Bab 3

1539 Kata
Dan tetaplah berdiri di sana Biarkan aku yang berlari Meski waktu berlalu Aku kan tetap kembali 16 tahun kemudian ... Pagi di kota Bogor tidaklah seistimewa Jakarta. Kemacetan di jalan raya bukan disebabkan kendaraan pribadi, melainkan angkutan umum yang menjadi raja jalanan. Terutama ketika jarum jam menunjukkan pukul enam tiga puluh pagi. Keramaian tak hanya disebabkan oleh para pencari rupiah tapi juga berbarengan dengan mereka yang menuntut ilmu. Tetapi kebisingan jalan raya tidak mempengaruhi kesibukan di sebuah kedai bakery yang terletak di kawasan Yasmin. Kedai yang bernama Delish Bakery itu sudah bersiap-siap sejak pukul enam pagi. Terutama karena roti yang ditawarkan adalah fresh from the oven. Delish Bakery dikelola oleh tiga wanita berusia empat puluh tahunan. Mereka adalah Ros, wanita berkacamata bulat yang sangat menyukai warna putih : Melati, wanita berhijab turban yang menyukai malanan manis : dan Cempaka, wanita berambut cepak youngen yang sangat jarang tersenyum. Koki utamanya adalah Melati. Ketiganya dibantu oleh seorang gadis cantik yang baru saja mendapat gelar strata satunya. Kedai roti ini mengusung tema classic minimalis. Warna- warna lembut dan tegas bersatu menghiasi kedai nyang sudah berdiri selama sepuluh tahun. Lokasi yang strategis karena tidak jauh dari pusat perbelanjaan, membuat kedai roti ini tidak pernah sepi pembeli. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan tempat ini sebagai spot instagramable. Layar televisi masih menampilkan berita infotainment. Kali ini tentang gelaran pes7ta resepsi pernikahan mantan artis cilik Tasya Kamila. Gadis muda yang baru saja mengelap meja counter segera mengambil remote dan memperbesar volume suara televisi. Berbaèlut gaun putih elegan, wajah imut Tasya Kamila tak juga tersaput. Ya, ia masih tampak seperti Tasya Cilik, sapaannya semasa hits sebagai penyanyi anak-anak beberapa tahun silam. Namun, lepas dari parasnya yang masih imut, Tasya kini sudah dewasa. Dan kemarin kedewasaan itu dikukuhkan di depan penghulu saat ia dinikahkan dengan Randi Wardhana Bachtiar dengan mas kawin 5.818 US Dollar atau setara dengan 83 juta Rupiah. Bukan sekedar unjuk jumlah, angka tersebut mewakili tanggal, bulan, dan tahun pernikahan mereka. Diiringi latar suara khas dari acara infotainment yang tampak lugas dan terkesan mada nyinyir, layar televisi terus menayangkan euforia kebahagiaan acara pernikahan selebritas tersebut. Satu-satunya orang yang masih setia menonton acara itu hanyalah si gadis berambut cokelat madu. Perhatiannya benar-benar tercurah pada gawai elektronik besar yang sengaja dipasang di dinding toko. Apalagi keadaan kedai masih sepi, belum ada pembeli yang datang. “Perasaan dari kemarin, berita itu terus, Neng?” sapa seorang wanita paruh baya yang baru keluar dari dapur. Ia membawa nampan berisi roti- roti hangat yang baru saja keluar dari oven di tangannya. “Biarin aja atuh, Bi Ros. Lagian Lita suka sama si Tasya ini. Nggak kayak artis lainnya. Udah mah cantik, pinter lagi.” “Ah, kalo kata Bi Mel, Lita lebih cantik. Lebih pinter juga,” sambar salah seorang wanita paruh baya lainnya dari dalam dapur. Lita yang mendengarnya hanya diam tersenyum senang. Tetapi matanya tetap tidak terlaihkan dari layar televisi. “Cowoknya juga keren ya, Bi. Keturunan orang kaya, pinter, ganteng. Pas deh pokoknya,” oceh gadis itu lagi. “Neng Lita sok-sok an bilang serasilah, cocoklah, paslah. Emangnya Neng Lita sendiri tau gitu, pasangan yang cocok teh kayak gimana?” Bibi Ros mendekat ke meja counter setelah merapikan roti di etalase display. “Tahu, dong. Pokoknya kalo yang cantik itu harus sama yang ganteng. Itu kalo dari fisik. Nah, masalah pendidikan itu harus selevel. Kayak yang di tivi tadi. Dua- duanya kan sama-sama lulusan S2. Di luar negeri lagi.” Lita menjelaskan dengan penuh semangat. Bibi Ros duduk bersebelahan dengan Lita. “Si Neng kayak yang udah pernah pacaran aja?” ledeknya sembari mengusap rambut Lita dengan sayang. Mendengar ucapan itu Lita memonyongkan bibirnya. Raut wajahnya berubah bete. “Itu kan karena papa yang ngelarang aku, Bi.” “Masak sih? Tumben Neng Lita nurut sama papanya.” “Ish, Bibi mah. Bi Ros sama Bi Mel dengerin ya kata Lita. Lita tahu tiap kali ada yang suka sama Lita tuh. Tapi Lita suka ingat sama pesan Papa. Kalo nyari pacar tuh harus yang potensial.” “Potensial kayak gimana Neng?” “Yang kayak Papa dong,” ujar Lita bangga kemudian tertawa. Kedua wanita paruh baya yang mendengarnya tertawa bersama. “Permisi, kedai rotinya sudah buka?” Sebuah suara menghentikan tawa mereka. Seorang pria berusia awal tiga puluhan tampak berdiri di depan pintu masuk kedai. Menunggu diizinkan masuk. “Saya sudah ketuk – ketuk pintu dari tadi,” jelasnya. Bibi Ros yang masih berada di dekat counter kasir bergegas menuju pria itu. Bukannya menyambut, ia malah menarik daun telinga kiri si pria. “Kamu ini ya, kirain pelanggan beneran.” “Aw ... aw ... aw.... Sakit Bi.” Pria mengikuti tarikan Bibi Ros dengan terpaksa. “Duduk sini.” Wanita bercelemek baby pink itu memberi perintah. Tamu pria itu menuruti tanpa banyak kata. Sebuah meja bundar dengan hanya dua kursi. “Memangnya selama ini Ren bukan pelanggan beneran ya, Bi?Lagian tumben masih sepi, gini?” “Bukan. Kamu itu lebih dari pelanggan, ” Bibi Ros mengelap meja tempat Ren duduk, “Espresso 1, kan?” Ren memgangguk dan tersenyum manis. “Bibi emang paling tau favorit aku,” pujinya. “Itu bukan favorit. Tapi terpaksa. Biar kamu bisa fokus sama kerjaan kamu.” Tanpa mengalihkan pandangan dari televisi, Lita menimpali ucapan Ren. Pria itu tergelak. “Kamu bicara sama siapa Adik Kecil? Kalo bicara itu harusnya perhatikan lawan bicara.” Lita memutar bola matanya mendengar balasan dari Ren. Pria yang berselisih usia delapan tahun di atasnya itu sering kali mengejek atau menjahilinya. “Kamu lagi nonton apa sih, Cil?” tanya Ren pada Lita. “Infotainment.” “Gossip siapa?” “Bukan gossip, tau,” jawab Lita ketus. “Katanya infotainment. Itu kan acara gossip, Cil.” “Cal, cil, cal, cil. Namaku itu Lita. Jelita. Lagian nggak semua yang ada di infotainment itu gosip. Judulnya aja infotainment. Berarti ngasih info.” “Iya, deh. Terserah apa katamu aja. Emangnya ada info apaan sampe kamu serius gitu nontonnya?” “Ini nih, acara pernikahannya Tasya Kamila. Ntar kalo aku nikah, kayak dia ah. Calon suamiku harus ganteng, pintar, kaya.” Ren yang sedang menyeruput kopinya tersedak mendengar kalimat Jelita. Bahkan ia sedikit menyemburkan kopi. Membuat mulut dan dagunya kotor oleh cairan berwarna hitam. Bibi Ros tertawa lepas melihat kekagetan Ren. “Hati – hati kalo lagi minum. Ini.” Ia meletakkan serbet putih di atas meja. Ren nyengir melihat tatapan kasihan Bibi Ros. “Kamu mau menikah?” tanya Ren penasaran setelah ia membersihkan mulut dan dagunya. “Iya dong. Lagian nggak ada yang nggak mau nikah.” Raut wajah Ren berubah pucat mendengar jawaban spontan Jelita. “Kamu udah punya calonnya?” “Calon apaan?” Jelita balik bertanya penasaran. “Ya calon suami, Cil. Tadi katanya mau nikah.” Ren menyeruput kembali kopinya pelan. “Dih, dokter Ren lagi ngawur ya? Aku tuh emang bilang pengen nikah. Tapi bukan berarti bakalan nikah besok kan?” Kali ini Jelita menjawab sambil menatap Ren. Ia sudah memindahkan saluran televisi ke salah satu stasiun tivi yang terkenal dengan slogan televisi masa kini. Setelah mengecilkan volume televisi, kini ia memutar sebuah kaset pada tape recorder. Salah satu keunikam lainnya dari kedai ini adalah penggunaan kaset sebagai pemutar musik. Hal yang sudah sangat jarang ditemui di era digital. Mungkin ini memang jalan takdirku Mengagumi tanpa dicintai 'Tak mengapa bagiku Asal kau pun bahagia dalam hidupmu, dalam hidupmu Telah lama 'ku pendam perasaan itu Menunggu hatimu menyambut diriku 'Tak mengapa bagiku Mencintaimu pun adalah bahagia untukku, bahagia untukku 'Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu Meski 'ku tunggu hingga ujung waktuku Dan berharap rasa ini 'kan abadi untuk selamanya Dan izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja 'Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja 'Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu Meski 'ku tunggu hingga ujung waktuku Dan berharap rasa ini 'kan abadi untuk selamanya Dan izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja 'Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja (Cinta Dalam Hati – Ungu ) “Siapa tahu sebenarnya kamu memang udah punya calon?” Ren kembali melontarkan tanya. “Emang kenapa? Dokter Ren mau ngadu ke papa? Mentang-mentang dokter kenal sama papa aku, bukan berarti harus laporan terus kan. Aku tahu kok, dokter Ren kan yang suka kasih tahu Papa kalo ada cowok yang lagi ngedeketin aku.” “Kata siapa?” “Kata aku barusan.” “Cil, lain kali kalo mau menuduh sesuatu itu harus sertakan bukti ya. Udah, ya. Aku harus cepet masuk nih. Bi Ros, Bi Mel, aku pamit kerja ya. Dadah.” Ren beranjak dari kursinya. Ia melambai sebentar pada Bibi Mel yang sedang berdiri di belakang counter kasir. “Cil, kedai kok masih sepi ya?” Tepat di depan pintu ia membalikkan penanda buka kedai yang ternyata masih bertuliskan closed kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Lita. Otomatis itu membuat wajah jelita memerah menahan malu. Karena seharusnya itu menjadi tugasnya. Ia pun akhirnya menyadari alasan kedai rotinya masih sepi dari pelanggan. Demi mengurangi perasaan bersalahnya, Jelita bergegas membawa cangkir kopi pesanan Ren ke dapur. Kemudian ia membuang serbet bekas ke tong sampah. “Neng Lita yakin bisa tahu kalau ada laki – laki yang suka sama Neng?” Jelita mengangguk yakin mendengar pertanyaan itu. “Tapi kok Ibi nggak yakin ya?” sanggah Bibi Ros. “Kenapa, gitu?” “Karena setiap hari ada yang yang selalu Neng Lita lewatkan.” Bibi Ros mengambil serbet yang ada di dalam tong sampah. Ia membuka lipatan serbet yang terlihat rapi itu. Dan pesan manis tercoret di sana Seperti kumbang yang menanti musim semi Inilah diriku Laksana kembang yang menunggu angin sepoi Itulah dirimu H ^^^^^^ Ren berjalan kaki sejauh 500 meter dari Delish Bakery menuju tempatnya mengabdi menjadi residen. Sebuah rumah sakit swasta. Pilihan tempat yang tidak akan pernah ia ceritakan pada siapapun alasannya. Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh membuat Ren selalu bisa menikmati paginya di kantin yang terletak dekat dengan parkiran mobil. Sepotong risoles mayones menjadi cemilan pembuka aktifitasnya. Sambil menikmati jajanan pasar itulah ia senantiasa berkirim pesan dengan seseorang. Menyampaikan kegiatan paginya dengan senyum terkembang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN