Calon Istri Nathan

1220 Kata
“Ya?” Sahutan terdengar dari dalam pintu kamar tertutup yang diketuk oleh Nathan. “Permisi, saya mencari wanita cantik di dalam sana,” seru Nathan. Wajahnya dihiasi senyuman walau belum melihat sosok yang dicarinya. Gadis itu membuka pintu lalu memicingkan mata kepada kekasihnya, “Bagaimana Anda bisa memberi contoh yang baik kepada bawahan Anda, Tuan Nathan? Baru pukul tiga sore, Anda sudah berkeliaran di sini”. Yori melipat tangannya di depan d**a. Nathan mengendikkan bahunya acuh. “Bagaimana, ya? Rasanya hariku kurang lengkap kalau belum menggoda wanita secantik ini.” Nathan tersenyum lebar, menularkannya pada Yori. Yori mengulum senyum seraya memiringkan sedikit wajahnya. “Wanita ini tidak akan tertarik dengan godaanmu.” Nathan tersenyum lebih lebar, mengakhiri sesi main-mainnya dengan Yori, “Aku rindu kamu, Queen Yori.” Yori bahagia mendengar pernyataan itu, Ia segera mendekat begitu Nathan melebarkan sebelah tangan untuk merangkulnya. “Aku bawa buku edukasi untuk anak-anak,” ucap Nathan meberitahu Yori saat mereka menuruni anak tangga. “Oh, ya? Terima kasih, Bang. Kamu turut membantu menyenangkan mereka,” tukas Yori dengan senyuman manis. “Kapan Abang membelinya?” “Tadi sebelum ke sini. Kita langsung temui anak-anak, yuk? Kayaknya Bunda sudah sama mereka, deh. Aku dengar suara Bunda waktu baru datang.” Yori mengangguk. “Ayo!” --- “Selamat sore anak-anak!” seru Nathan ketika Ia dan Yori sampai di halaman belakang kediaman Yori. Tempat yang biasa digunakan Yori dan ibunya untuk mengajar anak-anak kurang beruntung yang tinggal di sekitar rumahnya. “Yeyy ... Om Nathan!” seru anak-anak itu dengan antusias menyerbu Nathan untuk bersalaman. “Bagaimana kabarnya, Bun?” sapa Nathan kepada Widya, Ibu Yori –setelah meladeni anak-anak yang menyambutnya. “Alhamdulillah. Kabar baik, Nak Nathan,” jawab Widya seraya tersenyum dan mengusap lembut kepala Nathan saat pemuda itu mencium punggung tangannya. “Bagaimana kabar Papamu, Nath?” “Papa baik, Bun. Aku belum ketemu Papa hari ini. Tapi kami sudah teleponan tadi,” jawab Nanthan. “Syukurlah.” ucap Bunda sambil tersenyum tulus. “Anak-anak, hari ini Om Nathan membawakan buku baru untuk kalian, loh!” Yori gantian berseru –menyampaikan kabar gembira kepada 15 anak asuh yang ada di hadapannya. Mereka bersorak kegirangan. “Ayo, bilang terima kasih dulu ke Om Nathan!” ajak Widya kepada Anak-anak. Seorang anak laki-laki yang ditunjuk sebagai kepala kelompok memberi aba-aba hitungan kepada teman-temannya. Kemudian mereka secara serempak mengucapkan terima kasih kepada Nathan. “Terima kasih, Om Nathan!” “Kembali kasih.” Nathan tersenyum bersama Yori dan Widya. Kemudian, Yori meminta mereka mengantri dengan tertib untuk menerima buku. --- “Kapan kamu siap? Aku sudah nggak sabar mau mengenalkanmu ke Papa secara resmi” tanya Nathan tanpa tedeng aling-aling. Saat ini, keduanya sedang berada di teras rumah Yori Mereka duduk bersisian dengan meja kecil yang memisahkan keduanya. Tadi, mereka baru saja selesai membantu anak-anak asuhan Widya mengerjakan tugas dari sekolah mereka. “Kan, aku sudah kenal Papa,” jawab Yori santai. “Maksudnya, aku mau mengenalkanmu sebagai calon tunanganku, Yori. Aku ingin Papa segera tahu, kalau aku sudah punya seorang yang akan kunikahi secepatnya.” Jelas Nathan dengan wajah sedikit cemberut karena Yori tidak segera mengerti maksudnya. “Memang Abang beneran mau serius sama aku?” goda Yori dengan wajah jahilnya. Menutupi perasaan hatinya yang mulai khawatir. Yori tahu bahwa Nathan benar-benar serius terhadap hubungan mereka. Nathan pun sudah sering membicarakan tentang rencana pertunangan mereka. Namun, setiap kali bahasan tentang pernikahan muncul dari Nathan, Yori selalu menghindar dengan mengalihkan topik pembicaraa. Bukan karena Yori tidak mencintai Nathan. Justru, kekhawatirannya muncul karena Ia sangat mencintai kekasihnya itu. Nathan sangat spesial di hati Yori, walau awalnya Yori sempat ragu untuk menerima Nathan. Latar belakang keluarganya yang kurang mampu, membuatnya kurang percaya diri untuk bersanding dengan Nathan yang merupakan anak tunggal dari seorang pengusaha tekstil. Ayah Yori telah lama meninggal dunia. Ibunya berjuang menghidupinya dengan mengurus peternakan ayam yang diwarisi ayahnya –yang besarnya tak seberapa. Sedangkan Yori sendiri kini, berprofesi sebagai guru tari di sebuah sanggar kecil. Jika bukan karena biaya tambahan dari donatur yang terkadang mereka terima, mungkin anak-anak asuhan ibunya tak akan terurus. Atas semua alasan itu, tidak mungkin Yori mengabaikan status sosialnya dengan Nathan. Akan tetapi, kesederhanaan Nathan yang tak pernah berubah sejak ibunya mengenalkan pemuda itu padanya, akhirnya meyakinkannya. Ia pun memberanikan diri untuk menjalin hubungan dengan Nathan. Kepercayaan dirinya meningkat, ketika pertama kali Ia bertemu Rangga, ayah Nathan –yang tidak memandangnya sebelah mata. Yori yakin, Nathan dan ayahnya adalah orang yang baik. Sejak dibawa pertama kali oleh Widya ke rumahnya, Nathan tak pernah absen membantu Widya mengurus anak-anak asuhannya. Nathan melakukan itu bukan karena Ia berusaha merebut hati Yori. Akan tetapi, dirinya menyukai anak-anak. Ia yang sudah ditinggalkan ibunya sejak duduk di bangku menengah pertama, merasa sangat terhibur dengan membantu anak-anak asuhan Widya. Impian besarnya yang sesekali Ia utarakan kepada Yori, untuk memiliki anak yang banyak dengannya membuat Yori tersanjung sekaligus meringis. Ia tak bisa memikirkan bagaimana kondisi Nathan jika tahu dirinya tak bisa mewujudkan impian itu. Yori belum pernah memberitahu Nathan tentang kekurangannya karena tak tega. Walau Ia yakin, Nathan akan tetap mempertahankannya bagaimana pun kondisinya. Akan tetapi, bagaimana mungkin Ia tega? “Kenapa? Apa kamu mau langsung aku kenalkan pada Papa sebagai calon istri?” tanya Nathan meladeni godaan Yori. “Akan lebih baik kalau begitu.” “Ih, Abang. Bukan begitu ...” “Lalu? Oke. Sudah kuputuskan. Kita akan melewatkan pertunangan. Aku akan langsung menikahimu. Biar aku bilang sama Bunda dulu, supaya kamu lebih yakin padaku,” tukas Nathan tak memberi kesempatan pada Yori untuk merespon. Ia berdiri hendak menghampiri Widya yang masih berada di halaman belakang, tapi Yori berhasil meraih pergelangan tangannya. “Loh, Abang!” Yori dengan cepat meraih pergelangan tangan Nathan yang hendak menghampiri Widya di halaman belakang. “Kan aku yang akan memutuskan, mau menerima pinanganmu atau nggak,” katanya dengan wajah cemberut. Menyadari kata-kata Yori menyiratkan sebuah ancaman, Nathan melunak dan kembali dudu . “Ayolah, Sayang. Apa kamu nggak memikirkan bagaimana tersiksanya aku waktu setiap jauh dari kamu? Akan bahagia kalau secepatnya aku bisa pulang ke tempat di mana kamu berada setiap hari.” Nathan merengek sambil memeluk tangan Yori, membuat gadis itu terkekeh geli. Yori tahu jika Ia tidak bisa lagi mendebat Nathan. Jadi, yang Ia lakukan setelahnya hanya ingin membuat Nathan tenang. “Baiklah. Tapi, Abang harus tunggu sampai dua minggu ke depan.” “Kenapa?” “Kurang dari dua minggu, murid-murid di sanggar akan menghadapi lomba. Aku harus fokus membantu mereka mempersiapkan diri sebaik mungkin. Jadi berikan aku waktu 2 minggu. Ok?” Nathan bergumam sebelum memberikan jawabannya. “Baiklah. Aku pikir, aku juga perlu waktu yang tepat untuk memberi tahu Papa tentang rencana besar ini. Kita akan bertemu Papaku dua minggu lagi kalau begitu.” Nathan dan Yori sama tersenyum menyetujui kesepakatan mereka. --- “Sudah pulang, Nak? Sore tadi Papa mampir ke kantormu, tapi ternyata kamu nggak di tempat,” sapa Rangga dari sofa ruang keluarga ketika melihat putranya baru saja sampai. “Iya, Pa. Tadi ada urusan di luar,” jawab Nathan seraya menghampiri Rannga, lalu mencium punggung tangan Rangga. “Ya sudah, kamu bersihkan diri dulu. Nanti, ada yang mau papa bicarakan setelah makan malam.” “Ya, Pa. Nathan ke kamar dulu,” sahut Nathan sebelum meninggalkan Rangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN