Renat keluar dari gedung rumah sakit setelah seharian berkutat dengan banyaknya dokumen penting. Wanita itu melirik jam putih di pergelangan tangan kirinya, masih tersisa banyak waktu sebelum ia mendatangi seseorang untuk mewujudkan janji mereka hari ini.
Renat menyisir pemandangan sekitar ketika ia dengan sengaja berhenti melangkah. Ia mendongak, berbeda dengan hatinya yang kelabu, langit sore tampak begitu cerah. Dihelanya napas sambil memijat bahu, lalu menggerakkan leher yang sekiranya sejak tadi terasa tegang.
Dihari-hari ketika Renat berharap semuanya dapat berjalan baik, ternyata masalah kembali datang. Tidak ada lagi komunikasi bersama Abi setelah perdebatan yang terjadi semalam. Pria itu belum menghubunginya sama sekali. Sementara panggilan dan pesan Renat tidak satupun mendapat balasan.
"Kamu ngebales sikapku ya, Bi?" Renat berkata lirih ketika langkahnya kembali membelah jalanan ramai. Dihirupnya sebanyak-banyaknya oksigen, kemudian melepaskan karbondioksida hingga bibir Renat terbentuk lucu.
Renat memilih mempercepat langkah, dia ingin pergi sebentar ke warung nenek untuk menyantap sesuatu. Ia merasa benar-benar butuh menenangkan diri dari sejumlah beban pikiran yang terus saja mengejarnya.
Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk mencapai tempat makan sederhana yang sudah menjadi langganan Renat dan Tae Joon sejak lama. Pria itu yang pertama kali mengenalkan Renat tempat tersebut. Dan berakhir dengan Renat yang terlampau nyaman.
Banyak alasan mengapa Renat betah dan akhirnya menjadi pelanggan tetap. Mulai dari keramahtamahan Nenek Kang selaku pemilik warung nenek kepadanya, lalu berbagai pengertian yang Renat dapati dengan judulnya sebagai muslim. Ketika orang-orang meminum soju, Nenek Kang dengan senyum dan secara istimewa akan meracikkan Renat secangkir teh hangat. Renat benar-benar dianggap sebagai cucu sendiri.
Renat memasuki warung tersebut sembari menyapa formal beberapa orang yang tengah makan. Lalu tersenyum dengan lambaian tangan ke arah Nenek Kang.
"Nata-ya!" ujar Nenek Kang sembari mendekati Renat dan menggiring wanita itu untuk menuju meja kosong. "Tidak biasanya kamu datang ketika sore seperti ini. Apa ada masalah di tempat kerja?"
Renat menggeleng, namun senyum masam tetap menggantung di wajah cantiknya. "Masalah yang lain, Nek."
Nenek Kang sontak menunjukkan reaksi, buru-buru mendudukkan Renat di kursi. "Sebentar, biar Nenek siapkan semangkuk sup panas dan secangkir teh madu untukmu. Kamu benar-benar membutuhkan tenaga di saat seperti ini."
Kecut di wajah Renat tidak pergi. Rasanya begitu tidak enak sebab sering sekali melibatkan Nenek Kang pada sejumlah masalah yang terjadi padanya. Entah itu masalah pekerjaan atau masalah pribadi yang sering melibatkan hati. Nenek Kang akan siap sedia membantunya.
Renat meraih ponsel di dalam tas. Menggulir layar yang tidak menyuguhkan balasan pesan dari siapapun. Namun hati kecil wanita itu seakan-akan memberikan perintah untuk membuka roomchatnya bersama Abi. Biar Renat membaca kembali obrolan mereka yang terkesan tidak penting, namun berharga.
Renata Edelweis: Aku tadi lari pagi berhasil lima keliling dong!
Abirayyan: Kurusan nggak?
Renata Edelweis: Enggak.
Renata Edelweis: Masih segini-gini aja.
Renata Edelweis: Eh, tapikan, aku nggak gendut.
Abirayyan: Aku nggak bilangin kamu gendut.
Renata Edelweis: Tapikan ngearah kesana.
Abirayyan: Yaudah diganti.
Abirayyan: Tinggian nggak? Kan udah lima keliling.
Renata Edelweis: Abi, aku nggak pendek ya
Abirayyan: Kalau jalan bareng dahi kamu cuma nyampai di daguku.
Renata Edelweis: Kamu aja yang ketinggian.
Abirayyan: Rayyan udah sarapan belum?
Renata Edelweis: Belum. Soalnya mama nggak bikin makanan yang Rayyan suka. Jadinya dia mogok makan.
Abirayyan: Awas aja Rayyan sampai kurus.
Renata Edelweis: Masih gendut kok.
Renata Edelweis: Lagian mana mungkin jadi kurus.
Renata Edelweis: Kalau Rayyan kurus, bukan karna nggak makan. Tapi karna aku pelukin terus tiap malam.
Abirayyan: Kenapa dipelukin terus?
Renata Edelweis: Kan kangen Abi
Renat tertawa kecil ketika potongan obrolan tersebut kembali ia baca. Wanita itu benar-benar rindu. Sebab akhir-akhir ini, Renat merasa bahwa mereka sudah lama tidak menyisihkan waktu untuk sekedar mengobrol dan membahas hal tidak penting. Saling mendengarkan suara masing-masing sebagai pengobat rindu. Renat merasa, ia kehilangan sosok Abi yang hangat.
"Nata-ya, kenapa menangis?" Renat mendongak, menatap kembali kehadiran Nenek Kang dengan tangan yang refleks menyentuh mata. Benar saja, ia menangis.
Buru-buru ia menyeka air mata dan tersenyum, "Nenek Kang, pernah merindukan seseorang? Dan apa memang sesakit ini?" Air mata Renat mengalir lagi, menggantikan senyum palsu yang ia pakai sejak tadi.
Nenek Kang meletakkan baki di atas meja dan buru-buru memeluk Renat. Ditepuk-tepuknya pelan punggung wanita itu, berharap dengan begitu Renat akan lebih tenang. "Apa yang terjadi, Nata?"
Renat diam untuk beberapa saat, masih ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum memberikan penjelasan kepada Nenek Kang. Tatapan penasaran orang-orang tidak berlangsung lama, mereka pikir Renat mungkin tengah menangis disebabkan biaya hidup yang tinggi, atau baru saja diputuskan oleh seorang pacar yang ia pacari selama sebulan.
"Nata diajak kembali ke Indonesia." Renat bersuara ketika pelukan mereka sudah terlepas. "Nata diajak menikah, Nek."
Nenek Kang tampak terkejut walau senyum hangat yang terkesan memberi selamat tampak terukir di wajahnya. "Menikah? Ya Tuhan, Nenek ikut bahagia. Lalu kenapa menangis?"
"Nata nolak, Nek," jawab Renat berusaha melirik ke arah lain. Dia malu menatap manik mata milik Nenek Kang.
"Nata-ya? Apa ada yang salah?"
"Nata cuma belum nemuin keyakinan buat hidup sama orang yang nanti bakal Nata panggil suami, Nek. Kalau aja Nata bukan korban dari keluarga yang hancur, mungkin Nata udah nemuin keyakinan itu dari lama."
Nenek Kang menggenggam tangan Renat, memberikan elusan penuh kasih sayang pada wanita itu. "Kamu harus tahu, bahwa dari sekian banyak hadiah yang diberikan oleh Tuhan, pernikahan adalah salah satu yang terbaik. Tidak semua orang bisa merasakan pernikahan, Nata."
"Mungkin Nata bakalan termasuk di dalam daftar orang-orang yang nggak akan ngerasain pernikahan, Nek."
Nenek Kang memberi respon kurang senang. Wanita lanjut usia itu menggeleng, "Jangan bicara seperti itu. Perpisahan yang terjadi pada orangtua kamu adalah takdir. Kamu senang bertemu Nenek?"
Renat tidak mengerti, namun ia tetap mengangguk. "Pastilah, Nek."
"Bertemu Tae Joon? Lalu teman-temanmu yang lain." Renat mengangguk lagi. "Dan mungkin, kalau perpisahan orangtuamu tidak terjadi, kamu dan Nenek tidak akan sedekat ini. Lebih dari itu, kita tidak akan bertemu. Kamu tidak akan bertemu Tae Joon atau teman-temanmu yang lain. Belajarlah untuk merelakan sesuatu yang memang harus dilepaskan, Nata. Belajar menjaga dan belajar meraih. Kelak kita akan paham untuk apa kita di sini."
Renat terdiam cukup lama. Apa terlalu berlebihan jika ia menjadikan orangtuanya sebagai alasan menolak Abi? Namun memang hal tersebut yang Renat rasakan sejak Abi mulai melamarnya. Rentetan masa lalunya yang hitam kembali datang bagai alarm. Mengingatkan Renat secara kejam bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang akan berjalan dengan baik untuknya.
"Nenek bahagia dengan menikah?"
Nenek Kang lantas mengangguk, "Tentu. Itu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup Nenek dan tidak dapat diganti dengan apapun."
"Kehidupan pernikahan Nenek pasti berjalan lancar."
"Tahu darimana? Apa seseorang memberitahumu?" Nenek Kang bertanya lembut. "Kehidupan Nenek begitu jauh dari kata sejahtera, Nata-ya. Namun walau begitu, Nenek dan Kakek tetap mencoba untuk saling percaya bahwa kami bisa melewati fase sulit tersebut. Saling bekerja sama. Nenek tahu jelas konsekwensi tersebut sebelum kami menikah. Tapi karna keyakinan dari Kakek, kami berhasil."
Renat mendengarkan dengan seksama. Sampai akhirnya Nenek Kang kembali melanjutkan ucapannya setelah beberapa saat terdiam menatap Renat. "Lantas apa yang membuat kamu tidak memiliki keyakinan tersebut? Karena calon suamimu hanyalah orang biasa? Tidak mempunyai pekerjaan atau hanya seorang pekerja kasar? Percayalah, Nata, semua akan baik pada masanya."
Renat hanya tersenyum dengan berjuta rasa bersalah yang memakinya. Wanita itu patut bersyukur sebab mendapatkan Abi dalam hidupnya. Dan Renat tahu bahwa hidupnya akan terjamin bila menikah dengan pria itu. Tidak perlu berlama-lama dalam menabung agar bisa berkeliling eropa. Tidak perlu terbebani ketika ia tengah menginginkan barang-barang lucu dan uangnya tidak ada. Sebab Renat bisa memintanya dengan mudah kepada Abi. Namun Renat bukan perempuan semacam itu. Masa lalunya yang kelam memberikan banyak pelajaran agar Renat dapat berdiri di atas kakinya sendiri.
"Terimakasih banyak, Nek. Nata sudah lebih baik sekarang."
Nenek Kang berdiri setelah yakin pada keadaan Renat. "Lalu, mau kemana setelah ini?"
"Ada janji bersama Zahwa. Dia sudah mendapatkan dua tiket untuk kami menonton film bagus bulan ini. Dia cerewet sekali sebab ingin menukarkan kupon gratis popcorn."
"Makanlah supmu dengan cepat. Zahwa pasti akan marah bila menunggu lama."
Renat tertawa kecil, mengambil sendok dan perlahan menyuapkan sup ke mulutnya. Dia harus bergegas. Beruntungnya, Nenek Kang memang membuat perasaannya lebih baik.
♦ r e t u r n ♦
Renata: Aku baru pulang.
Renata: Tadi nonton bareng Zahwa.
Renata: Kamu kemana kok sampai sekarang belum bales?
Renata: Sibuk sama kerjaan, ya?
Renata: Jangan lewatin makan, ya.
Renata: Aku mau bersih-bersih abis itu tidur.
Renata: Goodnight, Abi.
Renat membaca kembali banyaknya pesan yang baru saja ia kirim. Besar harapannya untuk mendapatkan jawaban dari Abi. Diletakkannya ponsel di atas meja nakas lalu segera menuju kamar mandi.
Setelah menghabiskan waktu bersama Zahwa, Renat lagi-lagi habis mendapatkan ceramah panjang dari perempuan asal Semarang tersebut. Tapi beruntung, ketika film tengah berlangsung, Zahwa melupakan haknya untuk berceramah. Wajah bodohnya ketika menatap layar tampak begitu memancing tawa. Setidaknya, itu sudah menjadi hiburan tersendiri bagi hati Renat yang sendu.
Renat berdiri di depan wastafel dan menatap pantulannya di cermin.
"Lo bisa kok, Re," ujar Renat pada dirinya. "Lo nggak bisa terus-terusan hidup sendiri."
Setelah mengucapkan hal tersebut, bukannya merasa lebih baik, Renat pikir ia akan gila hanya dikarenakan bayangannya terhadap menikah. Mungkin, satu hingga tiga bulan pertama rumah tangga mereka akan berjalan menyenangkan. Selanjutnya apa yang akan terjadi? Perkelahian, bisa saja. Renat berpikir bahwa menikah hanya akan membuat mereka cepat bosan satu sama lain dikarenakan terus saja bertemu.
Wanita itu memilih mempercepat kegiatannya. Dia takut menangis dan Renat akan sangat malu bila esok hari bekerja dengan matanya yang bengkak.
Selesai mandi, Renat sudah siap dengan piyama dan hendak naik ke kasur. Namun sebelumnya, Renat mengecek kembali ponselnya dan perempuan itu sukses terdiam.
Abirayyan: Cek ruang makan.
Renat berubah dari tenang menjadi deg-degan. Jantungnya benar-benar tidak aman setelah apa yang Abi perintahkan di pesannya. Takut namun pasti, Renat berjalan menuju pintu dan membuka benda tersebut. Kaki putih mulus miliknya membelah ruang keluarga untuk berjalan ke ruang makan dekat dapur.
Renat memberhentikan langkah ketika ia tahu bahwa tinggal selangkah lagi, ia dapat mengintip ke ruang makan dari balik dinding tempat ia berdiri. Renat dapat mendengar obrolan yang sedang terjadi di sana. Dengan perasaan campur aduk, Renat menggeser sedikit tubuhnya agar ia bisa melihat ke dalam ruang makan.
Tubuhnya membeku, dengan air mata yang jatuh begitu saja melewati pipi. Tepat di depannya, wujud Abi terlihat. Abi benar-benar berada di hadapannya dan tengah tersenyum memandangi Renat. Renat meletakkan telapak tangan untuk menutup kedua matanya. Tangisnya malah semakin menjadi-jadi.
Tidak lama, Renat dapat merasakan sesuatu memeluk erat pinggangnya. Dekapan dan wangi khas pria itu masuk ke dalam indra penciumannya. Renat masih tidak ingin melihat sampai akhirnya Abi mengambil tangan Renat dan secara perlahan menurunkannya.
"Miss me?" ujar Abi dengan senyum miring, membuat Renat langsung saja mencubit perut pria itu tanpa hati. Abi tampak kesakitan, ditahannya tangan Renat berharap perempuan itu berhenti. "Mama kamu sampai pergi duluan karna takut ganggu kita."
Abi mendorong perlahan kepala Renat agar menempel di dadanya. Sengaja, agar pria itu dapat menghirup wangi rambut Renat sepuas yang ia mau.
"Kamu jahat," ujar Renat dengan sisa air mata.
"Aku kangen kamu." Abi mengucapkan hal lain, mencoba mengalihkan perhatian Renat dari perasaan sebalnya. "Udah mau tidur, ya?"
"Enggak mau. Nanti kamu ngilang."
"Aku disini, Re."
"Temenin aku bobo kalau gitu, Abi." Renat berujar dengan manja, tatapan matanya persis seperti anak kucing.
Abi tertawa kecil, "Nggak baik kayak gitu."
"Maunya tidur sama Abi!" Renat mencoba lagi, dia benar-benar rindu pria ini dan Renat pikir dia akan gila sebab tidak bisa menghirup lebih banyak lagi aroma Abi. "Maunya tidur dipeluk Abi."
Abi meletakkan tangan di leher Renat, mengelus lembut rahang wanita itu penuh sayang. "Besok aku kesini lagi. Sekarang kamu tidur, jangan sampai telat bangun."
"Abi," panggil Renat masih seperti anak kucing.
"Kenapa?"
"Poppo," pinta Renat dan Abi sukses mengernyit bingung.
"Apa, Re?"
"Poppo, Abi-ssi!" Renat mengerjapkan matanya beberapa kali, masih berusaha merayu Abi.
"Poppo apa?" tanya Abi seperti orang kebingungan.
Renat terkekeh, lalu dengan gemas mencium pipi Abi hingga pria itu terdiam. "Itu poppo, Abi-ssi."
"Tidur!" ujar Abi datar sebab merasa baru saja dibodoh-bodohi. Dengan cepat diputarnya badan Renat untuk membawanya ke depan pintu kamar. Dan setelah itu Abi dapat pulang dengan tenang.
♦ r e t u r n ♦