Part 7. Aku Bisa Menidurimu!

1271 Kata
Bagi Rumi, perjalanan dari gedung Sutanto Corporation menuju markas besar Syailendra Group terasa seperti perjalanan menuju eksekusi mati. Di dalam mobil mewahnya, Jagad tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun, jemarinya yang mengetuk-ngetuk pahanya dengan irama tak beraturan mengirimkan sinyal bahaya agar Rumi waspada. Rumi duduk di sebelah Jagad, memandang ke luar jendela, menolak menatap pria di sebelahnya. Dia memeluk tas kerjanya erat-erat, seolah benda itu adalah benteng pelindungnya. Mobil berhenti di lobi menara Syailendra. Bukan di parkiran basement, tapi tepat di pintu utama. "Turun," perintah Jagad. Rumi baru saja membuka sabuk pengaman ketika pintu di sisinya sudah ditarik, terbuka dari luar. Bukan oleh sopir, tapi oleh Jagad sendiri. Pria itu mengulurkan tangan, sebuah gestur yang bagi orang awam terlihat gentleman, namun bagi Rumi itu sebuah paksaan terselubung. Rumi mengabaikan tangan kekar itu dan turun sendiri. Jagad menyeringai tipis, menarik tangannya kembali lalu berjalan mendahului, yakin Rumi akan mengekor karena Rumi memang tidak punya pilihan selain mengikuti Jagad. Langkah kaki mereka bergema di lantai marmer lobi. Karyawan yang berpapasan langsung menyingkir, membungkuk hormat, sambil melirik penasaran pada wanita asing yang berjalan di belakang CEO mereka yang terkenal dingin dan irit bicara. Rumi menegakkan kepala, mengabaikan bisik-bisik yang mulai terdengar. Lift pribadi membawa mereka melesat ke lantai teratas. Begitu pintu lift terbuka, aroma kemewahan yang dingin menyapa. Ruang kerja Jagad bukan sekadar kantor; ini adalah benteng kekuasaan. Dinding kaca setinggi langit-langit menampilkan panorama Jakarta yang terlihat kecil di bawah sana. Jagad duduk di kursi kebesarannya dan menuang air mineral dingin ke gelas kristal kemudian menegak habis tanpa mau repot menawari Rumi. Jagad menunjuk kursi di depannya dengan dagu untuk Rumi duduk. “Kenapa aku?” tanya Rumi tanpa mau berbasa-basi setelah duduk. Tatapannya menajam, menolak untuk terlihat terintimidasi oleh Jagad. “Seluruh Indonesia tahu, bahkan media massa pagi ini masih memberitakan bahwa Nadya Sutanto adalah calon Nyonya Syailendra. Saham gabungan, merger perusahaan, foto-foto pertunangan bahkan undangan, semuanya sudah disiapkan. Kenapa kamu justru menarikku, seorang karyawan rendahan yang dianggap sampah, untuk menggantikan posisi itu?” Jagad mendecih pelan. Suara itu terdengar meremehkan, seolah pertanyaan Rumi adalah lelucon paling bodoh yang pernah ia dengar. Jagad menyandarkan punggungnya yang lebar ke kursi kulit, memutar gelas kristal kosong di tangannya dengan santai. “Nadya Sutanto? Wanita manja yang bahkan tidak tahu cara berpakaian pantas yang enak dilihat mata?” Jagad terkekeh sinis, “media bisa menulis sesuai dengan apa yang aku inginkan, Rumi. Opini publik? Nama baik? Persetan dengan itu semua, aku tidak peduli.” Jagad bangkit, berjalan mengitari meja kerjanya hingga berdiri tepat di depan Rumi, lalu membungkuk, menumpukan kedua tangannya di lengan kursi Rumi bermaksud mengurungnya. “Aku tidak peduli jika besok saham perusahaanku anjlok karena aku batal menikahi anak Sutanto. Aku tidak peduli jika seluruh dunia menganggapku gila. Yang aku pedulikan, yang aku inginkan untuk mengisi posisi itu, hanyalah kamu, Lituhayu Nirbita Rumi. Titik.” Napas Rumi tercekat. Kegilaan di mata Jagad bukan main-main. Pria ini benar-benar tidak tersentuh logika dan hatinya sudah mati. Rumi memalingkan wajah, dadanya naik turun karena emosi. Dia tahu dia kalah. Jika nekat melawan kekuasaan Jagad, artinya dia mencoba menahan ombak dengan telapak tangan. Tapi, jika dia harus tenggelam, dia akan memastikan dia membawa pelampung penyelamat. Memikirkan itu, Rumi menoleh kembali, menatap lurus ke manik mata kelam Jagad. “Baiklah,” ucap Rumi datar dengan suara bergetar, “aku akan turuti permainan gilamu ini. Tapi ada syaratnya… “ Rumi mengangkat satu jari, suaranya berubah dingin dan tajam, “dann itu syarat mutlak yang tidak bisa ditawar.” Alis Jagad terangkat sebelah, tampak geli namun tertarik, “oh? Kau berani mengajukan syarat?” “Kesetiaan,” desis Rumi, suaranya dibuat tenang, “jika di dalam pernikahan ini, ada salah satu pihak yang tidur dengan orang lain, entah itu kamu dengan wanita-wanita bayaranmu atau aku dengan pria lain, maka pihak yang dikhianati berhak mengajukan gugatan cerai seketika itu juga. Tanpa kompensasi, tanpa persidangan panjang dan hak asuh anak jika ada." Rumi menatapnya menantang. Dia berharap ini adalah kartu as-nya. Dia tahu Jagad menganggapnya w************n. Dia yakin Jagad tidak akan tahan hidup hanya dengan "barang bekas" sepertinya dan kemungkinan besar akan mencari pelampiasan di luar. Saat Jagad berkhianat, saat itulah Rumi bisa bebas. Hening sejenak. Lalu, tawa Jagad pecah memenuhi ruangan kantornya. Bukan sebuah tawa hangat, melainkan tawa yang melecehkan dan penuh d******i yang mengerikan, membuat bulu kuduk Rumi meremang. “Syarat? Cerai?” Jagad berhenti tertawa. Wajahnya berubah datar dan menakutkan dalam sepersekian detik. Tangan kanannya bergerak cepat mencengkeram dagu Rumi, memaksanya mendongak melihat ke arahnya. “Dengar baik-baik, Rumi,” bisik Jagad, suaranya rendah namun berbahaya seperti geraman binatang buas, "sebuah pasal pemutusan hubungan sepihak," gumam Jagad, matanya yang tajam fokus ke wajah Rumi. "Jika pihak pertama melakukan hubungan seksual dengan orang lain, maka pernikahan otomatis batal." "Kau sadar posisimu, Rumi?" Jagad menyeringai menyeramkan, "kita akan menikah siri. Di bawah tangan. Tidak ada catatan negara, tidak ada buku nikah hijau atau cokelat. Kau tidak punya hak hukum atas apa pun." Jagad pindah posisi ke belakang Rumi. Dia menunduk, napas hangatnya menerpa tengkuk Rumi, membuat wanita itu merinding namun tetap menahan diri untuk tidak bergeser. "Pernikahan ini hanya formalitas semata agar aku bisa menidurimu kapan pun aku mau, tanpa dosa!," bisik Jagad kejam. "Itu pasal sampah. Kau pikir aku peduli pada aturanmu, huuh?" Jagad hembuskan lagi napas hangatnya ke leher belakang Rumi. Rumi memejamkan mata sejenak, mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan harga dirinya. Dia mendongak, menatap langsung ke dalam mata hitam legam yang penuh dendam itu. Tidak ada air mata, tidak ada getaran di suara Rumi, yang ada hanyalah tekad bertahan hidup. "Kalau begitu… tanda tangani," tantang Rumi datar, “jika pernikahan ini hanya sampah bagimu, tanda tangan di atas sampah tidak akan merugikanmu, kan?" Jagad terdiam, sedikit terkejut dengan keberanian Rumi. Alisnya terangkat satu. Dia tidak menyangka perlawanan ini. Rumi yang dulu, Rumi yang dia cintai, adalah gadis manis yang penurut. Tapi Rumi yang sekarang ada di hadapannya adalah tembok batu yang dingin dan keras. "Kecuali..." Rumi melanjutkan, matanya menyipit menantang, "kau takut tidak bisa menahan nafsumu di luar sana, Tuan Jagad?!” Rahang Jagad mengeras. Tuduhan itu sungguh menghina egonya. Masalahnya, dia tidak menginginkan wanita lain. Obsesinya hanya pada Rumi, tubuh Rumi, aroma Rumi, terutama penderitaan Rumi. Wanita lain hanyalah gangguan saja. "Kau menantangku?" desis Jagad. Jagad mengulurkan tangan, bukan untuk membelai, tapi untuk menarik dagu Rumi agar menatapnya lurus. "Kau pikir ini tentang cinta, Rumi?" bisik Jagad, suaranya dingin, "tidak, karena ini tentang hukuman. Tapi,…” kembali Jagad berusaha mengintimidasi Rumi. "Aku setujui pasalmu itu," ujar Jagad, “hanya saja, Rumi," Jagad menunduk hingga wajah mereka sangat dekat, "negosiasi itu dua arah, Sayang," Jagad menyeringai, tatapan matanya menggelap berbahaya, “kau dapat klausul konyolmu. Sekarang giliranku." "Apa maumu?" tanya Rumi waspada. "Mulai besok, kau tidak akan hanya menjadi istri siri yang terkurung di rumah karena kau juga akan bekerja di kantorku. Sebagai sekretaris pribadiku, sebagai asisten pribadiku." Mata Rumi membelalak, menolak tegas perintah itu, "aku bukan sekretaris atau pun asisten pribadi. Aku arsitek lanskap, Jagad. Kau tahu itu." "Itu dulu," koreksi Jagad dingin, “sekarang kau milikku dan akan ada dalam pengawasanku 24 jam penuh agar tidak kabur lagi dengan lelaki lain!” Tuduhan palsu itu menusuk hati Rumi, tapi ia menelannya bulat-bulat karena tahu membela diri percuma saja. Jagad sudah menciptakan narasi kebenciannya sendiri di kepalanya dan itu tidak bisa diubah. Jagad kembali duduk di kursi kebesarannya, menatap Rumi dengan mata berkilat yang membakar, sebuah gabungan antara kebencian yang mendalam dan gairah yang menyakitkan. "Selamat datang di nerakamu, Rumi. Di mana kau akan terpenjara 24 jam bersama satu-satunya pria di dunia ini yang ingin membunuhmu, sekaligus satu-satunya pria yang rela mati jika kau pergi!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN