Kamis yang Membosankan

1526 Kata
Kamis pagi ini, Nadine sudah memasak sarapannya sendiri di apartemen kecil miliknya. Sebetulnya, Nadine bukan anak rantau yang tinggal jauh dari orang tuanya. Keluarganya masih tinggal satu kota dengannya, dan rumah mewah orang tuanya sangat bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman baginya. Namun, Nadine memilih tinggal di apartemen yang Ia beli setelah resmi bekerja sebagai dokter kandungan di rumah sakit yang tidak terlalu besar, namun memiliki kualitas yang unggul di kota tempat Ia tinggal. Rumah Sakit Umum Aryatama. Ia membeli apartemen itu dengan meminjam uang ayahnya, yang didapatkan dengan perdebatan cukup panjang. Bukan karena ayahnya tidak memiliki uang. Dygta Maheswara –ayah Nadine, yang seorang pengusaha bidang fashion ternama –yang sudah bercabang di berbagai kota di Indonesia, tidak mungkin mempermasalahkan sejumlah uang yang diperlukan Nadine untuk membeli sebuah apartemen kecil. Hanya saja, Dygta tidak ingin Nadine menganggap uang itu adalah hutang. Sebaliknya, Dygta justru sangat senang setiap kali Nadine meminta sesuatu yang agak besar kepadanya. Namun, Nadine tetaplah Nadine yang selalu berusaha mandiri, alih-alih meminta sesuatu kepada papinya. Sejak kecil, Nadine memang tidak terbiasa meminta sesuatu yang sebenarnya dianggap biasa oleh para orang tua. Bahkan untuk sekedar meminta kado di hari ulang tahunnya. Papi dan Kakak-kakaknya-lah yang berinisiatif memberikan Nadine hadiah atau benda-benda kecil yang dibutuhkan anak perempuan seperti jepit rambut atau boneka. Bila menginginkan sesuatu, Nadine akan berusaha mengumpulkan dari uang sakunya sendiri ketimbang langsung meminta kepada Papinya. Bukan karena Nadine tidak menyukai apapun pemberian Papinya. Hanya saja, Nadine ingin lebih menghargai Sang Ayah –yang sudah berjuang keras meberinya kasih sayang yang besar. Menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi Nadine dan kedua kakaknya. Sehingga, Nadine merasa tidak tega jika harus merepotkan ayahnya untuk hal-hal kecil yang masih bisa Ia perjuangkan sendiri. Ibu Nadine, Alamanda Dirga, telah lama meninggal dunia pasca melahirkan Nadine ke dunia. Hanya 45 menit kebersamaan Nadine bersama maminya di dunia. Setelah itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Beruntung Nadine bukanlah anak satu-satunya dari Alamanda. Sehingga keluarga Nadine masih memiliki banyak foto mendiang Alamanda. Paling tidak masih ada beberapa foto keluarga utuh Papi, Mami dan Kakak-kakak Nadine, dengan dirinya yang masih berada di dalam perut Maminya. Walau tumbuh tanpa sosok Ibu, Nadine sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Ia mempunyai Papi dan dua orang kakak perempuan, Neliyandra Maheswara dan Nindyani Maheswara yang sangat menyayanginya. Nadine adalah putri kesayangan keluarga Maheswara yang sangat dijaga dalam keluarga itu. Namun, semua itu tidak membuat Nadine tumbuh menjadi gadis manja yang hanya tahu dilayani. Sejak kecil, Nadine giat belajar sehingga prestasinya di sekolah –walau tidak menyamai Kakak-Kakaknya, tidak pernah buruk. Masih masuk dalam 5 besar setiap tahunnya. Nadine juga terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Walau tumbuh di rumah besar Dygta, yang memiliki cukup Asisten Rumah Tangga untuk mengurus setiap bagian rumah. Nadine sering terjun langsung untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan. Sesekali, Ia akan mencuci pakaiannya sendiri, atau rutin membersihkan kamarnya sendiri. Nadine juga tak sungkan sesekali turut menyibukkan diri di dapur, ketika ART Papinya memasak –walau hanya sekadar mencuci bahan makanan. Kemarin malam, Nadine diberi tahu oleh staff administrasi di Poli Kebidanan tempatnya bertugas, bahwa jadwalnya hari ini kosong. Tidak ada pasien yang mendaftar untuk pemeriksaan ataupun jadwal operasi sesar. Terkadang hal seperti ini memang terjadi. Ia bisa mengetahui jadwalnya untuk esok hari, karena memang khusus untuk pemeriksaan kehamilan –pasien diharuskan mendaftar satu hari sebelum pemeriksaan. Setelah melakukan registrasi, para pasien akan dikabari 1 jam sebelum waktu pemeriksaan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir waktu mengantri bagi ibu hamil karena jumlah pasien yang Nadine tangani cukup banyak. Maklum saja, RSU Aryatama memang baru hanya memiliki Nadine sebagai dokter kandungan. Terkadang, jadwal kosongnya juga bisa mendadak terisi, jika ada seorang Ibu yang tiba-tiba akan melahirkan secara normal. Maka, Nadine tetap menjalankan rutinitas paginya seperti biasa untuk berjaga barangkali dirinya dibutuhkan dengan tiba-tiba. Menjadi dokter spesialis kandungan adalah cita-cita Nadine sejak kecil. Maka apapun yang terjadi, Nadine akan berusaha menjalankan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin, karena itu adalah kebahagiaannya. --- Pukul 9 pagi, Nadine sudah menyelesaikan segala aktifitasnya di rumah. Jika ini hari minggu, Nadine akan segera pulang kerumah orang tuanya untuk melepas rindu pada Papinya. Kemudian Ia akan mengunjungi kedua kakaknya untuk sekadar menghabiskan waktu bersama. Terkadang mereka juga akan pergi untuk makan di luar bersama. Namun, karena sekarang adalah waktu pagi di hari kerja, Nadine tidak mungkin mengunjungi Kakak-kakaknya –apalagi mengajak mereka keluar. Karena selain Nindy yang berprofesi sebagai guru sedang bertugas, anaknya yang masih berusia 4 tahun juga pasti sedang bersekolah. Nelly pun, walau belum memiliki anak –Ia mengelola sebuah butik yang bukan hanya melayani secara offline, tetapi juga memiliki toko online di hampir setiap marketplace yang ada di Indonesia. Sedang ayahnya, saat ini juga sedang dalam perjalanan bisnisnya keluar negeri. Nadine memang tidak pernah mempermasalahkan jadwalnya yang tidak pasti. Itu adalah salah satu risiko yang harus Ia ambil dari profesinya. Akan tetapi, bagi gadis muda yang terbiasa aktif seperti Nadine, memilik waktu kosong yang benar-benar kosong seperti ini terkadang membuatnya bosan. “Huh, sungguh membosankan,” gumamnya sambil merebahkan diri di atas kasur. Nadine meletakkan ponselnya setelah membaca sebuah berita di portal online. Kemudian Ia memiringkan tubuhnya ke arah kanan, untuk mengambil sebuah bingkai foto yang berada di atas nakas. “Sedang apa, Mam? Mami pasti sedang bahagia disana dengan teman-teman Mami,” ucapnya sambil menatap foto Alamanda yang tersenyum lebar dengan sangat cantik. Tak lama kemudian, Nadine bangkit dari posisinya. Ia akan mengunjungi makam ibunya hari ini. --- “Alamanda Dirga. Nama Mami cantik, Nadine nggak pernah bosan membaca nama Mami setiap kali kesini.” Nadine berbicara sendiri sambil berjongkok di samping makam Alamanda. “Mam, coba tebak kali ini Nadine bawa warna apa?” tanya Nadine sambil tangannya menyembunyikan satu buket bunga Allamanda berwarna merah. Meski tahu tak akan mendapat jawaban dari yang ditanyai, Nadine selalu berusaha ceria ketika mengunjungi makam Mami nya. “Tara.. cantik kan, Mam?” Nadine meletakkan bunga itu di atas makam ibunya, kemudian tangannya mengusap lembut batu nisan makam tersebut sambil tersenyum. Cukup sering Nadine mengunjungi makam maminya sendirian. Sekitar 30 puluh menit atau lebih, Nadine akan menghabiskan waktu di sana. Bukan hanya untuk melepas rindu, tetap juga untuk bercerita sendiri. Walau hanya kabar baik yang selalu Nadine ceritakan kepada Maminya, karena Nadine hanya ingin Mami nya tahu bahwa Ia selalu bahagia di dunia ini. --- Hari ini, Nathan baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya ke luar kota. Berhubung masih pagi dan Ia tak harus kembali ke kantor, jadilah Ia mengunjungi makam ibunya terlebih dahulu. Saat sudah berada di tengah area pemakaman, langkahnya sempat terhenti karena sosok yang terlihat familier dari tempatnya. Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya terpisah 1 baris makam dan 2 jalan setapak dari belakang batu nisan tempat wanita itu berjongkok. Wajahnya tampak bersinar karena senyuman yang sesekali mengembang di bawah sinar matahari yang agak redup pagi itu. Namun, Nathan tak berkeinginan menyapa gadis itu. Lagi pula, Nathan tak yakin jika Nadine akan mengingat sosoknya. Jadi, Ia hanya melanjutkan perjalanannya ke arah makam almarhumah ibunya. --- Satu jam menuju waktu makan siang, Nadine memutuskan untuk berjalan-jalan di Mall yang tak jauh dari apartemennya. Ia berencana membeli makan siang untuk Ia bawa pulang. Sebelum itu, Ia mengunjungi toko buku di dalam Mall, yang namanya sudah di kenal karena toko nya sudah menjamur di seluruh Indonesia. Ia ingin mencari buku untuknya dan juga untuk keponakan tersayangnya. Nadine berencana memberikan buku itu di hari Minggu nanti. Setelah mengambil buku untuknya sendiri, Nadine segera menuju lorong buku khusus untuk buku-buku anak. Ia berjalan santai sambil matanya memperhatikan susunan buku-buku edukasi yang beragam. Namun karena kurang memerhatikan arah depan, Nadine menabrak seorang pemuda di depannya dengan setumpuk buku edukasi untuk anak-anak, Nathan. Nathan yang memegang setumpuk buku dengan asal, terkejut –saat Nadine tidak sengaja menabraknya dan membuat sebagian buku di tangannya berserakan di lantai. “Maaf, Pak. Maafkan saya,” ucap Nadine spontan. Kemudian berjongkok untuk membantu pemuda itu merapikan buku-buku yang berserakan tanpa memerhatikan sosok di depannya. “Dia ...” gumamnya dalam hati. Cukup terkejut karena lagi-lagi bertemu dengan sosok Nadine. Nathan turut berjongkok untuk merapikan bukunya. Setelah tidak ada buku yang berserakan di lantai, Nadine dan Nathan sama-sama berdiri. Nadine menyerahkan buku yang tadi Ia kumpulkan kepada Nathan sambil sekali lagi mengatakan permintaan maafnya. “Saya minta maaf ya, Pak. Saya kurang memperhatikan jalan tadi.” Nathan hanya tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Ini pertama kalinya Ia melihat jelas wajah Nadine dari jarak dekat. Anenya, perasaan familier yang ada di hatinya sejak pertama melihat Nadine, malah semakin pekat. Mata Nadine memperhatikan buku yang dipegang oleh Nathan. Ia mengambil 1 buku yang sama di rak tempat buku itu berasal yang ternyata hanya tersisa dua buah buku. “Boleh saya mengambilnya satu? Saya ingin memberikannya pada keponakan saya.” Nadine meminta ijin terlebih dahulu kepada Nathan karena sepertinya Nathan memerlukan buku-buku itu dalam jumlah banyak. “Oh, silakan. Saya hanya perlu satu lagi,” jawab Nathan santai seraya mengambil 1 buku yang tersisa di rak itu. Benar seperti dugaannya, Nadine tak mengenalinya. Mungkin karena hanya bertemu tak sengaja di rumah sakit. Itu pun, Nadine hanya fokus pada pasiennya. “Terima kasih. Permisi,” ucap Nadine sopan sebelum meniggalkan Nathan. “Apa aku mengenalnya?” tanyanya dalam hati sambil memerhatikan sosok Nadine yang kian menjauh. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN