Jalanan pagi di seluk kota Seoul terlihat damai. Satu atau dua mobil pick up berwarna biru tampak melewati jalanan tersebut. Seorang gadis dengan topi warna putih tampak asik dengan sepeda berkeranjang kayu di bagian belakangnya. Bila kotak keranjang itu dibuka, maka akan terlihatlah deretan botol berisikan s**u sapi segar. Tersisa lima botol s**u yang belum diberikan, dengan sepuluh botol s**u kosong.
Bunyi lonceng sepeda yang dibunyikan akhirnya memecah sunyi suasana. Bertepatan dengan itu, seorang wanita cantik keluar dari rumah dan buru-buru membuka pagarnya. Kakinya dialas oleh kaus kaki putih semata kaki beserta sandal warna abu-abu.
"Selamat pagi, Nata Eonnie!" Sebuah sapaan hangat yang berasal dari gadis pengantar s**u membuat bibir wanita cantik yang akrab disapa Nata itu merekah sempurna.
"Pagi juga, Sooyeon-ah! Aku nungguin kamu daritadi, loh." Renat berkata sembari menerima s**u dari tangan gadis bernama lengkap Choi Sooyeon itu.
Sooyeon tampak tertawa kecil. "Aku tadi membantu Nyonya Oh dulu untuk mengangkat belanjaannya yang begitu banyak ke mobil. Kasihan, dia sendirian. Lagipula, seharusnya dia sudah menambahkan supir pribadi untuk membantunya kemana pergi. Dia kan kaya. Akan terlihat aneh bila kemana-mana menyetir mobil sendiri."
"Seperti biasa, selalu menjadi Sooyeon yang ramah."
"Gomabseubnida, Eonnie!"
Mereka tertawa bersama setelah itu. Sembari memeluk botol s**u miliknya, Renat membantu Sooyeon untuk meletakkan kembali botol kosong miliknya ke dalam keranjang. Setelah itu, Sooyeon kembali naik ke sepedanya, merapikan topinya dan tersenyum lebar sambil melambaikan tangan pada Renat.
"Sampai jumpa, Nata Eonnie! Semoga harimu menyenangkan!" Sooyeon berteriak kala kakinya mulai memutar pedal sepeda.
"Kamu juga, Sooyeon-ah!" balas Renat juga dengan suara keras.
Renat menatap botol susunya tersenyum. Lalu balik badan untuk kembali masuk ke rumah. Ah, waktunya dia memulai kegiatan hari ini!
"Re, sarapan kamu dimakan." Ucapan Gita---mama Renat---terdengar tepat ketika Renat masuk. Renat dengan semangat menuju dapur. Mengambil talam, lalu memindahkan piring-piring kecil berisi lauk pauk beserta mangkuk kecil yang menjadi tempat nasi pada talam tersebut.
Dibalut baju kaus kebesaran dan legging hitam, Renat berjalan menuju ruang keluarga dan duduk tepat di depan meja sofa. Biasanya Renat tidak akan makan di depan televisi seperti sekarang. Kakeknya mengajarkan untuk terbiasa makan di meja makan secara bersama-sama. Berkumpul, bercengkerama, bercerita bagaimana hari-hari kemarin dilalui.
Namun keadaan sudah lama sekali berubah. Kakek yang begitu Renat kagumi itu sudah lama pergi. Tidak ada lagi ucapan lucu super formal dari kakeknya. Atau tempat curhat yang akan memberikan Renat nasihat bijak. Kakeknya banyak memberikan pelajaran lewat momen-momen indah yang hanya menjadi kenangan. Tapi setidaknya, Renat bersyukur untuk itu.
"Ma, mau susunya nggak? Atau Renat habisin semua, nih." Renat bertanya, lalu kembali menyuapkan nasi ke mulutnya. Diletakkannya sendok lalu memegang sumpit, kemudian memilih lauk dan lagi-lagi mengunyah dengan semangat.
"Kamu aja yang minum. Mama udah kenyang." Gita muncul entah darimana, duduk sebentar di samping Renat untuk melihat acara televisi. Wanita itu fokus mengganti saluran sebab ingin mencari berita cuaca. "Tuh, nanti kalau berangkat jangan lupa bawa payung."
"Ne!" jawab Renat walau masih sibuk dengan makanannya.
"Re," panggil mamanya lagi dan dengan mulut penuh Renat menoleh. Memberikan tanggapan melalui ekspresinya. "Mama belum bilangkan sama kamu?"
"Kenapa, Ma?"
"Mama mau balik sebentar ke Jakarta. Ada yang harus diurus."
Renat tak berkedip, sementara potongan kimchi yang tadinya masuk ke mulut tidak lagi terkunyah. Wanita itu terlalu terkejut akan tujuan sang mama. Setelah sekian lama tidak pernah kembali ke Jakarta, akhirnya sang mama memutuskan kembali kesana, entah untuk berapa hari.
"Mama yakin pergi sendiri?"
Mamanya terlihat mengedikkan bahu. "Kamu juga nggak akan mau nemenin Mama, kan? Lagian Mama ke Jakarta buat cek rumah baru kita."
"Apa, Ma?" Renat bertanya terkejut, walau nada suaranya teramat pelan. "Rumah baru kita?"
Gita mengangguk, "Hm. Lagian kamu nggak bosen di sini terus? Kayaknya udah waktunya kamu balik buat tinggal di Jakarta."
"Maksud Mama apasih, Ma?" Renat bertanya lebih serius, menatap mamanya fokus seperti menuntut jawaban sesungguhnya.
"Re, mau sampai kapan kamu kayak gini terus? Kalau kamu emang nggak bisa terima Abi, Mama nggak maksa, Mama bakalan tetep setuju kalau kamu udahin hubungan kamu sama Abi. Terus kamu bisa cari laki-laki disini, nikah sama dia."
"Ma!" Renat terlihat protes. Sebab bukan kalimat semacam itu yang Renat harapkan keluar dari mulut mamanya.
"Kamu nolak lamaran Abi, Re."
"Ya kalau Re nolak lamarannya terus kenapa? Re nggak harus udahin hubungan Re sama Abi, kan?"
"Kamu udah dewasa, Renata. Mau sampai kapan pacaran? Nggak akan nikah?"
"Kenapa malah jadi bahas nikah sih, Ma? Re punya alasan kenapa nolak Abi. Bukan karna Re nggak pengen, tapi Re takut kalau akhirnya hubungan Re nggak jauh beda kayak mama sama papa!"
Renat menyudahi sarapannya. Mengangkat sisa makanannya kembali ke dapur. Berdebat dengan topik semacam tadi di pagi hari benar-benar merupakan suatu yang salah. Renat hanya ingin hari-harinya berjalan terus seperti biasa. Tanpa adanya suatu kewajiban di pundaknya.
Menikah. Menurut Renat bukanlah hal sederhana. Karena hal tersebut bukan hanya tentang pesta megah. Memakai gaun pernikahan mahal dan tersenyum menerima doa dari setiap tamu yang datang. Namun perihal janji. Janji pada Pencipta. Dan Renat takut apabila nanti ia dan Abi tidak mampu, dan berakhir melanggar janji tersebut.
Renat berbohong bila dia berkata tidak merindukan Abi. Dalam setahun, mungkin mereka hanya bisa bertemu sekali. Pun ketika ia melanjutkan pendidikan di Berlin, Abi hanya datang dua kali. Sedang Renat hanya sanggup sekali mengunjungi Abi di London. Uangnya bisa habis apabila terus mengunjungi pria tersebut.
Setidaknya, mereka tetap bisa berkomunikasi lewat ponsel. Itu sudah cukup bagi Renat, walau memang berat untuk dijalani. Wanita itu menghela napas panjang. Benar-benar bingung harus melakukan apa.
Renat berbalik, berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia harus segera mandi dan bersiap-siap. Pekerjaannya lumayan banyak hari ini.
♦ r e t u r n ♦
"Nata-ssi! Ayo makan siang!"
Renat sukses menoleh dari kertas-kertas yang tengah ia tekuni. Menatap pria tinggi yang sepertinya tengah berharap agar Renat segera mengiyakan ajakan makan siangnya. Choi Tae Joon.
Renat membuang napas panjang. Meninggalkan sebentar kegiatannya menatap data-data yang sedang ia survey. Wanita itu berdiri, meraih ponselnya lalu segera berjalan menuju Tae Joon.
"Mau makan dimana?" Renat bertanya ketika langkah mereka menyusuri koridor hendak menuju lift.
"Aku mau mengajakmu makan siang di warung nenek. Bagaimana? Aku pikir masih sempat untuk sekedar makan siang di sana lalu kembali lagi ke rumah sakit sebelum jam istirahat kita berakhir."
Renat terlihat mengangguk tanda setuju. Diberikannya senyum tipis pada Tae Joon, sehingga pria itu juga ikut tersenyum. Sebenarnya, Renat dan Tae Joon sudah berkenalan baik sejak lama. Alasan mengapa Renat bisa bekerja di salah satu rumah sakit Seoul sebagai informatics officer karena Tae Joon merekomendasikannya. Tae Joon memang teman terbaik sejak mereka bertemu dua tahun lalu, dan Renat harap seterusnya.
"Tae Joon-ah!"
"Hm?"
"Menurut kamu, nikah itu kayak gimana?"
Tae Joon tampak terkejut, namun pada akhirnya tetap saja tertawa. "Kenapa tiba-tiba mempertanyakan hal tersebut?"
"Enggak. Nggak apa-apa. Cuma pengen tau pendapat kamu."
"Aku belum menikah. Tapi kalau kamu tanya bagaimana pendapatku, menurutku menikah itu proses. Ujian. Tanpa pembelajaran sebelumnya. Tapi kita bisa menjadikan pengalaman orang lain pelajaran."
Renat menatap Tae Joon sembari menerawang pada masa lalu. Teringat bagaimana hubungan kedua orangtuanya yang kandas disebabkan kecurangan. Renat tidak ingin seperti itu. Belum lagi apabila nanti dia memiliki anak, dan anaknya menjadi korban persis Renat dahulu.
Renat benar-benar merasa bersalah setiap kali memikirkan hal semacam itu. Bukan kepada orangtuanya, melainkan kepada Abi. Seolah-olah Renat tidak percaya bahwa Abi akan sanggup menjaganya apabila mereka sudah tinggal dalam satu rumah. Padahal sudah jelas, sosok pria itu saja sanggup menemaninya tidak peduli sejauh apapun jarak mereka sekarang.
Yang Renat butuhkan kini hanyalah keyakinan. Namun sayangnya, ia belum menemukan keyakinan tersebut. Sebab ada sedikit hal di dalam dirinya yang sudah terbiasa akan ketidakhadiran Abi. Sebaliknya, pria yang kini berjalan tepat di samping Renat, hampir setiap saat menemaninya.
Karena Renat benar-benar tidak tahu bagaimana Abi menjalani kehidupannya di Britannia sana. Entah dia juga memiliki satu-satu teman dekat perempuan. Atau malah begitu banyak.
"Nata-ya!" Panggilan Tae Joon akhirnya membuat Renat sadar dari lamunannya. Wanita itu mengerjapkan mata beberapa kali. Merasa bersalah pada Tae Joon. "Kenapa melamun?"
Renat menggeleng, "Enggak kok. Aku nggak ngelamun."
"Bohong," ujar Tae Joon dengan pandangan menyelidik. "Kamu memikirkan pacarmu itu, kan?"
Setelah menghela napas panjang, dengan nada putus asa Renat menjawab. "Aku sendiri juga bingung, kita berdua masih pacaran atau enggak."
♦ r e t u r n ♦