Bagian Satu
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Tamara Virginia Atmadja, binti Nolan Moriss Atmadja dengan mas kawin seratus ribu dollar Amerika dibayar tunai!"
"Bagaimana saksi, sah?"
"Sah!"
"Sah!"
Tubuh perempuan bergaun hitam itu menegang, sementara kedua tangannya spontan meremas kain dari baju yang dia kenakan.
Tidak berada di ballroom seperti para tamu lain, perempuan bersurai panjang itu berada di pintu masuk karena tidak seperti yang lainnya, dia tidak memiliki undangan.
Gevania Bellla Atmadja.
Bukan tamu biasa, perempuan itu adalah kakak sulung dari sang pengantin wanita yang barusaja resmi dipinang oleh Abyan Kara Alexander.
Tidak menjadi pendamping pengantin seperti para kakak pada umumnya, Gevania justru harus berdiri jauh dari keramaian karena jika kehadirannya diketahui orang lain, habislah riwayatnya.
"Harusnya yang duduk di samping kamu adalah aku, Abyan, bukan Tamara."
Dengan suara pelan yang terdengar sedikit bergetar, Gevania berucap dari balik masker hitam yang dia kenakan.
Bukan sekadar kakak dari pengantin wanita yang barusaja menikah, Gevania adalah calon istri Abyan yang seharusnya dinikahi oleh pria itu.
Menjalin hubungan dengan Abyan selama dua tahun lamanya, Gevania resmi dilamar oleh sang kekasih tiga bulan lalu. Merasa cukup mantap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, rencana pernikahan pun dibuat.
Layaknya calon pengantin pada umumnya, Gevania dan Abyan mempersiapkan pesta mereka dengan sepenuh hati, hingga dua malam lalu, Gevania tiba-tiba diminta menghadap oleh sang papa.
Tidak hanya berdua, saat itu di ruangan Nolan, terdapat pula Ibu dan adik bungsunya, Tamara. Tanpa rasa curiga, Gevania bergabung dalam obrolan hingga sebuah fakta mengejutkan didapatkannya.
Tamara mencintai Abyan.
Itulah yang Gevania dengar dari kedua orang tuanya. Kaget? Jawabannya tentu saja iya. Namun, rasa kagetnya karena hal itu tidak berlangsung lama, karena setelahnya—tanpa rasa kasihan, Nolan meminta dia mundur dari pernikahannya dengan Abyan.
"Tamara sangat mencintai Abyan, dan dia enggak yakin bisa menjalani hidup kalau kamu melanjutkan hubungan kamu sama Abyan. Jadi, kalau kamu menyayangi Tamara dan kedua orang tua kamu ini, mundur dari pernikahanmu sama Abyan, terus biarin Tamara yang menggantikan kamu."
Seperti disambar petir di siang bolong, Gevania dilanda shock yang sangat mendalam usai mendengar ucapan sang papah. Namun, tentunya yang paling membuat kaget, kedua orang tuanya kompak mendukung Tamara untuk mengambil Abyan—membuat Gevania seketika terpojok.
Tidak pasrah begitu saja, dia bahkan sempat melakukan perlawanan. Namun, semakin Gevania melawan, semakin pula dia dipojokkan sehingga pada akhirnya keputusan untuk mengalah diambilnya.
Tidak selesai tekanan yang Gevania dapatkan, dia juga diminta untuk berpura-pura kabur bersama selingkuhan agar ketika hari H tiba, Abyan bersedia menikahi Tamara.
Kejam? Jawabannya tentu saja iya. Namun, Gevania pun tidak bisa melawan, karena kedua orang tuanya memihak Tamara dibanding dirinya.
"Sakit banget, Abyan," ucap Gevania dengan suara yang lirih. "Andai kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Selama beberapa menit, Gevania terpaku di tempatnya, menyaksikan betapa bahagia Tamara juga kedua orang tuanya di ballroom sana.
Tidak ada kekhawatiran terhadap dirinya, Nolan juga Rachel hanyut dalam haru ketika Tamara mau pun Abyan melakukan sungkeman.
Gevania sendiri. Satu orang pun tidak ada yang memedulikannya bahkan Abyan—pria yang dua tahun ini dia pacari, pasti sangat membencinya sekarang.
"Abyan, aku di sini," ucap Gevania lagi dengan suara isakkan yang terdengar sakit. "Aku enggak kabur sama selingkuhan aku seperti di surat itu. Aku ada di dekat kamu."
Tidak ada kalimat penenang ataupun penghibur, Gevania larut dalam dukanya seorang diri, hingga setelah cukup lama berada di ambang pintu masuk, dia memutuskan untuk berbalik kemudian melangkahkan kakinya pergi.
Gevania membawa luka. Namun, tidak ada satu orang pun yang peduli padanya—bahkan ketika pesta pernikahan Abyan dan Tamara akhirnya selesai, dia masih seorang diri—meringkuk di kasur apartemen tempatnya tidur selama beberapa hari terakhir.
Selain berpura-pura kabur dari pernikahan, Gevania juga diminta bersembunyi sampai waktu yang tidak ditentukan.
Dilanda sakit karena stress yang dideritanya, Gevania tetap seorang diri hingga setelah dua minggu bersembunyi dari orang-orang yang dia kenal, sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
"Mama," panggil Gevania setelah mendapati nama Rachel terpampang di layar ponsel. "Setelah dua mimggu enggak peduli, apa beliau mau minta aku pulang ke rumah?"
Berada di sofa ruang tengah apartemen, Gevania menjawab panggilan lalu dengan sopan, dia menyapa, "Halo, Ma."
"Geva, Tamara kecelakaan di Tokyo dan kondisinya kritis. Bisa kamu pulang ke rumah? Mama sama Papa mau ke Jepang buat nyusul, dan ada hal yang mau kami sampaikan sebelum pergi."