9

1219 Kata
Kehilangan bukan alasan untuk berhenti. Barella punya semangat untuk dirinya sendiri agar maju. Setelah malam itu, aktivitas keduanya berjalan seperti biasa. Barella yang kian kiat mengikuti Sagi ke kantornya. Menyiapkan segala keperluan yang suaminya perlukan dari bangun tidur sampai terlelap. Perihal masalah itu tidak pernah keduanya angkat menjadi topik bahasan. Seakan menutup dan memulai semuanya. “Aku bawain bekal.” Sagi sudah was-was. “Aku harus ke kampus buat bimbingan.” Entah Sagi yang baper atau memang kehadiran Barella sangatlah mempengaruhi dirinya, pastinya ia benci jika kampus menjadi tempat keramat yang harus istrinya datangi. “Sebelum jam kantor usai, aku ke sini.” “Lama banget?” Alis Sagi menukik—curiga. Sayangnya, bahasa tubuh Barella sulit dirinya tebak. “Hati-hati,” pesannya sembari mengecup kening Barella. “Kabari kalau ada hal yang kamu butuhin.” Barella mengangguk dan bergegas pergi. Apakah Sagitarius Yudantha tipikal lelaki ‘ya sudahlah seraya mengembuskan napasnya?’ Jawabannya tidak. Ia egois dan posesif terlebih jika menyangkut Barella. “Ikuti. Agak jauhan.” Perintahnya di patuhi bawahannya. Informasi terbaru selalu dikirimkan melalui pesan singkat yang Sagi baca dengan ogah-ogahan. Namun menjelang jam makan siang usai dan Sagi tidak napsu menghabiskan bekalnya yang Barella siapkan, begitu saja tungkainya berlari cepat. Ada desiran sakit di dadanya yang merajai. Rutukan ‘bodoh, g****k, t***l’ Sagi serapahkan teruntuk dirinya sendiri. Ia akan kehilangan sekali lagi jika tidak sampai sana tepat waktu, begitu pikirnya. Dadanya naik turun tidak beraturan. Keringat basah menets dari keningnya dan sepanjang berlari tadi, pikirannya selalu tercanang Barella, Barella, dan Barella. Begitu seterusnya sampai matanya menangkap sosok tegap berdiri di pinggir danau dengan semilir angina yang menerbangkan rambut panjangnya. Sagi menghela napas—lega. Kedua matanya berkaca-kaca. Kejadian delapan tahun lalu terus berseliweran. Satu per satu terus bergantian seakan tahu jika itu ketakutannya. Seandainya … dan hanya menggema di dalam hatinya. Seharusnya … seperti itu terus hingga kedua langkahnya terhenti. Barella—baginya—memiliki arti yang tidak bisa dirinya jabarkan secara terus terang dengan kata-kata. Barella—baginya—satu-satunya harapan untuk dirinya bergantung hidup meski sama-sama memiliki kesakitan yang tiada berujung. Masa lalu—ia artikan—sebagai cambuk di mana gelapnya akan tersibak oleh terangnya masa depan. Maka, Sagi inginkan, dengan kebersamaan ini, perjalanan menuju putihnya masa depan tanpa noda dapat ia lalui bersama. Tapi… Kedua tangan Sagi melingkar di leher Barella. Membuat perempuan itu terkejut. “Begini saja.” Larangan Sagi layangkan ketika dirasanya Barella hendak berbalik. “Begini saja. Aku butuh begini.” Barella tidak paham apa maksudnya. Mencoba mengalah dan diam, Bare genggam tangan Sagi dengan erat—seolah perasaan kalut yang suaminya bawa tersalur. “Aku baru mau jalan ke kantor,” kata Bare. Sadar atau tidak, pelukan yang Sagi regupkan menyamankan tubuh Bare. “Aku tahu. Aku juga sadar.” Bare tersenyum. “Aku yang tidak ada apa-apanya ini, ingin menjadi apa yang bisa kamu harapkan di masa depan.” Seperti sudah di sortir dengan apik, setetes air bening membasahi pipi Barella. Ia merasa gagal menjadi seorang perempuan dan istri. Ia pasti sudah memberi luka baru pada Sagi sehingga suaminya berkata demikian. “Tapi Bar, kehilangan di masa terdahulu, bukan alasan untuk kita nggak bersama, kan? Kita nggak harus berhenti untuk menumpas rasa sakitnya. Hanya perlu mencoba dengan bangkit dan memulai semuanya dari awal. Aku … memang bukan siapa-siapa kamu. Aku sadar. Dan orang ini ingin menjadi apa yang kamu mau.” Sagi ulang kembali perkataannya membuat Barella kian tergugu. “Aku siap Bare. Aku siap.” *** Pengakuan. Dalam hidup, setelah mendapat sambutan selamat datang di dunia, menjalani kehidupan baru mulai dari bersekolah di tingkat dasar, bersosialisasi dengan banyak orang hingga tahap akhir; mahasiswa, bergelut dalam dunia pekerjaan yang di maknai dengan; di makan atau memakan, maka puncaknya adalah pengakuan. Tingkatan prestasi manusia sama. Tidak berbeda jauh dengan pertanyaan: mengapa kamu bekerja? Dan di jawab: karena memenuhi kebutuhan. Setelahnya status diakui selayaknya manusia yang berguna. Seorang bodoh pun akan mengejar hal terakhir ini. Tanpa embel-embel ‘pengakuan’ semua susunan hidupnya berantakan. Menjadi lebih agresif, menerkam satu sama lain, bersaing tanpa pandang bulu benar-benar akan dilakukan oleh makhluk bernama manusia. Sagitarius Yudantha sangat normal. Ia manusia posesif sepanjang sejarah dengan sifat egoisnya. Terlampau tinggi menggapai, pernah kehilangan, penuh angan, membuat Sagi sangat takut merasai kehilangan selanjutnya. Jangankan untuk merasakan sekali lagi, bahkan satu detik pun ia takkan sanggup. Barella sangat berarti untuk hidupnya. Dulu, sekarang dan seterusnya. Nyatanya, menandai perempuan itu sebagai miliknya saja tidaklah cukup. Otaknya berputar—terperas—sangat keras. Ada langkah-langkah matang yang sedang Sagi persiapkan. Salah blok dalam berpijak, akan ada akhir penyesalan dan Sagi tidak mau itu terjadi. Tidak akan pernah dirinya biarkan. “Tapi apa kira-kira.” Begitu gumamnya. Kopi hitam pahit di cangkir ketiganya tidak membantu sama sekali. Semilir angin malam—mengingat musim kemarau sudah menyapa—dirinya abaikan. Otaknya seakan ikut dingin. Otaknya terus berpikir, tangannya menggenggam cangkir dan bibirnya menyesapi rasa kopi pahitnya. Jalan satu-satunya jelas membuat Bare hamil. Pikirnya, perempuan itu tidak akan bisa bertindak semaunya tapi cukup menguntungkan bagi Sagi. Pertama, dengan adanya anak, Bare sepenuhnya menjadi hak paten miliknya. Kedua, menjauhkan perempuan itu dari keluarganya. Sagi rasa itu jalan yang tepat. Ketiga, tujuan dari pernikahan tentu memiliki ahli waris. Dan bukankah Sagi butuh itu? Benar. Kenapa baru terpikir sekarang? Seolah merutuki kebodohannya, Sagi bergegas bangun. Meninggalkan segala kertas kerjanya yang berserakan di atas meja, kakinya berlari menaiki tangga. “Wife?!” panggilan kesayangan untuk Bare sudah dirinya tetapkan. Dan ‘wife’ berbeda dari yang lain. Tidak mengandung arti godaan namun serius ia siratkan. “Kita harus punya anak.” Yang di ajak mengobrol melotot. Barella bahkan menumpahkan pembersih mukanya sebagai rutinitas sebelum tidur. “Kamu kesurupan?” katanya bertanya. Berjalan mendekat dan memegang dahi suaminya. “Anget normal, kok.” Sagi mendengus. “Aku serius wife. Kita harus punya anak.” Barella menggerakan tangannya. “Aku nggak ngerti lagi sama jalan pikiran kamu.” “Astaga.” Erangan Sagi terabaikan. “Otak kamu sewaktu pembagian dulu kayanya ketinggalan deh.” “Apa?” Sagi judes. Ia perlu meyakinkan Barella namun prakteknya sangat sulit. Inginnya, yang sulit di tahlukan itu Sagi, tapi faktanya, Barella sangat sulit dirinya buat tunduk patuh. Di masa terdahulu, keduanya sama-sama sangat mendalami soal perasaan. Takut kehilangan, terlampau sulit untuk melepaskan, saling menggenggam satu sama lain dan selepas perpisahan delapan tahun yang terjadi, keduanya mengerti rasanya canggung. Barella yang kehabisan ekspresi. Tidak semudah dulu meluapkan amarahnya. Tidak segampang dulu menuangkan rasa emosinya. Dan Sagi yang terkesan terburu-buru—bukan malah mengobati terlebih dulu—malah membawanya ke hubungan serius. Ini pasti keputusan telak yang Bare ambil. Antara ingin memiliki dan di miliki kembali serta menjauh dari keluarganya. Tanpa sadar, sagi menuangkan luka di dalam hatinya. Membuat cacat hati Bare dan tidak salah ketika perempuan itu tidak menempatkan rasa percaya pada dirinya. Sagi cukup sadar diri. Kali ini, ia akan bertindak secara perlahan. Mendapatkan keyakinan Barella diiringi percobaan yang memang sudah semestinya dirinya lakukan. “Jadi mau sampai kapan?” Sagi meregup tubuh Bare dengan pelukan. Nampak menegang dari cermin yang Bare perhatiakan. Sagi tahu, Bare belum sepenuhnya terbuka. Tidak apa-apa, Sagi akan menunggu. “Kalau kita nggak pernah nyoba, selamanya bakal kaya gini aja. Aku pengen—terutama aku—lebih terbuka sama kamu. Selebihnya, aku nunggu kamu.” Sagi kecup bahu Bare yang terbuka dan beranjak menaiki ranjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN