Bab 2

645 Kata
“Eh, Kribo. Gimana nih?” “Gimana apaan?” “Kita kasih tahu Bos kagak kalo kejadiannya malah jadi tabrakan begini?” “Halah. Ngapain repot-repot sih. Justru kalo kayak gini kan bagus. Orang-orang taunya kalo ini Cuma kecelakaan. Udah ayo kita cabut dari sini. Masyarakat udah pada nolongin ini. Tugas kita Cuma mastiin kalo mereka udah pada tewas.” “Eh, lo yakin mereka udah pada koit.” “Lo liat aja sendiri! Tabrakan sama truk gitu. Udah, ayo, kita jangan lama – lama di sini. Keburu polisi datang.” Meyelinap di antara orang-orang yang berkerumun menyaksikan peristiwa tabrakan, tidak ada seorang pun yang memperhatikan dua orang pria berjaket denim kumal. Apalagi menyimak obrolan berupa bisikan mereka. Hanya satu orang yang memperhatikan keanehan dua orang itu. Pemilik mata itu adalah sang pengendara Mercedes yang masih terduduk di kursi pengemudi. Dalam kaburnya pandangan ia mencoba untuk melihat lagi dua sosok yang mencurigakan baginya. Terutama karena jaket yang dikenakan kedua orang itu sama persis dengan pengendara motor yang mengikutinya. Matanya mulai terasa berat. Ia mulai merasakan sesak napas. Dalam kesadaran yang mulai meredup si pengemudi merasa ada yang menarik tubuhnya. Sayup-sayup terdengar suara dentuman di telinganya. Saat itulah ia sudah tidak bisa mengingat apapun. Putih menjadi hal yang pertamaa kali dilihat Rayhan ketika ia membuka mata. Ia mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Seketika rasa sakit mendera kepalanya. Seorang perawat segera menghampirinya. Berusaha menenangkannya. “Bapak jangan banyak bergerak. Harap tenang.” “Saya harus pergi, Sus.” Rayhan berusaha melepas jarum infus di pergelangan tangan kirinya, namun segera dihalangi oleh perawat. “Kondisi Bapak sedang tidak sehat. Bapak sekarang ada di rumah sakit.” “Tapi saya harusnya nggak di sini. Istri dan anak saya ....” “Istri Bapak selamat. Juga anak Bapak.” Perawat itu memotong kalimat Rayhan dengan informasi yang memang dibutuhkannya. Kalimat itu juga menghentikan usaha Rayhan untuk bangkit. Setelah meminta Rayhan untuk tetap berbaring dan memastikan cairan infus masih tersambung dengan baik, ia tersenyum dan berujar, “Sebentar lagi dokter Asykar akan kemari. Saya sudah memberi tahu beliau Bapak sudah sadar.” Sambil berbaring Rayhan mencoba untuk mencerna ucapan perawat sebelum keluar. Ia memperhatikan sekelilingnya dan menyadari bahwa ia bukan berada di IGD. Ruangan tempatnya berbaring memiliki lebih dari satu ranjang. Ia tidak dapat memperkirakan berapa karena tirai di kanan kirinya. Tak lama pintu terbuka. Satu sosok yang sudah sangat dikenal Rayhan berdiri dan tersenyum. “Asykar.” Dokter Asykar gegas menghampiri ranjang. Ia menahan tubuh Rayhan yang mencoba untuk bangkit. “Jangan banyak bergerak, Han.” “Asykar, tolong aku. Istriku ... putriku ... aku harus pergi.” “Tenangkan dirimu. Istri dan anakmu selamat. Sekarang kau pun harus pulihkan diri dulu.” “Tapi bagaimana kondisi mereka sekarang? Apakah mereka mengalami luka-luka?” “Saat ini aku hanya bisa bilang mereka berdua masih hidup. Putrimu bahkan tidak terluka sedikitpun.” Asykar segera membuka tirai di sebelah kanan. Rayhan menitikkan air mata saat melihat sosok mungil yang tertidur pulas di atas ranjang. Putrinya tampak lelap. Dengan isyarat anggukan kepala ia meminta sang dokter agar menutup kembali tirai. “Bagaimana dengan Cantika, istriku?” Asykar terdiam dan menatap Rayhan dentan sendu. Ia merasa ragu untuk mengatakan kondisi cantika. “Dengar, Han. Kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi kami ....” “Kamu bilang istriku selamat.” Rahyan marah mendengar penuturan Asykar. “Iya. Dia selamat.” “Lalu apa maksud kalimatmu?” “Kamu perlu tahu bahwa kecelakaan mobilmu itu terjadi lima jam yang lalu. Putrimu, Jelita, sudah beberapa kali terbangun. Bahkan ia dalam keadaan sadar saat dibawa ke IGD. Kau sendiri sempat bangun dan meracau tak jelas saat di IGD. Itulah yang menyebabkan aku mengenalimu. Kau memanggil namaku. Sementara Cantika saat ini masih berada di ruang ICU. Posisinya yang berada di kursi penumpang depan membuat ia mengalami benturan yang cukup keras. Kondisinya saat ini masih belum sadarkan diri.” Rayhan mengepalkan kedua tangannya ketika memdengar penuturan sang dokter. Wajahnya memerah menahan amarah. “Han, sebenarnya apa yang terjadi? Kamu adalah pengendara yang baik. Bagaimana bisa terjadi tabrakan seperti itu? Polisi bahkan tadi memintaku untuk melakukan tes darah padamu, untuk mengecek kadar alkohol.” Rayhan menatap Asykar lama. Sebuah pilihan sudah ia tetapkan. Baginya saat ini hanya sang sahabatlah yang dapat membantunya. “Aku perlu bantuanmu. Dan hanya kamu yang dapat membantuku,” ucap Rayhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN