Chandu's Tail

1309 Kata
Perjalanan tak terlalu lama, sehingga aku tidak perlu repot-repot untuk menuli atas percakapan dua makhluk dilanda cinta itu. Siapa lagi kalau bukan Tissa dan Dito? Ini bukan perkara mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang berat. Hanya saja hati ini memang terlalu mudah tersentuh. Dimas benar atas ucapannya, bahwa aku ini baperan. Awalnya aku menolak mati-matian, karena memang tak merasa demikian. Namun, semakin ke sini aku sadar, bahwa dia benar. Sepanjang perjalanan, pasangan mau kawin itu selalu memamerkan kemesraan dan saling memanggil sayang. Parahnya, keduanya seolah-olah tak menganggap kami–aku dan supir–ada. Untungnya aku ada kamera yang bisa membuat fokus ini tak terlalu pada mereka. Pertanyaan-pertanyaan Tissa juga kujawab seperlunya saja. Seperti tadi, dia menanyakan berapa lama aku jadi fotografer dan belajar dari mana. Aku sendiri tak begitu ingat dari mana mendapatkan kemahiran memotret. Hanya saja, sejak lama aku sudah menyukai dunia perfotoan. Berawal dari postingan iseng ke platform berlogo huruf F, gambar burung, berlogo kamera, dan blog pribadi. Di sana aku pamer hasil jepretan, bermodal kamera tinggalan Papa. Kadang juga memakai ponsel untuk menjepret gambar, sekadar hobi. Lama-lama banyak yang komentar juga, mereka memuji hasil bidikanku. Salah satunya Dimas, dia paling sering memuji. Walaupun dibalut ejekan, tetapi dia juga akhirnya mengakui kehebatanku dengan mendirikan studio foto. "Rea, nanti tolong ambil angle yang paling bagus, ya. Aku lihat dari beberapa contoh foto yang diberikan bosmu itu bagus-bagus. Kamu beneran bisa memotret seperti itu?" Hampir saja aku tak percaya dengan apa yang baru saja didengar sepasang telingaku. Namun, pertanyaan itu benar-benar diucapkan Tissa. Serius, dia meragukan keahlian diri ini? Sebentar, aku harus mencari tahu dulu, foto yang dimaksud Tissa itu seperti apa. Soalnya, banyak sekali foto-foto yang telah kuambil, sehingga membuat diri ini sulit mengingat satu per satu. "Oh, ya? Memangnya foto mana yang dikirim bosku?" tanyaku memastikan. Tissa merogoh tasnya, kemudian membeberkan beberapa gambar di depan wajahku. Cantik. Aku berdecak kagum pada hasil jepretanku sendiri. Memang sebelum dikirim ke pelanggan, foto tersebut aku edit lebih dulu, biar lebih ada seninya saja. "Ini beneran kamu yang fotoin, 'kan? Aku yakin, sih, kalo ini kerjaan kamu. Aku udah lihat foto yang di mobil tadi. Bagus banget." Tadi seolah-olah merendahkan, sekarang memuji. Lama-lama perutku bisa lapar kalau begini terus. Kami sudah memasuki area DisneySea. Wajah Tissa tampak begitu bahagia. Tentu saja, siapa pun orangnya pasti akan bahagia karena sebentar lagi memiliki suami. Kecuali kalau pas mau akad malah salah satu mempelai kabur, itu baru sangat menyedihkan. Eh, ngomong apa aku ini? Serius, itu bukan doa. Amit-amit! "Sayang, baju kamu kok berantakan, sih? Sini, aku rapiin dulu." Tissa meraih tubuh Dito, merapikan jasnya. "Ya, ampun! Rambut kamu berantakan banget, sih, Sayang? Bawa sisir nggak? Minyak rambut, ada?" Entah, aku merasa muak melihat tingkah sok perhatian Tissa. Padahal, baru dua hari aku bersama dia, tetapi entahlah. Rasanya bosan saja. Dito pun terlihat penurut, sama sekali tak membantah. Di mobil tadi pun hanya Tissa yang banyak bicara, bahkan Dito hanya menjawab "iya" dan "tidak", kadang-kadang sedikit panjang. Sambil menunggu mereka selesai bermusyawarah, aku mengambil gambar dengan ponsel. Tentu saja gambarku sendiri. Diri tersenyum menatap layar ponsel, dua gambar dengan pose berbeda. Tidak kalah cantik dari Tissa, menurutku. Iyalah, siapa juga yang akan memuji diri ini, kalau bukan aku sendiri, dan Mama pastinya. Enggak juga, sih. Bu Rossa Chandraningsih lebih sering mengejek daripada memuji. Kadang aku sampai ragu atas nama dia akta lahirku sendiri. Ya, gimana? Mas anak sendiri diejek terus? Kan, kesal juga. Kawasan ini mulai ramai pengunjung, aku bergerak sedikit menjauh dari Tissa dan Dito. Rasanya terlalu sayang bila ke Jepang hanya untuk bekerja. Kenapa aku tidak menikmati hidup di sini saja, daripada harus terus tertekan dengan melihat mereka berduaan? Iya, bukan? Oke, nikmati hidupmu sebaik mungkin, Rea! Ini Jepang, tidak seharusnya bergalau ria meratapi kesedihan. Biarlah mereka dengan dirinya sendiri. Tiket seharga hampir satu juta itu tak akan kusia-siakan begitu saja. Ternyata antrean masuk Disneysea ini sepanjang ular naga. Eh, mungkin rel kereta api lebih tepatnya. Untung sekali tadi Tissa beli tiket secara online, jadi bisa lebih cepat masuk. Tahu dari mana? Sudah aku bilang, telinga ini tak terlalu tuli untuk mendengar percakapan antara Dito dengan Tissa dalam mobil. Aku menoleh ke tempat Tissa dan Dito berpijak, masih sibuk dengan entah apa itu. Aku membuka tas kecil di pinggang, mengambil Chandu's Tail. Camilan yang bentuknya agak aneh ini merupakan replika dari Chandu, karakter bayi harimau yang muncul di Sinbad's Storybook Voyage. Rasanya sayang sekali memakannya, harganya cukup mahal untuk sekelas roti. Di negara kelahiran, harga roti kemasan palingan tak sampai 20.000 per potongnya. Ingat, roti kemasan, bukan semacam tart atau kue lainnya. Saat hendak menggigit roti sambil ber-selfi, tiba-tiba seseorang menabrakku. Maksudnya, entah aku yang menabrak karena berjalan mundur untuk mengambil gambar yang pas, atau dia yang tak melihatku. Seketika roti mahal itu jatuh. "Aduh!" pekikku sambil menyentuh pundak, spontan. Memang terasa agak nyeri di sana. Entah bagaimana tadi posisi cowok itu saat menabrak, aku sendiri membelakanginya. "Gomennasai, daijōbudesuka?" katanya sambil membungkuk. Dia meminta maaf dalam bahasa Jepang. Seorang cowok bermata sipit, memakai baju tebal warna hitam. Tingginya kurang lebih beda tiga puluh lima senti dariku yang memiliki tinggi 165 sentimeter. "Daijōbudesu," jawabku sedikit gagap, karena memang tak mahir bahasa negara yang memiliki julukan Matahari Terbit ini. Aku memberitahukan padanya bahwa aku ini baik-baik saja. "Hontō ni?" Mata cowok ini terlihat seperti sedang khawatir. Aku hanya mengangguk. Bila tak keliru, dia sedang memastikan keadaanku. "Dare mo byōkide wa arimasen ka?" tanyanya lagi. Kali ini dia menanyakan padaku tentang keadaanku setelah dia tabrak tadi. Perhatian sekali, tampan pula. "Iie." Aku mengeleng. Semoga dia paham dengan jawaban bahasa Jepang-ku yang minimal ini. Cowok di hadapan ini mengambilkan roti mahalku yang terjatuh pasca tabrakan tadi. "Arigatōu," kataku sambil menerima roti tersebut. Pemuda itu hanya tersenyum simpul. Sungguh, aku sangat tidak mengerti apakah bahasa Jepang yang kuucapkan tadi itu betul atau tidak. Diri ini asal saja menjawabnya. Pemuda sipit di hadapan hanya sedikit membungkuk. Lalu, dia pamit pergi. Wajahnya mirip orang Korea. Aku rasa dia bukan orang pribumi. Setelah pemuda itu hilang di tengah kerumunan, aku menatap kecewa pada roti mahal yang tanpa sengaja terinjak kakiku sendiri. Sialan, mahal-mahal aku beli, malah jatuh sebelum mengetahui rasanya! "Lo nggak pa-pa, 'kan?" Aku terkesiap mendengar suara itu. Seketika diri menoleh. "Di ... to?" lirihku, nyaris tak terdengar. "Siapa cowok tadi?" Mata Dito mengikuti arah perginya cowok yang tadi menabrakku. Aku turut serta, detik berikutnya langsung fokus lagi pada roti ini. "Mana gue tau. Kenalan aja enggak." Nada bicaraku mungkin terdengar ketus, karena jujur saja, aku masih kesal atas roti yang terinjak ini. Lagipula, apa urusannya dia bertanya? Cemburu? Cih! "Biasa aja ngomongnya. Nanti gue beliin lagi." Sepertinya Dito tahu kalau aku kesal. Namun, aku lebih kesal dengannya untuk saat ini. "Gue cuma mau manggil elo kok. Pemotretan udah bisa dimulai," ujar Dito, datar saja aku dengarnya. Memang k*****t dia, ya. Tadi bertanya seolah paling peduli, sekarang pergi begitu saja seenak jidat. Lihat saja, kalau tidak sayang, sudah kulempar dia dengan roti ini. "Sialan! Gagal makan roti mahal, kan, gue jadinya!" umpatku sambil mengekori Dito. Entah dia dengar atau tidak, aku tak peduli. Roti kulempar ke tempat sampah terdekat. Setelah itu, aku bymulai melancarkan aksi potret-memotret. Tissa minta ber-swafoto dengan latar air, atau terpenting ada airnya. Ingin rasanya kuguyur mereka. Aku sendirian tanpa asisten, mana bisa memotret keren ala-ala prewed selebgram dan artis? Seharusnya, Dimas menyertakan satu atau dua orang untuk membantu, bukan malah mengumpankan aku ke mulut singa seperti ini. Oke, otak. Mari, kita berpikir bagaimana mengambil gambar keren bertema air tanpa bantuan siapa pun. Akhirnya, sebuah ide muncul. Angle eye frog view menjadi pilihanku saat ini. Aku meminta Tissa dan Dito bergaya sesuka mereka agar tampak natural saja, lalu meletakkan kamera mendekati air. Beningnya air ini membuat bayangan mereka memantul di sana. Keren sekali. Namun, dinginnya kota Jepang ini seolah-olah tak mampu meredam panas yang membakar hati. No! Tidak mungkin aku cemburu. Itu tidak boleh terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN