Li Shang?

1342 Kata
Melewati segenap rasa yang terkungkung dalam relung jiwa, terkadang ada rasa dahaga membara. Entah, tiba-tiba rasa itu menyeruak, membuat daada ini terasa sesak. Berkali-kali tergores seharusnya membuatku sadar, bahwa dia bukan orang yang tepat untuk bersandar. Aku memang belum bisa melupakan segala hal tentangnya, tetapi ini mungkin hanya soal waktu. Terlebih sejak saat Dito menghilang, aku enggan berkomitmen lagi. Maksudnya, aku lebih pasrah saja pada siapa nanti yang mau memerjuangkanku. Memerjuangkan? Oke, itu terlalu berlebihan. Mungkin lebih tepat, siapa nanti yang akan menjadi jodohku supaya Ibu Rossa Chandraningsih tenang. Tanpa terasa, kini aku sudah menginjakkan kaki di Bandara Narita Tokyo. Setelah proses mengantre pengambilan barang bagasi dan lain sebagainya, kami langsung menuju transportasi berikutnya. Tissa bilang, kami akan naik Japan Rail Pass untuk menuju Kota Tokyo. Aku baru sadar, kami bukan mau ke Hokkaido seperti yang ada dalam ekspektasiku. Ya, sudahlah. Toh, aku hanya bekerja, bukan mau liburan. Kurang lebih satu jam perjalanan, tibalah kami di Tokyo. Kami langsung ke hotel, Dito bilang dia lelah dan mau langsung tidur saja. Cowok kok lemah banget? Baru perjalanan sebentar saja sudah tak bersemangat. Beda sekali dengan Tissa yang tampak begitu segar dan ceria. Kelihatan sekali, mana yang sering pelesiran dan hanya duduk di depan TV sambil makan camilan. Bisa kupastikan, bahwa wajah ini pun lelah, tetapi tak seperti Dito yang terlalu kusut. Aku masih sanggup diajak naik Tokyo Skytree kalau Tissa tidak keberatan. Menyaksikan lampu gemerlap dari atas gedung sepertinya sangat memanjakan mata saat malam nanti. Aku tahu dari mana tentang Skytree itu? Ya, browsing-lah. Meskipun mungkin tidak secerdas Tissa, gini-gini aku cukup punya rasa penasaran lebih, sehingga harus tahu seluk-beluk kota Jepang ini. Namun, sebenarnya aku hanya tertarik dengan Hokkaido. Walaupun bukan pecinta tanaman, setidaknya aku menyukai pemandangan indah untuk kuabadikan dalam bentuk gambar. Mata ini menatap layar ponsel, memastikan jam yang tercetak di sana. Sudah hampir pukul tujuh malam. Dito benar kali ini, kami harus istirahat. Di depan mata sudah berdiri kukuh hotel yang tarif per malamnya fantastis–tentu saja bagi kantongku. Entahlah, semua memang serba canggih, Tissa sudah disambut para pelayan hotel tanpa perlu ke meja resepsionis. Kami diberi kunci, kemudian dipersilakan ke kamar. Dito dan Tissa tak pernah berjarak sejak dari bandara tadi. Mereka memang cocok. "Ini kunci kamar kamu. Kita tidur beda kamar aja biar lebih nyaman." Aku mengagguk, kemudian menerima kunci dari tangan Tissa. "Eh, bagi nomor kamu dong, biar gampang aja nanti kalo dihubungin." Kali ini Tissa menyodorkan ponselnya, mungkin maksudnya memintaku untuk mengetikkan nomor ponselku di sana. Lagi-lagi mata ini tak sengaja melihat Dito. Dia tampak begitu lelah. Ya iyalah, aku saja yang hanya membawa satu koper dan tas rasanya pegal, apalagi dia yang menggendong dua ransel dan menyeret dua koper? Astaga! Si Tissa ini kejam atau bagaimana, sih? Baru saja aku ingin berdecak kagum tentang penginapan selama di Jepang—karena setahuku, hotel ini per malamnya di atas satu juta, dan Tissa memberiku kamar sendiri—sudah dibanting dengan pemikiran Tissa yang menurutku 'nggak banget'. Coba bayangkan, orang kaya mana yang pelesiran tanpa mengajak asisten, atau paling tidak keluarga lain agar ada yang bantu membawa barang. Lalu, dia ini mau prewed, tetapi tak ada MUA yang dia sewa. Maksudnya, dia mau make up dan mengurus perlengkapan sendiri? Daebak! Dia sangat keren kalau memang seperti itu ceritanya. Namun, aku tak bisa membayangkan bagaimana nantinya ketika proses foto. Please, aku pasti akan sangat sibuk. Sibuk menata hati juga pastinya. Alah, peduli apa aku tentang semua itu? Tugasku hanya memotret, bukan mengulik kisah mereka, apalagi urusan pribadi Tissa. Itu semua sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Ingin sekali aku tak berpikir tentang masa lalu. Namun, lagi-lagi otak ini seakan-akan terlempar begitu jauh ke dasar. Menghadapi dua sejoli itu, pasti akan membuat hati ini seperti dipotek-potek. Sampai kamar, aku langsung merebahkan diri di kasur. Empuk sekali, dan ruangan ini terlihat begitu mewah. Sangat nyaman, sesuai dengan harganya bila yang k****a itu benar. Mendadak aku teringat Dimas. Langsung kunyalakan ponsel, memasangkan password wifi ke gawai. Oh, ternyata tanpa password. Tak lama kemudian, tersambunglah ke nomor manusia paling ingin kucabik wajahnya yang menyebalkan itu. Wajah Dimas terpampang di layar ponsel, tentu saja dengan senyum menyeringai. Sepertinya itu senyum kesuksesan. Dia memang telah berhasil mengerjaiku kali ini. Sialan memang. "Hei, gimana perjalanannya, seru?" sambutnya dengan nada tanpa dosa. Kammpret, bukan? "Seru pala lo? Sialan banget, ya, lo. Kalau tau orangnya Dito, kagak bakal mau gue," semburku. Dimas tertawa. Asli, benar-benar minta dimaki. "Kalau gue bilang, lo pasti nolak. Dan gue bakal gak bisa ngegaji elu, Neng." "Iya, tapi kan ...." "Udah deh. Toh, lu juga seneng, 'kan?" "Seneng gigi lo tonggos! Lo gak mikirin perasaan gue apa, Dim? Lo gak kasian apa sama gue?" Kupasang wajah paling mengiba sedunia, tetapi malah ditertawakan oleh Dimas di sana. Sahabat macam apa dia ini? "Justru itu gue ngirim lo ke Jepang. Kan, lo pengen liburan tuh ke Jepang. Nah, ini saatnya." "Saatnya apaan? Gue di sini kerja, bukan liburan, Bro. Lo mah suka gitu, Dim. Kalau kayak gini, gue bakalan lebih susah move on tauk. Sengaja banget sih lo! Tega!!" Tak tahu, aku sedih saja membayangkan ke depannya akan seperti apa. Benar-benar neraka. "Nikmati ajalah, cuma seminggu ini, 'kan?" Mata ini membola mendengar penuturan Dimas. "Seminggu, Dim. Lo bayangin aja gimana gue di sini. Bisa jadi bunga kecubung gue," amukku kemudian. Lagi-lagi Dimas terbahak. "Ya, udah sih. Lo wonder woman, 'kan? Pasti lo bisa kok. Mangat!" Ya Allah, Dimas malah menirukan gayaku ketika menanggapi curhatannya tentang sang pacar. Apa tadi? Wonder women? Aih, kenapa dia selalu ingat apa yang aku katakan? Perasaan, pelupanya cukup parah, tetapi kenapa tak lupa dengan ucapanku yang dulu-dulu? "Mangat-mangat! Ya, udah deh, gue mau tidur. Bye!!" Aku langsung memutuskan sambungan telepon, lalu membuang HP sembarang arah dengan kesal. Percuma juga memarahi Dimas saat ini, semua sudah telanjur. Seperti kata pepatah, nasi sudah menjadi lumpur. Iya, saking busuknya sampai hitam, jamuran, dan ... ah, tak tahulah! Aku lelah. * Pukul sembilan waktu Jepang. Sebelum mandi dan bersiap-siap, tadi Tissa sudah menghubungiku lebih dulu. Dia minta aku ke kamarnya sebelum berangkat pemotretan. Semua jadwal diatur sama dia. Dito hanya sebagai pelengkap yang harus ada sesuai rencana. Itu yang aku tangkap dari isi pesan Tissa. Ternyata dia bawel juga. Ramah dan bawel itu beda tipis, ya? Ah, tidak juga. Kata Bu Rossa Chandraningsih, aku adalah cewek paling ramah, tetapi Dimas bilang itu semua hoax. Aku dipuji Bu Rossa Chandraningsih, karena diri ini adalah anaknya. Tidak mungkin dinilai buruk, kata Dimas yang enggan mengakui. Oke, semua sudah siap dan rapi. Aku menggendong tas dan membawa beberapa tripod untuk kelengkapan. Siapa tahu saja dibutuhkan nanti, maksudnya sebagai jaga-jaga. Aku belum tahu hari ini akan pemotretan di mana. Tiba di depan kamar Tissa, aku mengetuk pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka, seorang wanita cantik gemulai berdiri di depan mata. Hari ini aku benar-benar dibuat kagum oleh parasnya. Dandannya sangat menyerupai Cinderella dalam televisi yang pernah kutonton waktu kecil. "Masuk, ngapain bengong di situ?" kata Tissa, menyadarkan lamunanku. "Eh, iya." Hampir saja aku tergagap. "Tolong bantuin, dong," pinta Tissa sambil membalakangiku. Tentu saja dia akan sangat kesusahan memasang resleting yang menurutku terlalu panjang itu. "Thanks," lanjut Tissa ketika aku selesai menutup bagian punggungnya yang mulus. Kini, cewek yang lebih mirip kartun disney ini kembali memoles wajahnya. Make up tebal itu tampak cocok-cocok saja di wajahnya. Coba saja bila aku yang pakai, pasti lebih mirip kurcaci daripada seorang putri. Melihat Tissa yang rupawan, aku jadi teringat Dito. Bagaimana bentuk dia dengan tema yang diusung Tissa? Akankah dia seperti Pangeran Charming, Pangeran Eric, Pangeran Philip mungkin, atau bisa juga seperti Li Shang? Ya ampun, otak ini memang kadang suka susah dikontrol! Aku mencoba menenangkan diri. Bisa bahaya bila terus-menerus seperti ini. "Udah siap?" Suara dari arah pintu kamar itu membuatku menoleh secara spontan. Sepertinya Tissa juga sama denganku. Mata ini tak berkedip melihat sosok Dito yang dibalut baju ala-ala pangeran disney. Seharusnya dia mirip Pangeran Charming, karena Tissa berdandan ala Cinderella. Namun, di mataku Dito lebih mirip Li Shang. Seketika aku meleleh bak es krim terpantul cahaya matahari, lumer. "Ada apa ngeliatin kayak gitu?" Alamak, aku tertangkap basah!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN