Entah ada urusan apa di tempat ini, Sultan justru mendadak muncul di depan mereka berdua. Sashi tampak santai saja, tetapi wajah Aditya mendadak sangat pucat. Aditya berusaha menetralkan wajahnya di depan papa mertuanya dan gagal. Sashi justru heran melihat perubahan wajah sang suami.
"Kamu kenapa, Mas? Kamu baik-baik saja?" tanya Sashi yang merasa perubahan wajah sang suami tidak wajar.
"Oh, nggak apa-apa, hanya aku harus segera ke kantor. Sebentar lagi ada rapat," jawab Aditya yang merasa panik karena ada Sultan.
Sultan tersenyum tipis melihat gelagat menantu laki-lakinya itu. Ada masalah keuangan yang selama ini disembunyikan oleh Sultan. Aliran dana dari kantor Sultan masuk ke salah satu rekening seorang perempuan. Sultan bukan laki-laki yang bisa diremehkan saat ini.
"Oh, ya, udah. Nanti malah telat rapatnya," kata Sashi yang masih buta dengan kenyataan yang ada.
Fakta jika suami Sashi bukan orang baik tentu tidak mudah untuk mengungkapnya. Sashi bukan wanita yang mudah percaya dengan omomgan orang lain tentang pasangannya. Amelia pernah mendoktrin anak perempuannya agar menutup mata dan telinga ketika mendengar berita buruk tentang suaminya. Lebih baik bertanya langsung pada yang bersangkutan agar tidak menimbulkan masalah yang besar.
"Mas, aku izin ke rumah Mama, ya. Sampai sore nanti," kata Sashi sambil mencium takzim punggung tangan sang suami.
"Ya, nanti aku jemput saja pulangnya," kata Aditya agar tidak tampak mencurigakan di depan sang istri dan ayah mertuanya.
Sultan sama sekali tidak mengajak bicara Aditya meski sangat ingin memaki laki-laki muda itu. Tidak, ada cara lain yang lebih elegan untuk membuat Aditya jera. Bulan lalu, perusahaan Aditya tidak membagi keuntungan bisnis pada Sultan. Bukan tentang nominal uang, tetapi lebih pada tanggung jawab.
"Papa mau ke mana?" tanya Sashi setelah melihat sang suami masuk ke dalam mobil dan meninggalkan mereka berdua.
"Ayo, Papa antar kamu ke rumah. Papa juga mau pulang. Tidak ada yang harus dikerjakan di kantor." Sultan mengajak putri sambungnya agar masuk ke dalam mobilnya itu.
Seketika, Sashi lupa dengan tujuan utamanya. Ia hendak pergi ke pabrik dan mengecek semua pekerjaan. Melihat papa sambungnya ada di tempat ini ia justru ingin bertemu dengan Amelia. Sudah hampir satu bulan mereka tidak bertemu.
"Sash, Papa boleh bicara?" tanya Sultan saat mereka berdua sudah masuk mobil.
"Boleh, Pa. Ada apa?" tanya Sashi yang sama sekali tidak curiga dengan sang suami saat ini.
"Hmm ... Apa ada barang yang dibeli oleh Adit baru-baru ini?" Sultan bertanya dengan santai seolah tidak ada apa-apa sama sekali.
Sashi kemudian berusaha mengingat apa yang dibeli oleh sang suami. Tidak ada, hanya keperluan bulanan saja dan tidak banyak. Sultan jarang membeli barang mewah. Lantas apa yang dimaksud oleh sang papa.
"Enggak ada, Pa. Emang Mas Aditya ada hutang lagi sama Papa? Ck! Jadi ingat, kemarin Mamanya Mas Adit tuh punya rencana mau hutang ke Papa. Lima ratus juta buat beli barang baru. Buat ngisi toko emasnya itu." Sashi mengadukan apa yang dilakukan sang mama mertua. "Tapi, aku bilang aja, perusahaan Papa lagi goncang biar mereka nggak ngutang," lanjut Sashi dengan sambil tersenyum.
"Hahaha, kamu nggak bohong pun, Papa nggak akan kasih. Hmm ... sudah banyak dana yang Papa gelontorkan tapi tidak sesuai ekspetasi." Sultan tidak mau menjelaskan secara gamblang masalah yang ada.
Sultan sengaja memberikan waktu pada anak sambungnya untuk mencari tahu sendiri. Ia tidak mau dituduh sebagai laki-laki biang gosip. Padahal, bahaya yang dihadapi Sashi sudah di depan mata. Akan tetapi, Sultan percaya Sashi bisa mengatasinya dengan baik.
Sashi tidak begitu pusing dengan ucapan Sultan saat ini. Memang benar uang papa sambungnya banyak dipakai untuk perusahaan Aditya yang merintis bidang properti. Akan tetapi, Aditya juga harus membagi keuntungan secara adil pada Sultan. Tidak ada masalah menurut Sashi saat ini.
"Eh, Pa, aku nggak jadi ke rumah. Aku mau ketemu Tika. Antarkan aku ke pabrik Shife aja," kata Sashi yang mendadak ingat dengan tujuan utamanya untuk ke pabrik miliknya.
"Emang nggak ganggu kerjaan Kartika. Kata orang pemilik pabrik perhiasan Shife itu orangnya dingin. Papa saja belum pernah ketemu sama beliau." Sultan tidak ingin Sashi membuat temannya dalam masalah.
"Tenang saja, Pa. Nanti bisa diatur," kata Sashi sambil tersenyum lebar pada sang papa.
Sultan memutar arah dari jalan menuju ke rumahnya. Sashi tidak jadi ke rumah. Entahlah, ia hanya bisa berpikir positif tentang sang putri. Sebab, Aditya jelas bukan suami yang baik.
"Makasih, Pa." Sashi melambaikan tangan setelah sampai di depan pabrik.
Sultan membalas lambaian tangan sang putri sambung lalu melajukan mobil menuju rumah. Satu hal, ia akan menunggu Aditya untuk menjemput Sashi. Ada banyak hal yang akan dibicarakan nanti. Termasuk masalah dana yang telah dikucurkan untuk usaha properti milik Aditya.
Sementara itu, Santika sibuk di toko. Ada banyak pelanggan yang menanyakan tentang produk dan model terbaru perhiasan. Perhiasan yang ada di toko ini sudah lama dan ketinggalan model. Santika tidak bisa berkutik karena belum ada modalnya untuk membayar model perhiasan baru itu.
"Mending ke Toko Dua Mawar. Pemiliknya rajin update model terbaru. Apalagi keluaran Shife, modelnya keren-keren. Nggak pernah gagal tuh pemilik Shife bikin model, anti gagallah pokoknya," kata salah satu pelanggan dan sukses membuat Santika mengembuskan napas kasar saat ini.
"Nggak semua model ada di toko itu, Bu. Toko saya masih tetap yang terbaik, kok. Ada juga model yang cocok buat Ibu," kata Santika berusaha membujuk pelanggan agar tidak pindah ke toko lain.
Tampaknya bujuan itu tidak berhasil. Semua orang memilih untuk pergi ke Toko Dua Mawar. Santika merasa geram dengan apa yang dilakukan oleh mereka semua. Ia sengaja menahan amarahnya saat ini. Jika amarahnya meledak, maka akan membuat banyak pelanggan menjauh.
"Bu, sepertinya harus ganti sistem di toko ini. Kebanyakan toko yang mengambil barang dari Shife, mereka menerapkan waralaba. Keuntungan juga lumayan." Salah satu pegawai Santika mencoba memberikan pendapatnya.
"Saya nggak tertarik dengan waralaba. Harus punya uang deposit untuk dana talangan. Minimal uang talangan itu kurang lebih satu milyar rupiah. Saya mending kalo ada uang segitu langsung beli barang dan jual seperti biasa." Santika jelas menolak usul dari pegawainya itu.
Toko yang dipakai Santika ini masih mengontrak dan harga kontrak per tahunnya lumayan fantastis karena berada di pusat perbelanjaan kota ini. Sudah sangat banyak pedagang yang mengincar lokasi toko emas milik Santika ini. Akan tetapi, wanita paruh baya itu selalu berhasil memberikan harga lebih tinggi dari tawaran yang lain. Saat ini, penjualan perhiasan toko emas Santika sedikit menurun karena uang keuntungan selalu dipakai untuk berfoya-foya.
Sementara itu, Sashi sudah bertemu dengan Kartika. Mereka mengobrol banyak hal terutama tentang bisnis mereka. Kartika sosok yang jujur dan bisa dipercaya. Mereka layaknya saudara kandung yang terlahir dari orang tua yang berbeda.
"Sash, gimana kabar mertua kamu? Masih gila kaya biasanya?" tanya Kartika yang sering kali kesal saat mendengar curhatan Sashi perihal Santika.
"Masih sama, tapi biarlah. Buat lucu-lucuan aja. Sampai sekarang, mereka nggak tahu tentang pabrik ini. Aku sengaja gini, Tik. Apalagi kemarin Arusha telepon aku. Dia tanya di mana suami aku. Lah, Mas Adit lagi di Bandung. Nggak tahu lagi deh, aku nggak suka sama Arusha ketika dia main tebak-tebakan. Mending to the point saja. Jadi, aku nggak mikir jelek," adu Sashi yang merasa kesal pada saudara kembarannya.
Kartika justru menjadi tertarik dengan ucapan Sashi saat ini. Ia ingin tahu, apakah saudara kembar Arusha itu peka dengan keadaan dan orang sekitar? Tidak, Sashi tidak peduli dengan orang-orang sekitarnya. Salah satu sifat buruk Sashi adalah sangat kurang dalam hal kepekaan.
"Kamu nggak curiga sama suami kamu?" tanya Kartika dengan santai agar tidak ketahuan jika sedang menginterogasi sahabat baiknya itu.
"Nggak ada yang mencurigakan sama sekali. Masih sama seperti yang dulu. Masih romantis dan ya, memamg kami belum diamanahkan mempunyai anak. Masih menikmati masa pacaran dulu," kata Sashi membela sang suami dan keluarganya.
"Hmm ... aku nggak berani berkomentar banyak ketika kamu sudah mengatakan seperti ini. Artinya kamu percaya seratus persen pada suami kamu." Kartika tidak lagi melanjutkan obrolannya tentang rumah tangga sang sahabat itu.
Mereka larut dalam obrolan tentang gambar design perhiasan untuk bulan depan. Meski bersahabat baik, Kartika harus menandatangi perjanjian dengan Sashi. Isi perjanjian itu antara lain, tidak boleh membocorkan rahasia tentang perusahaan ini. Ada uang penalti yang harus dibayarkan oleh Kartika jika melanggar.
Nominal uang yang harus dibayarkan oleh Kartika sangat fantastis jumlahnya. Lumayan untuk membuat sahabat baik Sashi itu tutup mulut. Lagi pula, Sashi memberkan gaji yang luar biasa besar. Belum ada perusahaan lain yang menawarkan gaji sebesar itu pada karyawannya.
"Kurang lebih ada enam puluh buah design yang aku buat. Bisa kamu atur, berapa yang bisa dibuat dengan cepat. Misal hanya separuhnya tidak masalah. Mengingat, setiap bulan ada keluaran baru dari pabrik kita," kata Sashi tidak mau memberatkan semua karyawan.
"Oke. Aku usahakan agar bisa dibuat semua," kata Kartika dengan penuh semangat saat ini.
Sashi pun mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak meragukan kinerja sahabat baiknya itu. Hanya ada dua orang yang tahu tentang pabrik ini, satu Arusha dan Kartika. Hanya kepada mereka berdua Sashi percaya.
"Permisi, Bu. Laki-laki yang kemarin datang, saat ini ada di luar." Salah satu pegawai pabrik Shife masuk tanpa mengetuk pintu dan membuat Kartika gelagapan saat ini.
Dahi Sashi mengerut dalam karena juga terkejut. Selama ini, Kartika tidak pernah dekat dengan siapa pun. Entah laki-laki seperti apa yang dekat dengan Kartika. Sashi pun mendadak menjadi penasaran.
"Minta dia pergi. Saya ada pekerjaan penting," kata Kartika dengan cepat karena gugup.
"Ta-tapi, Bu ...." Kartika mendelik saat pegawai itu menolak perintahnya.