"Udah siap?"
Suara dari arah pintu kamar itu membuatku menoleh secara spontan. Sepertinya Tissa juga sama denganku. Mata ini tak berkedip melihat sosok Dito yang dibalut baju ala-ala pangeran disney. Seharusnya dia mirip Pangeran Charming, karena Tissa berdandan ala Cinderella. Namun, di mataku Dito lebih mirip Li Shang. Seketika aku meleleh.
"Ada apa ngeliatin kayak gitu?"
Alamak, aku tertangkap basah!
"Kamu sehat-sehat aja, 'kan, Re?"
Pertanyaan Tissa diiringi sentuhan di bahuku membuat diri tersadar. Sejenak aku kikuk. Apa yang tadi aku pikirkan? Mata ini langsung menatap pintu, tertutup dan tak ada siapa pun di sana. Lalu, tadi siapa yang baru saja masuk dengan pakaian ala Prince Charming? Sekalu lagi kupastikan, pintu itu benar-benar tertutup rapat setelah aku masuk tadi. Hei, ini hotel mahal, mana mungkin ada yang bisa membukanya dari luar? Sepertinya aku sudah mulai gila.
"Sehat, kok, Tis. Segar bugar malah."
Hanya otakku saja yang sedikit bergeser karena bertemu dengan calon suamimu. Ingin sekali kulontarkan kalimat tersebut, tetapi aku sadar diri, bahwa diri ini hanyalah tukang foto. Lagipula, semua itu masa lalu. Jadi, tak perlu dibahas lagi. Mulut, otak, dan hati memang sering tak sinkron. Mulut menolak mentah-mentah, sedangkan hati dan pikiran selalu terngiang. Tawaran Bu Rossa untuk menjodohkanku dengan anak temannya apakah masih berlaku? Ya, Tuhan! Mikir apa aku ini?
"Atau kamu masih capek karena perjalanan jauh? Kalo kamu masih butuh istirahat, bilang aja. Aku nggak mau hasil fotonya jelek, ya."
Sekate-kate dia! Dia pikir aku ini amatiran? Kalau soal perjalanan jauh memang benar, tetapi kalimat terakhirnya membuatku tersinggung.
"Enggak, tenang aja. Gue nggak apa-apa."
Kali ini mata Tissa menyusuri tubuhku, maksudnya dia memperhatikan diri ini. Adakah yang salah dariku? Sepatu kets putih, sweater hitam, dan sepertinya tak ada yang salah. Aku juga memakai kupluk rajut warna senada sweater. Jadi, apa yang salah? Biarpun musim gugur terasa
"Bisa tolong panggilkan Dito nggak?"
"Apa?" Aku tercekat. Suara yang keluar dari mulut ini pun sepertinya terdengar begitu mengejutkan, sampai Tissa mengerutkan kening.
"Maksudnya, apa gue panggilnya sekarang?" Mendadak kerongkongan seperti ada penghalangnya, sampai begitu sulit untuk berkata-kata.
Wajah Tissa langsung berubah seperti semula. Syukurlah, lega rasanya. Apa aku perlu memasang cakram, supaya mulut ini ada remnya?
Selepas mendapat jawaban "iya" dari Tissa, diri langsung menuju kamar Dito. Tadi Tissa bilang, bahwa nomornya beda dua angka dari nomor kamarku. Ini dia. Pencet tidak, ya? Ragu, tetapi tangan ini tetap mengudara, menekan tombol interkom.
Tak berselang lama, pintu kamar terbuka. Astaga! Buru-buru aku balik badan. Mendadak seperti ada magnet yang menarik diri untuk segera berbalik.
"Diminta calon istri lo untuk cepet-cepet. Kita, eh maksudnya Tissa bilang ditunggu di lobi."
"Gue udah siap, kok."
"Oh, ya udah. Kebetulan." Aku menoleh ke Dito sekilas. "Tunggu apa lagi?" Kemudian, diri ini melenggang begitu saja sambil pura-pura mengoperasikan kamera.
Pendengaranku masih cukup baik. Jadi, aku bisa mendengar derap langkah Dito sedikit dipercepat. Mungkin dia buru-buru karena tak mau sang kekasih menunggu terlalu lama. Alah, bodo amat! Peduli apa aku tentang mereka? Langkah ini kian cepat, agar lekas sampai tujuan.
"Re, tunggu!"
Spontan aku menoleh. Bukan apa-apa, ini kali pertama Dito memanggil namaku setelah sekian purnama. Bahkan, cowok yang enggan kulihat ini sudah sejajar dengan langkahku.
Ingin menyahut, tetapi urung. Bisa jadi tadi aku salah dengar, bukan? Atau bisa juga diri ini berhalusinasi. Kubuang napas perlahan, kemudian kembali melakukan bidikan sambil jalan.
"Lo denger gue, 'kan?"
Kali ini telingaku jelas sekali mendengar ucapan Dito. Tentu saja aku menoleh, dia pun menatapku. Ada apa? Dia merindukanku? Hh, lagu lama! Ingin rasanya aku tertawa di hadapannya. Sayangnya, aku malas sekali.
"Re, gue ngomong sama lo."
Dito mengikuti diriku yang berhenti sejenak.
"Lo ngomong sama gue?"
Ini sengaja. Jadi cewek harus jual mahal, jangan karena mantan memanggil, lalu hati ikut terbang tak terkendali. Meskipun rasa cinta itu masih ada, tetapi aku berusaha untuk tak menunjukkannya di depan Dito.
"Gue nggak nyangka kalo kita–"
"Dit, buruan! Lama banget, sih, kamu? Rea, ayo!"
Seketika itu juga aku mempercepat langkah, meninggalkan Dito jauh di belakang. Ini semata-mata hanya untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut dengannya. Aku malas bila dia bertanya kabar dan lain sebagainya. Aku ini baperan, takut saja bila nanti terbawa suasana dan malah mengungkapkan hal yang tak seharusnya. Alih-alih dia merasakan hal yang sama, aku takut malah ditertawakan. Lagipula dia sudah ada calon istri, manalah mungkin masih menyisakan perasaannya walau sedikit?
"Re, kita ke DisneySea hari ini, ya. Aku mau kamu ambil gambar paling bagus di sana. Habis itu kita langsung ke Disneyland juga, ya. Ini impianku dari lama, makanya aku udah persiapkan semuanya," celoteh Tissa panjang lebar. Kami sudah ada di dalam mobil.
Kata Tissa, Dito yang menyewa mobil untuk kegiatan hari ini, seharian.
"Oh, iya. Make up-ku bagus, nggak?" tanya Tissa lagi, kali ini dia menatap pantulan wajahnya di cermin sambil menoleh kanan kiri.
"Cantik, Tis."
Aku rasa, dia menanyakan hal sia-sia. Sebab, Tissa memang sudah cantik dari sananya, sedangkan aku, cantik bila ada dananya. Kata Bu Rossa Chandraningsih, sih, aku ini cantik kalau dibanding adik. Mama memang paling bisa. Iya, bisa banget merendahkannya. Adikku itu cowok, mana mungkin dia cantik, 'kan? Biarpun begitu, aku yakin Mama sangat menyayangi diri ini–anak perempuan satu-satunya.
"Cantik doang?" Suara Tissa terdengar melemah, ada sedikit nada manja yang kudengar.
"Ya, enggak. Cantik banget malah. Lo itu dandan kayak gimana aja juga bakalan cantik, Tissa. Coba, gue ambil gambar lo, ya."
Aku bersiap membidik sebagian tubuh cewek ala Cinderella di hadapan. Sangat cantik, bahkan matanya terlihat begitu manis. Pantas bila Dito memilihnya. Aku saja yang sesama cewek bisa begitu mengaguminya, bagaimana dengan lawan jenis? Aku yakin, Tissa pernah menjadi rebutan sebelum akhirnya menjatuhkan pilihannya ke Dito.
Tanpa sengaja, mata ini bersirobok dengan manik hazel milik cowok di hadapan. Dia memang duduk di depan, dekat supir, tetapi aku bisa melihatnya dari kaca spion luar ketika dia pun menatap ke sana. Seketika jantung ini seperti melonjak. Sulit sekali untuk tak menatapnya lebih lama. Sampai Tissa memanggil, aku baru sadar bahwa diri ini terlalu tak bisa menghindar. Profesional, Rea! Sadar, Dito sudah mau menikah! Berkali-kali aku mencoba mengingatkan diri sendiri.
"Kamu beneran nggak lagi sakit, 'kan, Re? Aku lihat dari tadi kamu ngelamun terus."
"Lo bisa pegang jidat gue kalo nggak percaya. Gue baik-baik aja, cuma kurang minum doang."
Lama-lama mulut ini jadi terbiasa berbohong. Dosa semakin menumpuk saja bila kebodohanku terus-menerus tepergok oleh Tissa. Ibu Rossa Chandraningsih tak akan memberiku ampun andai dia tahu, bahwa anaknya ini belum bisa melupakan mantannya, dan malah berharap bisa balikan. Tak terbayang kegeraman Mama, beliau pasti menggebu-gebu agar diri ini dilempar ke psikiater, dan paling parah diruqiyah. Mama memang suka berlebihan, tetapi kata Dimas itu bentuk perhatian beliau padaku. Move on memang hanya tentang waktu dan hati yang mau menerima. Jadi, kesimpulannya adalah, aku belum move on karena masih belum bisa menerima keputusan Dito. Dia memang meninggalkan diri ini secara sepihak. Jadi, menurutku itu sesuatu yang kurang ajar. Aku tak terima. Bukan apa-apa, hanya saja janji-janjinya saat itu seolah-olah mengajakku terbang. Ternyata, semua itu sekadar bualan belaka.
Ini gimana le kok mantan manis le
Bikin susah move on terngiang-ngiange
Aku jadi gimana-gimana gitu ya kan
Kita sudah putus tapi kok masih sayang
Mendadak, lagu yang sering diputar Dimas di studio seolah-olah menggema dalam mobil ini. Bolehkah aku memaki?