8

1598 Kata
Pagi ini. Mengingatkan pagi-paginya yang dulu saat bersama sang mama. Saat dirinya masih membujang dan sang mama yang selalu mengurusinya. Mulai dari membangunkannya dari tidur, menyiapkan air hangatnya untuk mandi, pakaian kantor serta jas dan dasi, lalu terakhir sarapannya. Begitu seterusnya sampai waktu kian tergerus. Satu hari menjadi satu minggu. Satu detik menjadi satu jam. Dan diantara itu semua, yang selalu dirinya ingat ialah olokan mamanya. Katanya, “coba kamu punya istri. Niatan buat nikahlah minimalnya. Tiap pagi sama malam yang kamu minum bukan lagi kopi. Tapi SMI.” SMI singkata dari s**u Murni Istri. Yorobun! Sagi ingin pingsan tiap kali disindir macam begitu. Lebih elegan harusnya ASI alias Air s**u Istri. Tapi memang begitu mamanya. Kanjeng Ratu Yudantha selalu unik di setiap momen. Parahnya lagi, kian beranjak usia Sagi, bertambah pula singkatan-singkatan unik dari mamanya. Layaknya sudah terpatri dalam otaknya untuk selalu membully darah dagingnya sendiri. Bayangkan! Bagaimana perasaan kalian ketika diperolok oleh mama sendiri? Sakit pasti. Sagi sih B aja. “Ngapain senyum kayak gitu?” Mata Sagi mengerjap. Eksistensi Barella sudah berpindah tempat. Dari yang diatas penggorengan mengaduk lauk pauk untuk mereka sarapan dan tanpa sadar sudah berdiri di depannya. Sagi perhatikan dengan teliti. Rambut panjangnya basah sehabis keramas. Bibirnya kemerahan karena lipstik natural yang selalu dikenakan—tambah seksi, begitu batin Sagi. Lalu pada dress polos yang Barella kenakan menampilkan liukan indah pinggang rampingnya. Ah, Sagi setiap bobok selalu menenggerkan tangannya di sana. Dan Barella—sadar atau tidak—balas menggenggam tangan besarnya. “Kenapa?” Sekali lagi—seakan diseret secara paksa—Sagi menggeleng. Barella sempurna. “Lagi mikirin mama aja.” “Terus hubungannya sama cengengesan apa?” “Aku sih pengennya Kanjeng Ndoro terkejut semisal aku pulang-pulang bawa istri.” “Emang aku karung yang mesti kamu bawa-bawa.” “Ya kalau nggak aku bawa kamu di gondol orang!” Sagi balas ngegas. Perihal itu sangat Sagi sensikan. “Kamu PMS?” Sagi menggeleng. “Kok ngotot banget ngomongnya.” Gelengan Sagi membuat Bare mengerutkan kening. “Kamu kenapa coba?” “Jangan cerewet! Aku makan kamu nanti, tau rasa.” Karena yang Sagi lihat justru dua benda kenyal yang menyembul. Membuat sesuatu berontak ingin dipuaskan. Sayangnya tidak bisa. Kan k*****t. *** Begitu sampai di lobi kantor Sagi, Barella mendadak berhenti. Tanpa tanda rem jika ingin berhenti membuat genggaman Sagi terlepas secara paksa. Diperhatikannya sang istri yang tersenyum memohon. Sagi tahu ke mana arahnya. Pasti ada sesuatu yang ingin Barella lakukan. “Nanti makan siang aja aku ke sininya.” Kan apa Sagi bilang. “Aku mau jengukin temen dulu.” Alis Sagi menukik. “Di kantor polisi.” Oh lelaki korupsi itu. “Katanya ada siding. Ada beberapa saksi yang hadir. Tapi dia—” “Pengacara aku bakal dampingi. Nanti aku telepon Pak Wisnu buat nemenin kamu.” Bare mengangguk patuh. Tidak ada protesan seperti biasanya. Seakan bisa Sagi tangkap jika yang katanya teman ini amatlah memberi pengaruh bagi istrinya. “Jam berapa mulainya?” Sagi maju beberapa langkah. Wajah Barella tepat di depan dadanya dan tangan Sagi menangkup wajah mungil istrinya. “Kalau rapat aku udah selesai, aku susulin.” Lagi, Barella hanya mengangguk. Sagi ingin jengkel—cemburu menggerogoti—tapi ia tahu ini bukan waktu yang tepat. “Aku sayang kamu,” ucapnya sembari menempelkan bibirnya diatas bibir Barella. Hanya menempel beberapa detik. Tapi cukup membuat pekikan nyaring para karyawan heboh dan Barella menahan napas. “Malu ih,” semburnya menyembunyikan wajah merahnya di d**a Sagi. Ada detakan asing di dadanya. Getaran lain yang pernah ia rasakan—dulu. Kini hadir lagi. Terus berdebar. Bare menggeleng. Membuang jauh-jauh angannya. Takut-takut jika itu benar terjadi. Karena Barella tidak akan pernah siap untuk ledakan selanjutnya. Dan teruntuk Sagi. Ada perih yang menabur—tidak tepat di mananya. Ia hanya sedang bernegosiasi dengan hatinya. Bahwa Barella miliknya, seutuhnya, sudah sah secara agama dan hukum, diakui aparat negara. Namun tetap saja. Melihat wajah murungnya karena orang lain, Sagi jadi berpikir apakah Barella akan sedih ketika dirinya tertimpa musibah? Pelukan Sagi mengetat. Bermenit-menit berlalu. Lalu Lalang orang terus memperhatikan. Ada yang berdecak kagum bahkan memotret tanpa takut. Barella hampir berontak sebelum suara serak menginterupsi pergerakannya. “Bentar aja. Aku butuh kamu.” Dunia Bare hampir-hampir runtuh. Satu kalimat terakhir Sagi akan terus menghantuinya. Dulu, di masa lalu, sekarang atau bahkan masa depan. Kata-kata itu terdengar biasa bagi sebagian orang. Tapi untuknya bagai jimat penghenti kewarasan di mana Bare akan selalu bergantung pada Sagi. Tidak! Tidak mau lagi! Cukup sekali dulu. Tidak untuk sekarang bahkan di masa mendatang. “Kamu harus bergantung padaku Bare. Harus!” Melawan Sagitarius Yudantha sungguh percuma. Lelaki itu memliki segalanya. Daftar terhitam dari catatan Barella bahkan ada digenggaman tangannya. Membantahnya akan menorehkan luka di hati Bare namun menuruti juga bukan pilihan yang tepat. “Aku mohon.” “Kita sudah sepakat. Bertindak sejauh ini tidak akan beresiko jika kita tetap saling menggantungkan.” Barella akan menangis. Sagi sangat egois dan pemaksa. Tapi Barella jauh lebih lemah tanpa lelaki itu. Ia rapuh. Hancur berkeping-keping. Sadar tidaknya jika hidupnya sudah tergaris untuk memenuhi dunia Sagi dan layaknya pion—menggantungkan satu sama lain. “Ini sulit.” “Bagi kita?” Sagi akan menangis. Kedua matanya berkaca-kaca dengan sengatan panas. “Setelah terpuruk selama delapan tahun, berpisah satu sama lain, mengosongkan hati dan pikiran berpikir akan baik-baik saja… Bare ini lucu untuk kita. Seolah Tuhan mempermainkan kita. Kini, aku hanya ingin menggapai apa yang menjadi milikku. Apakah salah?” “Aku sakit.” “Maka aku pun,” jawaban cepat Sagi membuat Bare terisak-isak sesak. “Aku—bagaimana menjalani hariku tanpamu seorang diri. Tanpa pendukung. Lebih parahnya, di mana hari aku mencintaimu, di hari itu pula aku kehilanganmu. Bukankah jalan kita terlalu kejam?” *** Sepulangnya dari proses sidang, mood Sagi dalam kondisi setengah baik dan buruk. Baik karena ia berjasa dalam membantu sahabat Barella. Buruk karena melihat betapa kedekatan mereka melebihi yang pernah dirinya jalin bersama Barella. Seperti ada kesalahan bahwa hubungannya dengan Barella sejauh ini tidak ada artinya. Maka untuk memperbaiki moodnya yang setengah memburuk, Sagi iseng menarik salah satu koleksi DVDnya dan menontonnya. Menyetel volume dalam suara yang dirinya rasa cukup untuk di nikmati sendiri dan meraih setoples camilan yang selalu Barella siapkan di meja kamarnya. Adegan demi adegan berputar. Mata Sagi bergerak awas mengikuti antusiasnya pasangan yang bermain panas di atas ranjang. Dengan berbagai pose yang terus berubah selama hampir tiga puluh menit film terputar. Dalam benaknya, ingin sekali mempraktekannya. Tidak ada harapan bersama Barella, Sagi akan melampiaskan bersama wanita panggilan lain yang akan ia sewa. Mendadak perasaan dongkol bersemayan. Sampai pekikan yang membuat kepalanya menoleh, Sagi melihat kemarahan tertahan yang Barella tampilkan di wajah ayunya. “Kamu kapan pulang?” pertanyaan Sagi tidak masuk akal bagi Barella. Pulang-pulang dan dari luar kamar suara desahan menggema hingga di ujung tangga. Ia pikir itu benar-benar terjadi—Sagi dengan wanita lain—Barella ketakutan sendiri. “Nggak ada film lain emangnya?” Barella meraih remot dan mematikannya. Membanting kasar dengan mata memicing tajam. “Desahannya sampai ke tangga sana.” “Udah aku kecilin padahal.” Belum kapok dengan tindakan Barella yang mematikannya, Sagi menghidupkannya kembali. “Kamu udah makan?” Barella kesal sendiri. Menghentakan kakinya kasar dan membanting remot sampai terpisah dari cangkangnya. “Tontonan kamu nggak berakhlak,” teriaknya keras-keras. “Pergi sana! Praktek.” “Sama kamu.” Barella melotot. Matanya menatap penuh benci pada ucapan Sagi. “Kamu ribet Bar.” Mood Sagi yang sudah agak membaik kembali terjun bebas. Ia bangkit berdiri, menghadap Barella dengan tangan bersidekap. “Aku lelaki normal,” katanya. Meredam amarah yang memuncak hingga ubun-ubun. “Tontonan kaya gini hal biasa buat kaum kami.” Decakan Barella lancarkan sebagai balasan. “Jadi kita harus praktek? Oral seks sebagai pengawalan atau langsung ke inti saja.” Sagi mengerang. “Bar!” “Aku siap.” Barella lucuti pakaiannya perlahan. Mulai dari membuka satu per satu kancing kemeja navynya, melepas kancing celana jeansnya dan terus berlanjut menyisakan pakaian dalamnya yang senada. Sagi meneguk ludahnya kasar. Dalam kondisi normal—tanpa amarah dan mood yang baik—sudah pasti Sagi menyerangnya secepat kilat. Sayangnya, mencoba mempertahankan kewarasan otaknya bukan perkara mudah selayaknya meminum air dan selesai. Kini, keseluruhan saraf otaknya bekerja. Merespon dengan cepat namun takut untuk memulai. Tubuhnya tidak jauh berbeda dari tanggapan otaknya. Satu saja yang masih ia pikirkan; keinginan untuk menyentuh Barella dengan benar. Ia tidak ingin memperlakukan perempuan berstatus istri layaknya jalang-jalang yang pernah ia sewa. Tidak! Barella berbeda. Sejak dulu Barella berbeda. Dia istimewa. Menawan dan mempesona. Patut bila semua orang menyukainya. “Aku mandi,” pamit Sagi setelah debaran jantungnya teredam. Namun cekalan di tangannya kelewat cepat. Tatapan Barella memaknai seluruhnya; ingin disentuh, dibelai dan segalanya yang mengarah pada persenggamaan. “Kamu menghindar?” Sagi embuskan napasnya. Berat. Sungguh. “Aku udah pasti jadi istri yang durhaka melalaikan tugas wajibnya. Ngurusin kamu secara benar harus aku lakuin.” Sagi terdiam. Mencoba mencerna dengan baik. Otaknya masih panas. Matanya terus berselancar pada titik-titik di tubuh Barella yang instingnya berkata bagian ini sangat pas ia mainkan. d**a perempuan itu menyembul kurang ajar dari cup branya. Jelas, sesuatu menggembung di pangkal pahanya. Masih ingin menyangkal, Sagi malah menjabarkan arti cinta baginya yang penuh keegoisan. Dan kata egois sungguh riskan yang Sagi maknai sebagai otoriter. Mengklaim Barella sebagai miliknya sendiri tanpa mau berbagi—dalam hal apapun. “Aku pikir-pikir lagi,” jawaban Sagi menyinggung relung Barella. “Berengsek. Sialan!” Barella hempaskan tangan Sagi sampai si empunya terhuyung. Tatapannya menyiratkan benci dengan gumpalan kaca yang siap meluruh. “Jangan pernah berharap setelah ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN