Beberapa kali aku mengambil gambar dengan berbagai angle dan pose. Sesekali Tissa penasaran dengan hasil jepretanku. Dia mendekat, melihat dan mengamati hasil yang kuciptakan. Dia berdecak, wajahnya tampak begitu ceria dan senang. Mungkin dia puas dengan apa yang dilihatnya.
"Keren banget. Kamu memang nggak diragukan lagi, Re," kata Tissa tanpa menatapku. Matanya terus fokus ke layar kamera.
Berkali-kali dia berdecak, mengagumi hasil bidikan indah yang kupersembahkan. Tentu saja, gini-gini aku masih bisa profesional. Aku tak ingin rasa purbakala itu mendoktrin hati, sehingga berubah menjadi sebuah keegoisan yang merusak sebuah hubungan.
Rasaku terhadap Dito memang masih ada. Namun, aku tak mau semua itu membuatku terlihat rendahan. Anak Bu Rossa Chandraningsih harus tegar dan bisa menyembunyikan segalanya. Aku kuat, aku hebat.
Mata hazel Dito sempat menatapku tadi ketika aku mengambil gambarnya. Hal itu membuat degupan hebat mendera daada, sampai aku hampir saja tak berdaya dan kehilangan fokus.
Dimas pasti akan mengataiku lebay lagi bila dia melihat semua ini. Memang aku lebay. Bukankah itu tak jadi masalah, karena tak membuat orang merugi? Dimas saja yang terlalu perhatian. Eh, enggak juga. Dia terlalu kepo dan mencampuri urusan hati ini. Aku kesal kalau Dimas seperti itu. Ujung-ujungnya meledekku sampai akhirat.
"Keren banget ini. Asli keren," puji Tissa dengan raut wajah bersinar untuk kesekian kalinya. "Aku, kan, udah banyak fotonya, nih. Sekarang giliran Dito, ya. Dia kalo pose suka kaku. Jadi, gimana caranya biar terlihat natural gitu, aku serahkan sama kamu. Aku mau ganti baju dulu." Tissa menyentuh pundakku.
Diri ini belum sempat menyahut kalimat panjang Tissa, tetapi cewek itu sudah melenggang saja. Punggungnya tampak semakin menjauh. Baiklah, mari kembali bekerja.
Membuat Dito terlihat natural? Bagaimana caranya, ya? Sejak zaman aku mengenalnya, cowok itu memang susah sekali bila berhadapan dengan kamera, apalagi saat sendirian. Ketika berpose dengan Tissa saja tampak jelas sekali, bahwa dia grogi dan kaku. Cowok seganteng dia, apakah benar demam kamera?
"Rea!" panggil Tissa dari jarak cukup jauh.
Aku menoleh, tanpa menyahut.
"Kalo udah selesai, temui aku, ya." Tissa menyebutkan nama salah satu gerai makanan di tempat ini.
Jari telunjuk dan jempolku membentuk lingkaran di udara. Tissa tersenyum, detik berikutnya kembali melenggang. Aku rasa dia sudah paham maksudku.
Aku mendengkus. Ini artinya tinggal aku dan Dito saja di sini. Lalu, aku harus bagaimana? Apakah menyeret dia untuk berfoto? Ngobrol dulu mungkin? Atau apa? Ck! Sulit sekali rasanya ingin mengeluarkan kalimat. Kerongkongan seperti ada yang menyumbat, sehingga susah berkata-kata. Bibir terasa kaku, enggan terbuka.
"Gimana kabar lo?" tanya Dito di sela-sela pemotretan. Wajahnya datar, dingin, dan nyaris tanpa ekspresi. Manusia atau manekin, sih? Beneran, deh. Dia lebih mirip tembok hotel, datar dan dingin. Ish!
Btw, untuk apa dia menanyakan kabar? Bukankah sudah jelas, dia sendiri juga bisa melihat bagaimana kondisiku. Sehat, segar, dan bugar. Tentu saja masih selembut dan semanis dulu. Oke, Dimas pasti mual mendengar ini.
"Lo bisa meyimpulkan sendiri gimana kabar gue, 'kan?" Jawabanku, juga dengan nada biasa saja, dan masih fokus pada pengambilan gambar.
"Tante Rossa?"
Sekilas aku mengalihkan tatapanku ke Dito. Bertemu saja tidak pernah, sok kenal! Diri kembali mengambil gambar. Dito masih berpose. Kaku.
"Lo bisa lebih santai nggak mukanya? Nggak usah kayak orang mau perang gitu," cibirku. Kesal saja, dari tadi sama sekali nggak senyum. Sudah hampir sepuluh gambar, tetapi wajahnya nggak ada perubahan coba.
"Ini juga udah santai. Kayak nggak kenal gue aja."
Hampir saja aku tertawa mendengar leluconnya. "Memangnya kita saling kenal?" tanyaku santai.
Sudah aku duga, pasti Dito akan menatapku penuh tanya ketika mendengar kalimat yang kulontarkan. Biar dia tahu rasa! Setelah memastikan dia tak menjawab lagi pertanyaanku, diri ini kembali mengambil gambar.
Dito tersenyum, meskipun masih tampak kaku. Apa anak ini perlu didikte untuk terbiasa senyum? Perasaan, sejak awal pertemuan kami, dia sama sekali tak terlihat mengembangkan bibir. Bahkan, saat calon istrinya tertawa bahagia pun, dia biasa saja. Aneh memang. Seperti ada sesuatu yang membuatnya lain. Dulu, dia tidak kaku seperti ini. Masih bisa terbahak bareng teman-temannya di sekolah.
"Oke, cukup!" kataku sambil memberi isyarat dengan jari, tetapi tanpa menoleh. Fokusku tetap pada hasil bidikan, memastikan bahwa tadi tak goyang saat memotret. Aku tak mau mengulangnya lagi. Aku juga tak ingin Tissa protes. Bisa-bisa aku naik pitam kalau itu terjadi.
"Kalo menurut lo kita nggak saling kenal, nggak mungkin lo nyindir gue, 'kan?"
Aku terbatuk seketika. Dito melenggang tanpa menoleh ke arahku, padahal mata ini sudah menatapnya dengan tatapan membunuh. Dia mau membalasku? Oh, genderang perang mulai ditabuh. Siapkan dirimu, Rea! Pasang tameng baja untuk menangkis serangan demi serangan yang akan dilakukan Dito nantinya.
Sialan banget dia. Cupu! Pengecut! Ih, ingin rasanya aku mencabik mukanya yang mirip kanebo kering itu. Serius, dia berhasil memantik emosiku saat ini. Untung saja aku kerja di sini. Kalau enggak, sudah kumaki-maki dia.
**
Kami kembali ke hotel setelah kegiatan foto selesai. Lelah sih tidak. Hanya saja aku menyesal. Tiket semahal itu hanya dipakai untuk berfoto? Please, orang kaya apa semuanya begini? Paling tidak, mereka memberi diri ini kesempatan untuk menikmati aneka wahana di dalam Disneysea, gitu. Bukan hanya foto, lalu selesai. Ya, ampun! Itu sayang sekali kalau dilewatkan. Padahal, sejak awal masuk, aku sudah ancang-ancang mau naik apa, ke mana saja, dan banyak lagi. Ini malah langsung pulang. Mana perutku lapar lagi. Ajak makan, kek! Ya ampun!
Tiba di hotel, aku langsung masuk kamar, Menyalakan AC, lalu merebahkan diri di ranjang. Tak lagi kupedulikan kamera dan teman-temannya. Jengkel, jauh-jauh ke Jepang cuma dikecengin sama Dito. Ck! Tangan ini meraih ponsel dalam tas, menyalakan wifi, lalu menghubungi Dimas.
"Apa kabar hari ini, Nona?" tanya Dimas saat panggilan tersambung. Nadanya terdengar meledek. Aku yakin, di sana wajahnya pasti sangat menyebalkan.
"Nggak usah ngeledek, deh. Gue kayak kambing congek di sini tau gak?" ketusku.
"Ucuk-ucuk ... kacian. Tapi seru, 'kan?"
Anak ini belum pernah dilempar bakiak, ya?
"Seru jidat lo lebar! Ngenes, Dimas. Ngenes! Udah gue nggak punya temen ngobrol, masih harus liat Tissa sama Dito bermesraan lagi. Lengkap banget penderitaan gue, ya, Lord. Ya, kali gue harus nelpon elu terus. Bisa dimaki pacar lo entar." Aku mendengkus. Rebahan seperti ini terasa sangat nyaman.
"Ya, lo jalan-jalan kek di sana. Biar gak jenuh juga."
Sebuah solusi yang sangat amat sulit untuk dipercaya.
"Jalan ke mana coba? Lo kira ini Jakarta, yang gue bisa pakai GPS atau google maps kalo nyasar?" semburku tanpa ampun.
"Ya, ke mana, kek. Kan banyak tempat nongkrong di sono, Pus. Yang deket-deket aja, biar nggak nyasar. Kadang-kadang otak cerdas lo lemot juga."
"Ogah! Entar gue nyasar malah ngerepotin tu orang."
Aku mengubah posisi menjadi tengkurap.
"Ya elah! Bawa peta biar kagak nyasar. Lu mah peaknya parah banget ye!"
"Sialan lo, Dim! Bukan gitu maksud–"
Tiba-tiba suara bel interkom menyalak. Membuat diri ini mau tak mau memutuskan telepon dengan Dimas.
"Udahan dulu, ya, Dim. Kayaknya gue ada tamu nih."
Tak perlu menunggu jawaban "iya" dari Dimas, aku langsung memutus sambungan telepon. Detik berikutnya, diri bergegas membuka pintu. Dito sudah berdiri di sana dengan tampang kakunya.
"Ada apa?" tanyaku, sedikit ketus dan malas.
"Ntar malem ikut gue makan," ujar Dito. Perlahan aku tersenyum.
"Sekalian, nanti lo ambil foto di sana."
Awalnya aku sudah semangat karena akan dinner bareng Dito, tetapi kalimatnya barusan membuat semangatku menurun. Kerja lagi, kerja lagi.
"Oke," sahutku dengan nada lesu.
Kamppret! Aku pikir dia mau mengajak makan malam romantis seperti dulu. Taunya kerja juga. Kutatap punggung Dito yang kian menjauh.
"Ah, b**o!" Tangan ini kupukulkan ke jidat. "Kok, gue ngarep terus, sih? Hello, Rea! Lo itu siapa? Lo cuma mantan. Ingat, mantan!" dumalku sambil kembali ke tempat semula. Stop untuk baper, Rea!
Seketika bayangan masa-masa indah bersama Dito memenuhi benak. Dia yang selalu perhatian dalam keadaan apa pun. Tak pernah terlewatkan sehari pun tanpanya. Setiap bertemu, dia tak pernah absen menanyakan kabar. Iya, seperti tadi. Makanya, aku jadi baper berkepanjangan. Namun, yang paling mengganggu pikiran adalah alasan dia pergi tanpa pesan. Ingin sekali diri ini menanyakan hal tersebut, tetapi kerongkongan rasanya enggan untuk sekadar menyapa.
Alih-alih bertemu penuh bahagia, justru aku terlempar semakin jauh dan banyak sekat yang nggak mungkin bisa kuterobos. Eh, maksudnya kalau kami masih saling mencintai, aku nggak bisa merebut dia dengan mudah. Eh, bukan begitu maksudnya. Ih, tau ah! Aku sebal, kenapa perasaan ini tak juga sirna? Sesak.