2. Almost

2077 Kata
"Aa bangun!" Abiana mengetuk pintu kamar Abi dengan rasa malas. Ini sudah ketiga kalinya dia kembali ke depan pintu dan berteriak berharap Abi akan segera bangun. Namun pria di dalam sana tidak juga kunjung memberi tanggapan. "Mau bangun sampai jam berapa sih, A?! Ini udah jam sepuluh pagi." Abiana yang merasa geram akhirnya memilih membuka pintu kamar tersebut. Perempuan itu sukses melotot dan bergidik akan pemandangan di depannya. Ia buru-buru mematikan pemanas ruangan, lalu berjalan menuju gorden yang menjadi faktor utama mengapa kamar tersebut begitu gelap. "Aa!" teriak Bia kepada Abi setelah ia menyingkap kain gorden. "Bangun! Terus mandi baru sarapan. Makanya Bia nggak mau tinggal bareng. Mendingan Bia di flat sendiri. Tinggal serumah terus ngurusin Aa kayak gini bikin capek tau, nggak?" Bia terus saja mengeluarkan omelannya. Ia malas melihat sesuatu yang tidak rapi. Matanya suka sakit. Dan sang kakak benar-benar menguji imannya perihal kebersihan. Dengan rasa gemas yang tinggal diledakkan, Bia mengambil guling yang tengah dipeluk erat oleh Abi dengan kasar. Lalu tanpa peringatan, memukuli tubuh Abi berulang-ulang. "AA BANGUN!!!" Sementara Abi, dia sudah sadar sejak tadi. Namun pukulan guling yang diberikan Bia secara bertubi-tubi benar-benar mengganggunya. Dalam sekali sentakan, dengan tenaga yang masih bersisa, Abi menangkap lengan mulus Bia hingga wanita cantik tersebut sukses terjatuh di sebelah Abi. Buru-buru Abi memeluk tubuh adiknya bagai memeluk guling. "Panas, kan?" tanya Abi dengan suara serak tepat di telinga Bia. "Jangan ganggu Aa. Jangan teriak-teriak. Kamu keluar satu jam lagi, kan? Hati-hati. Maaf A nggak bisa anterin kamu." Bia yang gerah akibat suhu badan Abi buru-buru melepaskan diri. Wanita itu berubah diam dan menatap Abi yang masih memejamkan mata. Lalu perlahan mengembalikan guling di sebelah Abi. "Yaudah kalau gitu Bia bikinin bubur dulu buat Aa." Bia bersuara pelan, takut-takut bila Abi terganggu lagi. Lantas setelah mengatur letak selimut Abi, Bia keluar dari kamar dan menutup kembali pintu. Abi yang tahu bahwa Bia sudah pergi buru-buru membuka mata. Pria itu memijit pelipisnya. Memikirkan seorang wanita yang jauh benar-benar sebuah perjuangan, tampaknya. Setelah seharian kemarin dia tidak mendapatkan kabar apapun dari Renat. Panggilan Abi tidak dijawab, pesan-pesannya pun tidak dibalas. Dan Abi sukses gila hanya karena memikirkan apa yang sedang Renat lakukan di benua sebelah sana. Pria itu bangkit, duduk di atas tempat tidurnya sembari mengusap wajah dan rambut. Walau keadaannya sedang tidak baik, setidaknya Abi harus membersihkan badan. Bisa-bisa Bia menendangnya dari rumah karena jorok. Diambilnya handuk dari dalam lemari, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Ah, disaat tidak enak badan seperti sekarang, tiba-tiba saja Abi merindukan kehadiran sang mama. ♦ r e t u r n ♦ Abiana Alula: Teteh. Renat membaca chat baru yang datang dari Bia. Ia menggigit bibir sebab ada sedikit perasaan khawatir. Bisa saja bahwa Abi menyuruh Bia dengan sengaja menghubungi Renat. Lalu menanyakan semua kegiatannya sebab sejak kemarin Renat memang sengaja mendiamkan Abi. Renat pikir dia ingin sendiri. Renata Edelweis: Iya. Renata Edelweis: Kenapa, Bi? Abiana Alula: Teh, A Abi sakit. Abiana Alula: Badannya panas banget tadi. Kemarin juga Aa nggak jelas banget. Keluar rumah sore terus baru pulang tengah malem. Renat termenung menatap ponselnya. Berbagai pertanyaan muncul di kepala Renat sepersekian detik kemudian. Apa yang telah Abi lakukan sampai-sampai ia jatuh sakit seperti ini? Renat menatap jam di pergelangan tangan. Sudah pukul tujuh malam. Pun Renat sendiri juga sudah dalam perjalanan pulang. Perempuan itu bangkit dari duduknya di bangku halte, tidak mempedulikan busnya yang baru saja datang. Dengan langkah kaki tergesa, Renat memandang terus ke kanan. Tepatnya ke salah satu toko kopi yang tidak begitu ramai. Dinginnya udara malam membuat Renat memeluk tubuhnya erat. Menghirup udara hingga hidungnya sukses membuat suara. Sesekali ia mengusap kedua telapak tangan. Sementara kepalanya hanya terus memikirkan Abi. Jika saja pria itu tepat berada di depannya, maka sudah Renat pastikan telinga Abi akan panas sebab dijewer. Renat membuka pintu kaca toko kopi tersebut. Segera berjalan ke meja bar untuk menyebutkan pesanannya kepada barista. Ia butuh satu cup kopi panas di tengah udara dingin seperti sekarang. Ah, bila Renat kembali ke Jakarta, dia tentu akan merindukan suasana Seoul. "Ini pesanannya, selamat menikmati." Barista tersebut mengulurkan kopi milik Renat, dan diterima wanita itu dengan senyum terukir. "Terimakasih," ujar Renat kemudian berbalik, mencari meja kosong dekat kaca yang menampakkan suasana lalu lalang di jalanan. Dihirupnya singkat aroma kopi, membiarkan dirinya tenang terlebih dahulu. Baru setelah itu, Renat mencari kontak seseorang dan menekan bagian video call. Renat menunggu, berharap bahwa panggilannya akan segera terjawab. Namun Abi, pria itu tidak juga menerima panggilan Renat. "Tidur kali, ya?" Renat bertanya seorang diri. Kembali menekan bagian untuk kembali menghubungi Abi. Ia berbinar ketika tahu bahwa Abi menerima panggilannya. Dan di detik berikutnya, Renat sukses terkejut sebab pemandangan topless yang diperlihatkan pria itu. "Abi?! Pakai dulu bajunya!" Abi hanya menampilkan wajah bingung, tentu saja ia menerima panggilan Renat hanya dengan handuk terlilit di pinggang, karena Abi baru saja selesai dengan kegiatan mandinya. Walau begitu, Abi tetap patuh dan mengikuti perintah Renat karena setelahnya pria itu memilih melemparkan ponselnya ke tempat tidur. Berjalan ke lemari untuk segera mengambil celana dan kaus santai. Setelah selesai, Abi kembali menatap layar ponsel yang tengah memperlihatkan Renat dengan satu cup kopi di tangannya. Abi menghela napas, menatap Renat serius. "Aku pikir kamu nggak bakalan ngehubungin aku," ujar Abi sembari mengusap rambut dengan handuk putihnya. "Kemarin kemana?" Renat menggigit sudut bibirnya, memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Abi. "Kemarin sibuk banget sama kerjaan, Bi. Mesti ngejar deadline." "Oh ya?" tanya Abi dengan nada terlampau datar. "Walaupun cuma buat kasih kabar singkat?" "Abi udah makan?" tanya Renat dengan nada lembut. Wajah lelah Abi benar-benar membuat Renat tidak tega. "Aku lagi serius, Re. Jawab dulu pertanyaanku. Nggak usah pakai tanya aku udah makan apa belum. Seenggaknya aku masih punya tenaga buat nerima panggilan kamu." "Bi...." "Sesusah itu, Re?" "Bi kamu lagi sakit. Aku ngehubungin kamu sekarang karna pengen tau keadaan kamu. Aku khawatir." Tawa remeh Abi akhirnya terlihat, membuat Renat jadi takut pada pria itu. "Khawatir? Terus kamu kepikir nggak kalau kemarin aku juga khawatir sama kamu? Seharian aku nungguin kabar kamu. Kalau tadi kamu nggak dapet kabar dari Bia kalau aku sakit, berarti kamu nggak bakal ngehubungin aku, kan?" "Abi bukan gitu." "Kamu bosen, Re?" tembak Abi langsung. Lebih baik pria itu bertanya perihal hubungan mereka sekarang agar semuanya berakhir jelas. "Kamu tanya aku bosen atau enggak?" lirih Renat pada akhirnya sebab Abi sudah memancingnya. "Siapa sih, Bi, yang nggak bosen kayak gini? Nggak bisa ke cinema bareng kamu, nggak bisa jalan bareng kamu, nggak pernah main ke taman bareng kamu lagi, nggak ada lagi orang yang boncengin aku di sepeda. Jelaslah aku jawab kalau aku bosen, Bi." Abi diam ketika menatap Renat menangis. Namun pria itu memang enggan untuk menanggung semua kesalahan. Karena ini bukan sepenuhnya salah Abi. "Aku udah bilang ke kamu, Re. Kita bisa balik ke Jakarta. Tinggal di sana. Makanya aku lamar kamu, karna aku pengen kamu jadi istriku, Re." "Kamu tau aku belum bisa, Bi." Renat berujar dengan nada memohon. "Iya, aku ngerti kamu belum siap. Tapi sikap kamu kemarin seakan-akan nggak pengen sama aku lagi." Sebulan lalu, untuk kesekian kalinya Abi mengajak Renat untuk kembali tinggal di Jakarta. Pria itu berharap besar bahwa Renat akan mengiyakan, namun kenyataan pahit lagi-lagi harus Abi telan secara paksa. "Abi aku lagi nggak mau berantem," ujar Renat terdengar putus asa. "Siapa yang ngajak berantem?" "Kamu." Abi menahan helaan napas kasarnya ketika mendengar jawaban Renat yang tegas. Jadi dia, Abi lah yang selalu menjadi akar dari setiap permasalahan mereka. Ditunjukkannya senyum samar pada Renat, membiarkan wanita itu bersama pilihannya sendiri. "Aku tutup dulu---" "Abi," panggil Renat sebelum Abi benar-benar memutuskan panggilan mereka. "Aku sayang kamu. Maaf kalau aku selalu ngecewain kamu. Aku di sini selalu kangen sama kamu, Bi. Sama kita. Tapi aku bener-bener belum bisa ninggalin Seoul, apalagi netap di Jakarta. Aku pikir aku belum sanggup." Abi diam, beranjak dari duduknya setelah sebelumnya memutuskan sambungan dan membuang ponsel sembarangan di atas tempat tidurnya. Ucapan panjang Renat lagi-lagi hanya membuat Abi gerah. Ia butuh keluar dari rumah untuk sekedar menyegarkan pikiran, tidak peduli bahwa tubuhnya begitu membutuhkan istirahat. ♦ r e t u r n ♦ Running shoes hitam yang dipakai pria itu tampak bergerak lumayan cepat di sepanjang jalan. Hanya dengan kaus dibalut jaket lalu celana santai sepanjang lutut, Abi terus saja berlari tidak peduli apa yang akan orang-orang pikirkan tentangnya. Sebab di siang hari seperti ini, Abi berolahraga. Pria itu tiba di sebuah taman rimbun dan menatap beberapa keluarga yang tengah asik berpiknik. Cerahnya London memang membuat orang-orang tidak ingin melewatkan momen bersama keluarga. Pria itu mendesah lelah, pusingnya sudah hilang walau suhu badannya masih saja tinggi. Ketika keluar rumah saja, Abi harus mendengar dulu omelan panjang Bia sebab sudah bersikap keras kepala dan tidak mau istirahat. "Uncle, do you see my little dinosaur?" Abi tersentak ketika seorang anak perempuan datang kepadanya. Terlihat sangat lucu, rambut brunette sebahu dengan dress warna biru muda yang tampak terang di permukaan kulit putihnya. Terlebih dengan aksen British yang ia punya. "No, I do not, Sweety." Abi turun dari bangkunya, berjongkok sambil memegang pipi gembil anak perempuan itu. "Here, let me help you to find it out." Abi akhirnya ikut menatap ke rerumputan, ikut membantu mencari dinosaurus kecil yang anak perempuan itu hilangkan. Beberapa saat mencari, teriakan girang anak perempuan itu terdengar. "Uncle, I found my dinosaur! Thank you so much, Uncle." Abi tertawa, merasa geli padahal pria itu tidak membantu banyak. Tapi reaksi anak perempuan di hadapannya terlihat seolah-olah Abi lah yang menemukan mainan tersebut. Lucu sekali. Abi kembali berjongkok, merapikan sedikit rambut anak itu. "So, what's your name?" "Anne, ei-en-en-i." "And I'm Abi. Uncle Abi." "Is it ei-bi-bi-wai?" "No," geleng Abi tertawa. "It's ei bi ai." "Oh." Kepala Anne tampak mengangguk berulang kali, terlihat bahwa ia sudah mengerti. Barulah, ketika Anne menjauh dengan lambaian tangan, Abi berdiri lalu membalas lambaian tangan tersebut. "Nice to meet you, Anne." Ucapan Abi membuat Anne kegirangan, terlihat jelas dari wajahnya yang berbinar. "Nice to meet you too, Uncle!" Anne membalas dengan suara keras, lalu balik badan dan berlari ke arah dimana orangtuanya tengah tersenyum dan ikut melambaikan tangan kepada Abi. Pria itu membalas, lalu kembali duduk di bangku sembari membuang napas panjang. Abi hanya membayangkan, bagaimana rasanya dipanggil ayah oleh seorang anak. Bagaimana nanti bila ia pulang dari pekerjaannya yang melelahkan ke rumah, sudah ada malaikat kecil cantik yang akan melompat dalam pelukannya. Tapi sayang saja, mungkin hal tersebut belum dapat Abi rasakan dalam waktu dekat ini. "Sendirian?" Abi menoleh dan sontak mengerjap ketika menemukan Audrey---salah satu temannya di universitas dulu. Abi menghela napas entah untuk keberapa kali, menjawab dengan anggukan singkat pertanyaan dari Audrey. "Ngomong dong! Dingin banget cuma ngangguk." "Iya sendirian, Drey," ujar Abi geram. "Nggak baik tau sendirian. Terus anak gadis nggak baik ngelamun." Abi melirik Audrey dengan tatapan datar, pertanda tidak berminat dengan lelucon yang baru saja ia lontarkan. "Pulang sana." Abi mengusir. "Such a bad boy!" seru Audrey sambil mencebik sebal, kemudian mengambil tempat di sebelah Abi. "Lagian lo pikir ini taman lo yang bikin? Enak banget suruh pulang." "Jangan ganggu, bisa? Kalau kerjaan kamu cuma ngomong terus bikin kupingku sakit, mendingan kamu pergi." Audrey memutar bola mata sebal, ingin sekali menjambak rambut Abi bila diizinkan. "Gue bilangin nih ya, Bi. Daripada lo galau, nggak mood, terus jadi orang setengah waras kayak gini, mendingan lo lakuin sesuatu deh. Buktiin ke cewek lo kalau lo nggak main-main." "Udah pernah." "Sekali doang," cebik Audrey. "Kalau dia nolak yang pertama, bukan berarti dia nolak lamaran kedua lo, kan? Jangan apa-apa nyerah dong. Ya menurut lo perempuan mana yang mau nikah kalau mentalnya emang belum siap? Namanya bunuh diri, Abirayyan!" Audrey. Siapa yang melihat wanita itu pasti tidak akan mengira bahwa kalimat tadi dialah yang mengucapkan. Rambut sepunggung berwarna ungu, lalu jeans dan kaus santai. Audrey terlihat lebih cocok bila disebut preman, bukan penasihat cinta Abi. Faktanya, memang wanita itulah yang menjadi teman Abi sebab kemampuannya dalam berbicara sehingga Abi luluh, hingga akhirnya mau mengungkapkan perihal Renat kepada Audrey. "Menurut kamu aku harus gimana?" tanya Abi setelah beberapa saat terus saja berpikir mengenai rencananya terhadap Renat. "Susulin." "Apa?" "Susulin. Kurang jelas emangnya?" "Emang bakalan bikin Renat luluh?" "Maksudnya?" Audrey mengernyit. Kalimat sangsi milik Abi sukses membuatnya pusing. "Iya. Emangnya bakalan bikin luluh? Padahal tadi aku nawarin ke dia buat udahin hubungan kita." Audrey yang mendengar sukses tidak bisa memberi respon. Dia terlampau kaget dan kesal. Hingga yang sanggup Audrey perbuat hanyalah, memukul keras kepala Abi. Takut saja bila ternyata Abi memang positif tidak waras. ♦ r e t u r n ♦
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN