Merasai badan remuk redam, rasanya diri ini enggan sekali untuk bangun. Apalagi di hari Minggu seperti ini, aku ingin tidur lebih lama. Bangun nanti agak siangan saja saat Bu Rossa Chandraningsih pidato. Biasanya sih sepulang arisan beliau akan langsung ke kamar dan menceramahiku, karena belum bangun sampai matahari hampir condong ke barat. Ya, mau apa bangun pagi buta, kalau pada akhirnya hanya duduk di depan televisi? Menyaksikan gosip terkini tentang artis selingkuh? Sia-sia sekali waktuku bila itu terjadi, lebih baik tidur.
Suara ponsel membuatku bangun dengan terpaksa. Mata masih setengah merem ketika aku mencari keberadaan benda pipih itu. Siapa, sih, pagi-pagi begini menelepon? Dia tidak tahu apa hari Mingguku tak boleh diganggu?
"Ini jam berapa, Pus? Lo belum bangun, ya? Parah lo! Bangun buruan! Klien udah nungguin di bandara! Astaga, Pus!"
Belum juga aku mengucap "Hallo", suara itu sudah menyemburku lebih dahulu. Apa tadi dia bilang? Klien? Bandara? Oh my god! Aku lupa. Hari ini aku harus ke bandara pagi-pagi, bukan? Ponsel kugeletakkan begitu saja tanpa memutuskan panggilan.
Wah, parah Bu Rossa Chandraningsih. Kenapa dia tidak membangunkanku? Padahal, semalam aku sudah memintanya untuk menyiram diri ini bila tak mau bangun.
Diri gelagapan, bingung harus mendahulukan yang mana. Mandi, menyiapkan peralatan, atau apa? Sial sekali. Semoga saja klien-nya tidak marah-marah.
Selesai mandi, aku sedikit berlari menuruni anak tangga dengan menyeret koper dan menggendong ransel.
"Tumben kamu bangun pagi-pagi?"
Itu suara Bu Rossa Chandraningsih. Dia pasti keheranan, karena aku bangun lebih awal.
"Mama kenapa nggak bangunin aku, sih? Semalam aku udah minta dibangunin, 'kan? Mama lupa?" kesalku sambil mengaitkan tali sepatu.
"Kamu mau minggat hanya gara-gara mama lupa bangunin?" selidiknya. Bu Rossa Chandraningsih mendekat.
Aku mendengkus. Bisa-bisanya dia bilang aku mau minggat segala.
"Kerja, Ma. Kerja." Aku memutar bola mata, jengah.
"Kerja di mana subuh begini? Kamu dipecat dari tempat Dimas? Jadi, sekarang kamu pengangguran, terus mau jadi TKI? Puspita Anggreani, urungkan niatmu sekarang juga. Meskipun mama suka marah, tapi mama nggak akan biarin kamu jadi TKI atau TKW. Mama masih sanggup ngasih makan kamu, asal kamu mau bantu-bantu beresin rumah."
Aku ingin pingsan rasanya. Adakah ibu di dunia ini yang seperti Bu Ross Chandraningsih?
"Aku udah telat, Ma. Berangkat dulu, ya."
Tak lupa diri ini menyalami dan mengucap salam. Ciuman pun selalu kudaratkan di pipi bergelambir miliknya. Usia Bu Rossa Chandraningsih sudah hampir enam puluh tahun, keriput di wajahnya mulai tampak.
"Hati-hati, sama siapa kamu? Jangan lupa bawain mama oleh-oleh, ya!"
Sudah kuduga, pasti akan minta buah tangan. Padahal, dia sendiri belum tahu aku mau ke mana. Namun, sudah pasti beliau mengetahui bahwa aku akan memotret, karena memang itulah pekerjaanku.
Taksi online yang kupesan datang tepat waktu, langsung saja kami menuju bandara. Aku memintanya lebih cepat sedikit, karena jam digital di tangan kiriku sudah lewat lima belas menit dari jam lima tepat.
Ada rasa cemas merajai, karena memang aku terlambat parah. Dalam hati merapal doa agar klien tidak marah dan membatalkan semuanya. Bisa-bisa dipecat secara tidak hormat oleh Dimas bila hal itu terjadi. Oke, Dimas memang baik, tetapi dia juga sedikit kejam.
Aku berlari tunggang-langgang ketika sampai di bandara. Ponsel tak lepas dari genggaman sejak ada di taksi tadi. Dimas tak menjawab pesan-pesan yang kukirimkan. Dia memang menyebalkan, saat aku sedang genting begini malah tidak bisa diandalkan. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya, tetapi panggilan dialihkan. Ah, Dimas!! Kuputuskan mencari, dan yang pasti tak akan ada seseorang itu, karena Dima sama sekali tak memberi info sebelumnya. Sekali lagi diri ini mencoba menghubungi Dimas, tetapi hasilnya sama. Tak ada jawaban.
Mata ini mengedar, menyisir setiap sisi, siapa tahu ada sebuah petunjuk. Namun, mana ada yang seperti itu? Seharusnya Dimas memberitahukan siapa nama dan bagaimana wajahnya, supaya aku dapat mengenalinya dengan mudah. Biarpun dia cerdas, tetapi kadang-kadang otaknya memang tak sampai ke sana.
Ponsel berdering ketika kaki tiba di tempat check in. Astaga, bagaimana aku bisa masuk kalau tiket saja tidak punya? Segera kuterima panggilan tersebut.
"Iya, Dim. Lo gimana, sih? Kenapa susah banget dihubungin? Gue udah di bandara, nih. Di mana orangnya?" Berondongan pertanyaan yang diiringi kekesalan itu membuat si penelepon berdeham. Seketika aku menjauhkan ponsel, itu bukan suara Dimas. Spontan kulihat nama yang tertera di layar. What, nomor baru?
"Maaf, ini siapa, ya?" tanyaku kemudian. Bisa tengsin aku kalau itu klien yang dimaksud Dimas.
"Anda di mana? Sudah hampir dua puluh menit saya menunggu Anda di bandara. Anda bisa kerja dengan baik atau enggak, sih? Nggak kompeten! Nggak profesional!"
Barusan dia memakiku? Sekaya apa dia sampai sesombong ini? Oke, aku memang salah, tetapi tidak serta-merta memaki seperti itu, bukan? Dimas juga salah, dari awal dia tidak memberitahuku siapa orangnya.
"Maaf, Pak. Ini saya udah ada di bandara kok. Bapak di sebelah mana, ya?" tanyaku sesantai mungkin. Sementara ini aku harus menyingkirkan kejengkelan demi pekerjaan.
"Saya di tempat check in, cepat ke sini."
Mata ini kembali mengedar. Lagi-lagi aku membuang napas berat. Di tempat ini banyak manusia, dan dia tidak menyebutkan cirinya. Lalu, bagaimana aku bisa tahu dia yang mana?
"Maaf, Pak. Bisa tolong sebutkan ciri atau mungkin baju yang–"
"Apa bosmu tidak memberikan info?" sergahnya ketika aku belum selesai bicara.
Memang Dimas salah kaprah. Dia sengaja atau bagaimana, sih?
"Maaf, Pak. Saya lupa, maksudnya, saya tidak bisa mengenali wajah orang dengan mudah hanya lewat foto," alibiku, padahal Dimas sama sekali tidak memberikan foto atau apa pun.
Aku mendengar dengkusan kesal dari seberang sana. Sementara itu, mata ini masih terus memindai, berusaha menemukan si penelepon.
"Saya pakai kaus hitam."
Kugeletakkan ransel begitu saja. Orang kaya kenapa selalu menyebalkan? Di sini banyak yang pakai kaus dan baju warna hitam, Ferguso!
"Lalu, Pak?"
Ah, bertele-tele sekali!
"Kaus hitam dengan jaket putih, bersama wanita memakai dress marun dan tas senada."
Oke, mulai memindai lagi. Tubuhku sampai ikut berputar demi mencari ciri-ciri yang dimaksud. Aha! Itu mereka. Dari pakaian yang disebutkan tadi, sepertinya memang mereka orangnya. Aku mulai mendekat, menyeret koper dan menggendong ransel.
"Permisi, saya dari Rainbow Fotografica. Apa benar–"
Seketika mata ini membola melihat siapa yang berdiri di hadapan. Jantung berdentum hebat, seakan-akan sedang perang di dalam sana. Tiba-tiba napasku terasa sesak. Are you kidding me? Berkali-kali aku mengatur napas, tetapi derap jantung ini kian menjadi. Oh Tuhan, lenyapkan aku!
"Hei, Mbak! Are you okay?"
Aku tersadar ketika sebuah tangan melambai di depan wajah. Tangan seorang wanita, yang aku duga pacar Dito. My god! Jadi, orang yang dimaksud Dimas adalah Dito? Pantas aja dia tidak memberitahuku dari awal. Aku harus membuat perhitungan dengan cowok itu. Berani-beraninya dia mempermainkan aku. Sudah tahu gagal move on, malah dipertemukan seperti ini. Tunggu, tunggu! Bagaimana kalau aku cancel saja pemotretan ini? Ya, itu benar.
"Mbak beneran baik-baik aja, 'kan?"
Baru saja jari ini mau memencet nomor Dimas, tetapi pertanyaan itu mengurungkan niatku.
"Baik, kok. Baik."
Apakah suaraku terdengar canggung? Mereka tidak mendengar degupan jantung ini, 'kan?
"Oke, ini tiket kamu. Ayo, kita menuju boarding room!"
Wanita ini? Wajahnya tidak asing, tetapi siapa? Dia ramah, selalu tersenyum padaku. Padahal aku sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan. Dito, dia diam saja sejak melihatku tadi.
"Ayo, Mbak!" seru wanita cantik nan putih dengan tinggi yang kuperkirakan sekitar 180 sentimeter itu.
Aku tergemap, setelah barangku selesai diperiksa, aku langsung mengikuti langkah Dito dengan calon istrinya. Calon istri, terdengar begitu miris bagiku. Jadi, aku akan melihat mereka bermesraan setiap waktu? God!