Jepang, I'm Coming!

1628 Kata
Sudah berapa lama aku tidak naik pesawat, ya? Rasanya canggung sekali memasuki boarding room. Maksudnya, ini pertama kalinya aku melanglang buana ke luar negeri. Ke negara impian. Apalagi ada Dito membersamai. Astaga, jangan katakan aku baper. Profesional, Rea! Ini tugas negara. Bisa-bisa aku dimaki-maki Dimas kalau sampai baper berkepanjangan. Oke, menata hati menghadapi beberapa hari ke depan. Harus bisa menekan perasaan agar tak terbawa masa lalu. Syukur-syukur tak hanyut ke kubangan rasa bernama gagal move on. Perasaan yang saat ini masih tersisa, aku berharap bisa menahannya. Meski demikian, entah mengapa setiap melihat Dito hatiku mendadak sebal. Apa ini karena cintaku yang dulu dia khianati? Dia memang kampreet. "Sini, Mbak!" Suaranya saja sudah cantik, sangat pas dengan wajah dan postur tubuhnya yang semampai itu. Aku menoleh pada wanita di samping Dito. Hanya fokus ke wanita itu, rasanya canggung melihat ke Dito. Walaupun sekadar mencuri pandang, tak akan aku lakukan. Itu sama saja dengan merendahkan diri sendiri Ah, terlalu lebay. "Iya, Kak." Aku mendekat. Astaga, suaraku mendadak bergetar begini. Ayolah, Rea! Bersikaplah biasa saja. Santai. Aku mengambil napas berkali-kali, lalu mengembuskannya. Lumayan relaks dari sebelumnya, meskipun grogi itu tak reda juga. "Kita nunggu di sini, ya. Ini tiket kamu." Wanita yang belum kuketahui namanya ini mengulurkan benda yang dia sebutkan. "Oh, iya. Namaku Tissa, nama kamu siapa? Biar enak aja panggilnya," lanjutnya setelah aku menerima tiket. Tentu saja aku menerima tangannya untuk kujabat. "Panggil aja Rea, Kak." "Nggak usah panggil kak, panggil namaku aja." Tissa membenarkan dandanan di wajahnya. Aku terus memperhatikan dia. Cantik banget. Pantas, Dito ninggalin aku dan memilih dia. Ya, ya, ya, aku tidak ada seujung kukunya. Tissa benar-benar ramah. Bila disandingkan denganku, sudah pasti diri ini kalah telak. Siapalah aku? Hanya seorang cewek gagal move on, berkulit sawo matang, dan tak pandai dandan seperti Tissa. Ya, aku lihat wajahnya tampak cantik sekali dengan make up look. Aku memang bukan cewek penyuka make up, tetapi sedikit banyak paham karena sering bertemu MUA di acara-acara pernikahan dan lain-lain. Bila boleh aku menilai, Tissa mendapat 90 dari angka 100. Pantas saja Dito terpesona dan ninggalin aku. Oh, ya ampun. Sadar Rea! Kerja! "Kamu suka Jepang?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulut Tissa. Aku menatapnya, memastikan bahwa pertanyaan tersebut dia tujukan kepadaku. Dito diam saja sejak tadi. Aku tak sengaja melihatnya, meskipun sedikit terhalang wajah Tissa. "Suka, negara impian aku banget. Dulu ada yang pernah bercita-cita ngajak ke Jepang, sih. Tapi ternyata dia malah ngilang tanpa kabar." Aku santai saja bicara, tetapi mampu membuat Dito tersedak. Sepertinya dia tersedak ludahnya sendiri. Kasihan! "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanya Tissa. Dia sedikit berputar agar bisa fokus pada Dito, calon suaminya. Wajah Tissa tak menunjukkan rasa kasihan. Mungkin ini hanya perasaan dan prasangka burukku saja. Aih, ini nggak seharusnya terpikirkan olehku. "Enggak. Enggak apa-apa, kok." Dito menjawab dengan sisa-sisa keseleknya. Dari nadanya terdengar menyakitkan sekali tersedak tak sengaja yang dialami Dito. Aku senang dia tersindir, tetapi juga menyesali apa yang telah keluar dari mulut ini. Sebab, sudah pasti Tissa menyebut omonganku tadi sebagai curhat colongan. Ck, gegabah! Boarding room luas ini terasa begitu sempit ketika ada orang yang kubenci. Benci? Bahkan aku tak bisa mengartikan sesuatu dalam hati ini. Ada rindu yang lama terpendam, tetapi dipertemukan dalam keadaan tak saling memiliki. Sakit itu pasti. Aku terlalu bodoh, seharusnya mengubur perasaan itu dalam-dalam dan bangkit menatap masa depan. Ini malah terjebak kubangan masa lalu yang sama sekali tak tersedia pelampung untuk menyelematkan diri. Tak lama kemudian, terdengar pengumuman status pesawat yang akan kami tumpangi. Petugas di dekat pintu gate juga sudah memanggil kami. Tissa memberitahuku untuk bersiap-siap. Dia meminta Dito membawakan tasnya dengan manja. Aku tak terlalu peduli sebenarnya, tetapi melihat Dito kerepotan seperti itu juga rasanya iba. "Ayo, Sayang. Cepat!" kata Tissa sambil lalu. Tak lupa dia membenarkan tampilan make up-nya. Aku rasa dia model, atau mungkin artis sinetron? Entahlah. Diri menyeret koper lumayan besar, dengan ransel yang kembali kugendong. Ternyata lebih berat dari sebelumnya. Apa aku hanya iri pada Tissa yang dengan santainya melenggang tanpa membawa barang apa pun? Dito berjalan lebih dulu. Sejak tadi dia sama sekali tak melihatku. Eh, apa itu artinya aku berharap diperhatikan olehnya? Oh my no! Memangnya siapa aku? Spontan tangan ini mengetuk jidat, memaki diri sendiri. Kartu Tanda Pengenal dan boarding pass sudah kusiapkan, tadi Tissa juga memberikan boarding pass sebelum melenggang. Meskipun masih bingung, aku enggan memikirkan dari mana mereka mendapat dataku. Terpenting sekarang ialah bagaimana caranya aku menata hati menghadapi dua sejoli ini di Jepang. Menyiapkan tameng sepertinya lebih penting dari sekadar pencurian data pribadiku sekalipun. Itu semua pasti sudah diatur cecuunguk Dimas. Kami ikut mengantre untuk check in. Sebelum tiba giliranku, diri ini mengambil kamera dan beberapa barang penting dari ransel. Aku sengaja menyiapkan tas lain untuk membawa kamera ke dalam kabin, karena bisa rusak bila kutitipkan di bagasi. Ini pengalamanku saat pertama kali diajak Dimas ke luar kota. Lensa kameraku pecah gara-gara lupa membawanya ke kabin. Setelah proses check in selesai, kaki ini mengikuti langkah Tissa dan Dito. Ya, aku mengekor saja sejak tadi, sambil mengutak-atik kamera, membidik beberapa gambar yang menurutku lucu dan sayang untuk dilewatkan. "Re, fotoin kita dong! Kayaknya lucu kalo foto di sini." Tissa sudah berdiri di hadapan, mengulum senyum yang wow, cantik sekali. "Boleh," kataku singkat, dan lihat saja wajah bahagia Tissa. Dia langsung menggandeng Dito, mesra. Sesak tiba-tiba menelusup dalam d**a. Sabar, Rea! Mereka ber-pose sesuka hati, dan langsung kubidik tanpa panduan. Ini tidak termasuk foto prewed, bukan? Jadi, suka-suka fotografernya saat memotret. Setelah pramugari menujukkan letak kursiku, diri ini langsung mendarat tanpa berpikir ulang. Kabin terasa begitu lega. Selega hati ini yang tak lagi melihat manjanya Tissa ke Dito. Saat bersamaku dahulu saja dia tidak seperti itu, kenapa sama Tissa beda? Eh, kok aku kesal? Ish! Ambil napas, buang perlahan. Oke, tenangkan diri. Perjalanan masih panjang. Namun, lagi-lagi bayangan Tissa mengalungkan tangannya ke leher Dito sebelum masuk pesawat tadi membuatku entah. Aku jadi gemetar. Tanganku terasa dingin. What the hell? Kenapa aku bisa nervous seperti ini? Keringat? Astaga, aku keringatan tidak? Kaca. Kaca mana kaca? Aku mengobrak-abrik isi tas, mencari kaca atau sesuatu yang bisa kugunakan untuk melihat wajah. Ketemu. Cepat-cepat diri menatap wajah dari pantulan cermin. Oh my God! Mukaku? Mukaku pucat. Maaak! Aku pengin loncat dari pesawat ini saja rasanya. Bagaimana nanti di Jepang? Bisa-bisa aku pulang tinggal tulang. Sama sekali tak kusangka, bahwa klien itu adalah Dito. Setelah lima tahun tak bertemu dengannya, mengapa kini dipertemukan kembali? Kenapa dunia sesempit ini? Lebih menjengkelkan lagi adalah, aku harus melihat mereka terus menerus. Dimas memang k*****t. Aku pikir tidak seberat ini, tetapi ternyata baru melihat adegan kecil itu saja aku sudah mau pingsan. "Hei, dipanggil dari tadi nggak nyaut. Lo b***k, ya?" Barusan Dito mengataiku? Maksudnya, dia cari gara-gara dia sama aku? Awas! "Dito, kenapa kasar banget, sih? Maaf, ya, Re. Lo ada bawa permen nggak? Gue ada nih kalo lo nggak bawa." Gaya bahasa Tissa berubah lo-gue. Aku memang tidak bawa permen untuk menghindari dengungan di telinga ketika pesawat take off, tetapi sepertinya alat penyumbat telinga dalam tasku ada manfaatnya. "Oh, nggak usah, Tis. Makasih," tolakku lembut. Padahal, dalam hati masih dongkol. Tissa saja bisa baik sama aku, kenapa Dito malah sok galak? Seharusnya aku yang lebih galak dari dia. Setelah pramugari memberi isyarat untuk memasang sitbelt dan panduan lainnya, pesawat mulai melandas. Aku duduk berseberangan dengan Tissa dan Dito. Tentu saja mata ini bisa menangkap segala polah tingkah mereka. Paling membuat mual ialah ketika Tissa bersandar di pundak Dito, dan tangan mereka saling menggenggam. Wahai api dalam hati! Tolong, jangan berkobar di saat yang tak tepat. Aku berusaha untuk tidak melihat, tetapi mendadak rasa pusing bergelayut. "Mau ke mana, Re?" Kenapa Tissa harus melihat, sih? "Kayaknya gue mabuk udara nih," dustaku sambil memegangi kening dan perut. "Serius? Ke toilet, gih. Gue anterin, ya?" Dito mendadak nimbrung. "Oh, nggak usah. Gue bisa sendiri kok." Di dalam toilet, tiba-tiba rasa pusing menguar. Sepertinya tadi terbawa suasana saja. Aku menggeleng, mencoba menghempas rasa tak tahu diri ini. Tunggu sebentar, Dito apa-apaan, sih? Tadi songong, lalu sok perhatian mau mengantar ke toilet. Dia sengaja mau menarik ulur hatiku atau bagaimana? Hati ini bukan layangan yang bisa dia mainkan sesukanya. Eh, kok jadi kepedean? Ah, Dito menyebalkan! Kenapa harus bertemu dengan dia, dan kenapa juga harus dia? Aku membasuh wajah berkali-kali, berharap semua bayangan tentang Dito luruh bersamaan dengan air. Oke, oke. Aku bisa. Aku bisa! Tiba-tiba, dari luar terdengar suara ketukan. "Lo baik-baik aja, 'kan?" tanya seseorang dari luar. Aku mengenali suara itu. Jawab tidak? Alah, tidak usah. Aku buru-buru menyudahi aksi baper tidak jelas di dalam toilet. Setelah itu, diri keluar dengan memasang wajah datar, pura-pura tidak terjadi apa-apa. "Lo beneran nggak apa-apa, 'kan?" tanya Dito. Ada raut cemas di wajahnya. Aih, aku hapal dengan perubahan air mukanya, karena memang pernah bersama dia saja. "Iya, gue baik-baik aja. Nggak perlu cemas kayak gitu kali. Gue kuat kok. Lo tinggalin tanpa alasan aja gue kuat. Apalagi cuma beginian doang, kecil." Aku berharap nada halus nan menusuk ini mampu membuatnya sadar, bahwa aku bukan cewek lemah. Ketika hendak melangkah, tiba-tiba saja aku terpelanting dan hampir saja terjungkal kalau lengan kekar Dito tak menyelamatkan. Tali sepatu sialan! Entah bagaimana ini bisa terjadi, tetapi mata kami saling bersirobok. Jantungku kenapa? Kenapa berdebar sekencang ini? Tidak, ini tidak boleh berlanjut. Namun, berada dalam dekapan lengan kekar Dito seakan-akan ada rindu yang sedikit terobati. Terobati? No! Justru ini akan semakin menyiksa, dan membuatku kian gagal move on. "Bisa tolong lepasin saya?" "Sorry, gue refleks tadi." Dito melepas dekapannya. Huh, aku bernapas lega. "Ya, thanks." Biar bagaimanapun, diri ini harus berusaha biasa saja. Sambil melenggang, aku membenarkan kemeja, hanya sebagai bentuk pengalih perhatian saja. Kulihat dari ekor mata, Dito masih mematung, melihat ke arahku. Ketika akan melewati pintu menuju kabin, aku berpapasan dengan Tissa. Wajahnya tampak aneh ketika melihatku. Cih, bodo amat!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN