3. Kebetulankah?

1509 Kata
Aditya merasa curiga dengan tingkah sang istri. Ia sengaja tidak mengabari pulang pagi ini. Aditya ingin tahu apa yang dilakukan sang istri saat pagi hari. Ada seorang wanita yang memberikan informasi jika sang istri sering bertemu dengan laki-laki lain. "Lho, Mas Adit pulang kok nggak ngabarin?" tanya Sashi yang terkejut sekaligus bahagia. "Kenapa? Jadi keganggu ketemuan sama laki-laki lainnya?" tanya Aditya dengan sinis. "Kok tahu aku ketemu sama laki-laki? Jelas, aku lagi tunggu orderan lauk dan sayur untuk sarapan. Kebetulan bahan makanan dan sayuran habis. Kurir yang antar namanya Sutopo. Lihat ini," kata Sashi dengan riang sambil menunjukkan layar ponsel bututnya itu. Aditya mengembuskan napas kasar. Sashi seolah tidak menyadari amarahnya saat ini. Lagi pula, mengapa harus takut jika Sashi bertemu dengan laki-laki lain? Kelakuan Aditya bahkan lebih parah dari sekadar bertemu dengan wanita. "Nah, itu Pak Sutopo. Bentar, Mas, aku bayar dulu. Nanti aku siapkan kopi juga pakaian ganti," kata Sashi dengan riang pagi ini. Sashi memang benar-benar lugu dan tidak tahu apa yang dilakukan sang suami di luar sana. Ia hanya tahu jika Aditya bekerja. Padahal, andai Sashi tahu, hilang sudah kepercayaan pada sang suami. Akan tetapi, mungkin Tuhan sedang menutupi aib Aditya dan keluarganya. Tepat pukul tujuh pagi, semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Mereka sarapan bersama seperti biasanya. Memang hanya bertiga saja, Santika, Aditya, dan Sashi. Sashi makan dengan tenang sambil memikirkan design baru untuk pabrik perhiasannya. Ada beberapa ide yang mendadak muncul dan sangat mengganggu. Ia tidak tahu harus menggambarkannya bagaimana. Sangat sulit mencari keberadaan kertas dan pulpen. Santika bisa curiga jika ia melakukan sesuatu di luar kebiasaan. "Ma, nanti aku ke pasar bentar, ya. Mau beli perangkap tikus. Biar ketangkep tikus yang ada di gudang itu. Berisik banget kalo malam. Tadi pagi aku lihat ada satu besar banget dan lari ke arah dapur," kata Sashi yang mendadak mendapatkan ide agar bisa keluar dari rumah. "Nggak ada! Kamu harus di rumah. Suami pulang malah mau pergi ke pasar." Aditya langsung menolak permintaan Sashi saat ini. Dering ponsel milik Aditya membuat suami Sashi langsung melihat ke arah benda pipih yang terletak di sebelah piring makannya. Satu nomor dari salah satu kolega bisnisnya menghubungi. Seorang janda muda dan sangat tergila-gila pada Aditya. Janda kaya raya itu selalu mengucurkan uang pada Aditya tanpa diminta. "Halo. Saya sedang sarapan bersama Mama dan istri saya. Ada keperluan apa?" "Maaf, Pak Aditya, siang ini ada meeting dengan agenda tentang finishing perumahan yang di Serpong." "Oke. Nanti saya datang ke kantor sekitar pukul sepuluh." "Baik, kami tunggu." Panggilan itu terputus seketika dan membuat Sashi lega. Artinya sang suami akan pergi ke kantor. Sashi bisa dengan leluasa pergi ke pasar atau ke tempat lainnya. Sesekali bekerja di luar rumah agar ide mengalir dengan deras. "Jadi, gimana, Ma? Aku boleh ke pasar?" tanya Sashi sengaja mendesak Santika agar memberikan izin. "Boleh. Sudahlah, Dit, Sashi mau beli perangkap tikus. Kamu juga harus ke kantor. Hanya beli perangkap tikus itu nggak akan lama." Santika tidak mau berdebat dengan Aditya. "Menjijikkan jika di rumah mewah kita ada binatang pengerat pembawa penyakit itu," lanjut Santika bergidik takut karena membayangkan seekor tikus. Sejujurnya, Sashi tidak tahu di mana harus membeli benda itu. Ia asal bicara saja agar bisa keluar dari rumah. Ada sekitar enam puluh gambar yang harus diselesaikan Sashi setiap bulannya. Tergantung ide yang keluar dari otak cerdasnya itu. "Ck! Kamu selalu saja seperti itu. Emang nggak kangen sama aku?" Aditya kali ini merajuk pada sang istri. "Mas, nanti malam 'kan pulang. Apa habis dari pasar, aku ke kantor, Mas Adit?" tanya Sashi penuh harap. "Eh? Nggak usahlah, Sash. Aku banyak kerjaan di kantor. Takutnya aku malah jadi cuekin kamu," tolak Aditya dengan cepat agar sang istri tidak datang ke kantornya siang ini. "Okelah." Sashi menjawab sambil tersenyum lebar pada sang suami. Aditya bisa bernapas lega karena Sashi tidak lagi keras kepala untuk ikut ke kantor. Beberapa waktu yang lalu, istri Aditya merengek ikut ke kantor. Alasan yang digunakan karena bosan di rumah dan Santika sedang berada di luar kota. Sashi merasa kesepian dan tidak ingin sendiri di rumah. Sashi tidak bodoh, menggunakan waktu sebaik mungkin untuk menyelesaikan design gambar dan tidak mengganggu Aditya. Aditya yang kala itu merasa risih, tidak peduli dengan apa yang dilakukan sang istri. Hanya saja, kegenitannya pada beberapa gadis harus ditahan. Tidak mungkin bisa genit ketika ada sang istri. Aditya pun bersiap hendak pergi ke kantor. Tidak lama setelah Aditya pergi, Sashi pun bersiap. Ia juga masuk kembali ke dalam gudang. Sashi mengambil gambar rancangannya dan menyimpannya di dalam tas kecilnya. "Ngapain kamu, Mbak?!" Tami merasa terkejut saat melihat Sashi baru saja keluar dari gudang. Sashi pun gelagapan melihat kedatangan adik iparnya itu. Tidak ada ucapan salam atau semacamnya dan mendadak sudah berada di dapur. Sashi memegangi d**a dan menetralkan napasnya. Astaga! Alasan apa yang harus dikatakan pada Tami saat ini? "Mbak! Ngapain masuk ke dalam? Nyembunyiin sesuatu, pasti." Tami menuduh Sashi tanpa basa-basi. "Apaan, aku lagi kasih ranjau buat tikus," jawab Sashi sekenanya karena tidak mau Tami curiga. Meski Tami gadis yang baik, adik kandung Aditya itu tidak segan melaporkan apa pun pada Santika. Masalah akan menjadi besar ketika seseorang yang dilaporkan merasa terpojok. Entahlah, dari mana sifat itu menurun pada Tami. "Nggak percaya aku, Mbak. Minggir, pasti, Mbak, nyembunyiin sesuatu," kata Tami sambil mendorong kasar Sashi ke arah wastafel. Astaga! Apa-apaan Tami itu? Sangat tidak sopan pada kakak ipar. Sashi dengan cepat membuka tas dan mengecek semua gambar yang dibuatnya itu. Tidak ada yang tertinggal satu pun. "Aaaa ...!" Tami menjerit dan langsung lari terbirit-b***t. Tami membanting pintu gudang dengan keras. Tubuhnya bergidik karena takut. Wajah Tami berubah pucat seketika. Sashi menatap heran ke arah sang adik ipar. "Ya, ampun, tikusnya gede banget," kata Tami sambil memegangi dadanya. "Makanya, aku kasih perangkap. Biar tikus nggak masuk rumah. Berisik banget kalo malam." Sashi langsung meninggalkan gudang. Tami melongo melihat kepergian sang kakak ipar. Tidak ada waktu untuk menanggapi adik Aditya itu. Sashi bisa terlambat nanti. Hari ini rencananya setelah membeli perangkap tikus, ia akan ke pabrik sebentar untuk mengecek semua pekerjaan karyawan dan karyawatinya. Tidak mengecek langsung, Sashi hanya akan menemui Kartika. Ia tidak ingin identitasnya terbongkar dan membuat semua orang heboh. Belum saatnya ia tampil di depan banyak orang. Sashi tidak pernah menampakkan kepopulerannya saat ini. "Mbak! Mau ke mana?" Tami berteriak sambil mengejar Sashi yang saat ini terburu-buru naik ojek online. Bahaya jika Tami tahu dan selalu saja ingin tahu urusan Sashi. Entah mengapa, Sashi merasa jika Tami memata-matainya sekarang. Entah untuk tujuan apa, tetapi hal itu membuat Sashi merasa waspada pada sosok adik iparnya itu. Lima belas menit berkendara, Sashi pun tiba di pasar. Ia mencari penjual perangkap tikus. Nihil, tidak ada yang menjual benda itu. Lalu, ada seorang bapak-bapak dengan kisaran usia lima puluhan tahun menyarankan datang ke salah satu toko. Sebuah toko bernama Rate Box yang letaknya lumayan jauh dari pasar. Sashi akhirnya meninggalkan pasar dan mencari alamat toko tersebut. Rasanya tidak mungkin saat pulang nanti tidak membawa barang itu. Padahal, Sashi bisa saja membelinya lewat sosial media. Dua kali naik angkutan umum, akhirnya sampai juga di toko itu. Benar, isinya hanya perangkap tikus dengan berbagai merk dan model. Sashi menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia bingung saat melihat semua perangkap tikus itu. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" tanya penjual itu dengan ramah. Sosok wanita paruh baya itu tampak masih sehat. Wajah orientalnya masih tampak cantik. Pasti saat muda sangat cantik wanita yang ada di depan Sashi itu. Akan tetapi, entah mengapa, Sashi merasa tidak asing dengan sosok wanita itu. "Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita paruh baya itu membuyarkan lamunan Sashi. "Oh, ya, saya butuh perangkap tikus, Bu. Tikus got masuk rumah dan lumayan besar," kata Sashi sambil mengamati wajah wanita paruh baya itu. "Oh, baiklah. Ada satu perangkap khusus untuk tikus got. Perangkap ini berukuran jumbo dan sudah teruji keberhasilannya. Ada juga garansi yang kami tawarkan. Garansi toko selama tiga bulan jika tidak berhasil menangkap tikus itu," kata sang penjual menawarkan kelebihan perangkap tikus itu. Sashi mengamati perangkap tikus itu lalu setuju dengan harga dan pelayan pun membungkusnya. Setelah keluar dari toko, Sashi pun berjalan menuju ke arah pemberhentian bus. Matanya tertuju pada sosok wanita muda. Wajah wanita yang baru saja keluar dari mobil mewah itu sama persis dengan penjual perangkap tikus itu. "Sashi? Ngapain kamu di sini?" tanya Aditya dan membuat Sashi sangat terkejut. Bagaimana bisa mendadak ada sang suami di tempat ini. Rasanya tidak mungkin Aditya menguntitnya. Hal yang sangat mustahil dilakukan oleh sosok suami Sashi itu. Sashi masih dalam keterkejutannya saat ini. "Kamu kenapa?" Aditya justru panik melihat wajah Sashi saat ini. "A-aku beli ini." Sashi menunjukkan perangkap tikus yang baru saja dibelinya dari toko seberang jalan. "Mas Aditya kok bisa di sini? Ini jauh dari kantor loh?" tanya Sashi dan sukses membuat Aditya gelapan. Aditya mengatakan di telepon jika ada rapat di kantornya. Bahkan saat ini sudah hampir makan jam makan siang. Sial, alasan apa yang harus dikatakan pada Sashi sekarang. Sashi bukanlah wanita bodoh. "Kenapa takut, jawab saja pertanyaan istri kamu itu." Suara itu membuat Aditya semakin terkejut saat ini dan wajahnya seketika pias.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN