ke belakang, di mana Varo dan Jeo berdiri di belakangnya. Mahes seolah meminta pendapat, apakah dirinya harus maju dan membuka selimut itu atau bagaimana. Varo yang paham, menunjuk ke arah selimut dan mengangguk seolah menyakinkan pemikiran Mahes. Dengan perlahan, Mahes mendekati kasur Clara. Awalnya dia menggoyangkan lengan Clara yang terlihat di balik selimut, tapi tidak ada pergerakan sama sekali. Tunggu, demi memastikan apa yang dia rasakan, Mahes membuka selimutnya secara paksa. Tangannya langsung memegang dahi Clara. "Allahuakbar Adek," pekik Mahes membuat Jeo dan Varo ikut berdiri di samping Mahes. "Je, keluarin mobil cepetan. Kita bawa ke rumah sakit, badannya panas banget." Jeo mengangguk dan segera melaksanakan apa yang Mahes katakan. Varo ikut memegang dahi adiknya, benar saja, suhu tubuh Clara sangat panas. Dengan sigap, Varo membuka lemari Clara dan mencari jaket yang bisa dikenakan adiknya itu. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, dia bergegas memakaikan ke tubuh Clara dibantu dengan Mahes tentunya. "Ayo Mas, mobil udah siap," ucap Jeo, nafasnya terengah-engah lantaran berlari menaiki tangga. Mahes mengangguk dan langsung mengangkat adiknya ala bridal style menuju mobil. Kevin yang baru keluar dari kamar, bingung ketika melihat kedua abangnya berlarian dengan Jeo yang berlari di depan keduanya. Dia ikut berlari sampai ke mobil Jeo. "Ini pada mau ke mana?" tanya Kevin bingung, matanya langsung membelalak begitu melihat Clara terbaring lemah di dalam mobil. "Lu jaga rumah aja, gue, Mahes sama Jeo mau ke rumah sakit. Nanti nyusul aja maleman," ucap Varo dan langsung masuk ke mobil tepatnya di samping Jeo. Yang mengemudikan mobilnya tentu saja yang punya. Sebelum melaju, Jeo menyempatkan membunyikan klakson mobil tanda berpamitan ke Kevin. Kevin masih bingung, ada apa dengan Clara? Pasalnya Varo tadi tidak mengatakan apapun, hanya mengatakan kalau mereka bertiga mau ke rumah sakit. Baru saja gerbang rumah mau dia tutup, suara klakson mobil menghentikan pergerakannya. Kepalanya mengintip melihat siapa pelakunya. Begitu mengenali mobil siapa, barulah Kevin membukakan gerbangnya kembali. Kevin melangkah lebih dulu ke teras rumah, menunggu sang empu mobil yang baru saja memarkirkan mobilnya ke halaman rumah. "Sendiri aja Vin? Katanya Jeo sama Clara mau ke sini?" tanya Jiyad ikut bergabung duduk disamping Kevin. Kevin menoleh kearah Jiyad, "Lu ngga bareng sama mas Rafa?" tanya Kevin, setahunya tadi pagi masnya yang satu itu dan Jiyad pergi bersama. "Mas Rafa tadi ada kepentingan, jadi dia dijemput temennya," Jiyad menatap Kevin balik, "Lu belum jawab pertanyaan gue Vin." Kevin bangun dari duduknya, melangkah ke dalam rumah sebentar. Lalu kembali lagi menemui Jiyad, tentunya pakaiannya sudah rapih tidak seperti tadi yang hanya memakai celana rumahan. "Ayo Jiy." Jiyad menatap Kevin bingung, "Ayo ke mana anjir? Gue baru banget naro p****t ini." Kevin menghela nafasnya sejenak, "Ayo ke rumah sakit. Clara dibawa ke rumah sakit sama mas Varo, bang Mah—" "Kenapa ngga bilang dari tadi monyet!" Jiyad langsung berlari ke mobilnya diikuti oleh Kevin dibelakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN