Sebuah foto terpampang di layar ponsel yang baru saja kugeser layarnya. Foto paling manis yang aku simpan sejak lama. Pokoknya foto bersejarah selama diri ini jadian dengan cowok kaku, sengak, dan sekarang bertambah satu predikat baginya, yaitu nyebelin.
Masih teringat jelas bagaimana foto tersebut diambil, berlatar tenda dengan suasana remang berhiaskan api unggun. Saat itu aku mengacungkan tanda damai, sedangkan Dito hanya tersenyum simpul. Ya, memang itulah ciri khasnya, tak berubah sampai sekarang. Padahal sedang foto penting, sekali seumur hidupnya. Ah, ingat itu jadi sesak d**a ini.
Pertama kali Dito menyatakan perasaannya padaku, terasa begitu romantis dan membekas. Dia itu terkenal sebagai cowok yang susah ditebak. Waktu itu dia nyanyi sambil main gitar. Aku pikir hanya nyanyi biasa, karena kami tak sendiri dan sedang acara sekolah. Di tengah lagu, tiba-tiba dia menarik tanganku dan membawa diri ini ke tengah tengah teman-teman yang duduk melingkari api unggun.
Tak kuduga sebelumnya, Dito menyatakan perasaannya kepadaku. Terkejut itu pasti, sampai sekarang seolah-olah hal itu baru saja terjadi. Apakah Dito mengingat semua itu? Jempol kiriku mengusap wajah Dito, maksudnya sebatas dari layar ponsel. Ada rindu yang mendadak menyusup di kalbu.
Ah, bodoh! Mana mungkin dia ingat? Ceweknya saja cakep begitu. Nah, sementara aku? Sudah tak cantik, tak ada putih-putihnya, dan tak semampai pula. Sepertinya lengkap sekali paket ugly dalam diri ini. Fiyuh!
"Lo itu cantik, Pus. Cuma nggak pede aja sama diri lo sendiri." Mendadak suara Dimas seperti menggema di ruangan ini. Spontan aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Tak ada orang. Buluku tiba-tiba meremang.
"Setan banget si Dimas!" umpatku sembari mengusir rasa takut. Selain suka mengolok, Dimas juga hobi menakutiku. Kampreet, kan?
Tubuh kembali merebah di kasur. Ingatan tentang pertama kali Dito menyatakan cinta itu, datang bersamaan dengan ketika dia meninggalkanku. Lima tahun itu lama, tetapi mengapa aku sebodoh ini? Dito saja bisa melupakanku, masa aku enggak? Ayolah, Rea! Move on! Lupakan Dito!
Terkadang, akal sehatku mengatakan hal itu. Namun, perasaan ini sering kali ingkar. Jujur saja, aku masih belum bisa melupakan Dito. Dia cowok pertama yang membuatku jatuh hati, sekaligus cowok terakhir yang kuharap bisa mengisi hari-hariku saat itu. Ternyata, kenyataan sering tak sejalan dengan keinginan.
Aku menghirup napas dalam-dalam, merasai hadirnya dalam paru-paru, lalu mengembuskanya perlahan. "Mungkin lo emang bukan takdir gue, Dit. Dan gue nggak pernah nyesel kenal sama lo. Bener kata mereka, cinta pertama itu memang susah untuk dilupain," kataku sambil menerawang ke langit-langit kamar.
*
Akhirnya, malam ini aku kembali mengekori Dito dan Tissa. Kali ini kami jalan kaki, karena lokasinya dekat dari hotel. Kurang lebih hanya membutuhkan waktu empat menit untuk sampai di lokasi. Aku heran, jauh-jauh ke Jepang hanya untuk foto di restoran? Di Jakarta banyak restoran keren ala Jepang kalau mereka mau, dan tak perlu merogoh kocek dalam-dalam.
Saat sudah tiba di tempat tujuan, ternyata harus naik lift dulu untuk sampai di restorannya. Astaga, ternyata mereka serumit ini. Mendadak kepalaku agak pusing, karena lama sekali berada dalam lift bertiga seperti ini. Di dekat tombol terlihat dengan jelas angka sepuluh, dan masih ada dua puluh satu lantai lagi untuk benar-benar sampai. Tak terbayang bagaimana jika lift ini mati, bisa-bisa kaki ini patah sebelum sampai restoran, karena harus melewati tangga darurat–bila itu ada. Aku berdecak, ada-ada saja pilihan mereka. Padahal, tadi aku melihat ada restoran di tepi jalan yang tak perlu melewati puluhan lantai. Mungkin pekerjaanku bisa cepat selesai juga dan tidur lebih awal.
Suara lift terdengar, tak lama pintu terbuka. Setelah keluar, kami langsung menuju restoran yang kata Tissa luar biasa. Apa-apaan ini? Bahkan terkesan biasa saja. Dalam hati aku mencibir Tissa dan Dito. Sungguh selera rendahan!
"Rea, kamu ambil gambarnya nanti berlatar belakang pemandangan di sana, ya." Tissa menunjuk sebuah meja dekat kaca lebar sekali.
Mata ini mengikuti telunjuk Tissa, dan aku dibuat kagum oleh pemandangan malam yang terpampang di hadapan. Sungguh luar biasa! Ini bagus, bagus sekali malah.
"Kamu mau pesan apa, Re?" tanya Tissa. Dia duduk, diikuti Dito yang memilih tempat duduk berseberangan. Aku? Duduk di mana saja, asal nyaman, aman, dan kenyang.
"Apa aja deh, gue nggak tahu menunya apa aja," jawabku jujur. Mungkin terlihat norak, karena memang seumur-umur baru kali ini menginjakkan kaki di negara ini.
"Dia biar aku yang pesanin."
Wajah Tissa seperti orang yang penuh tanya ketika menatap Dito, lalu bergantian ke arahku. Jangankan dia, aku saja kaget.
"Oh, oke." Singkat saja Tissa menjawab. Entah apa yang ada di benak wanita itu. Aku menangkap gelagat aneh dari gerak dan siluet wajahnya.
"Ngapain berdiri terus? Duduk!"
Boleh tidak, sih, aku memaki cowok tengil ini? Wajahnya yang dingin itu ingin sekali kusiram kuah ramen biar meleleh. Dasar tembok hotel!
Setelah sempat tergagap, akhirnya aku duduk juga di dekat Tissa. Oh, my god! Aku baru sadar, bahwa tempat duduk ini berhadapan langsung dengan Dito. Pindah, tidak? Diri mencoba menimbang-nimbang, karena jujur saja, sama sekali tak enak berada di hadapan Dito. Lagipula, kenapa dia tidak bergeser ke hadapan Tissa saja, sih?
"Kok malah duduk? Seharusnya, kan, kamu ambil foto kita, Rea."
Perkataan Tissa sedikit meninggi dibanding sebelumnya. Apakah karena dia benar-benar marah atas sergahan cepat yang dilakukan Dito tadi? Namun, ini kesempatan untukku agar bisa pindah tempat duduk.
Diri bersiap membidik, Tissa dan Dito berpose di hadapan. Mereka saling pandang, tetapi tanpa ekspresi.
"Kok kaku banget, sih? Gimana kalo berdiri aja membelakangi kamera? Maksudku, kalian menghadap ke luasnya kota Tokyo. Baju Tissa ada aksen cantik di belakang, sayang banget kalo nggak ditonjolin."
Diri ini mencoba memberi solusi, karena memang gambar sebelumnya sangat tidak cantik. Tissa dan Dito menurut setelah saling pandang beberapa detik. Dito melihatku sebelum bergerak mendekati kaca pembatas. Segera diri ini mengalihkan pandangan, tak ingin terjadi hal-hal aneh mendera hati. Sudah cukup sampai tadi sebelum berangkat ke restoran saja.
"Tis, lo senyum dong. Coba sambil menoleh ke ...."
Astaga! Lidah selalu kelu bila ingin menyebut nama Dito. Untung saja Tissa menurut begitu saja tanpa harus kupaksa. Dito pun turut menatap Tissa. Aku merasa agak aneh di sini, seperti ada persinggungan antara mereka, tetapi entah apa.
Sesi foto selesai. Sambil menunggu makanan tersaji, aku sedikit menjauh dari dua insan itu. Mereka kembali duduk di tempat semula, setelah itu aku tak peduli lagi. Gemerlap lampu di Distrik Sumida ini memang begitu indah. Tepat sekali pilihan Tissa, di sini memang terasa lebih romantis suasananya. Apalagi dinner berdua, pastilah menjadi bayangan mereka sebelum ke Jepang. Aku membidik beberapa gambar yang menurutku menarik dan unik.
"Rea." Terdengar suara Tissa memanggil. Seketika aku menoleh. "Lo pasti laper, 'kan? Sini, gabung sama kita," imbuhnya.
Tampak dari tempatku berdiri, beberapa pelayan yang mengantar pesanan tadi telah beranjak. Aku mendekat, perutku memang harus diisi agar tetap waras.
Kamera kumasukkan dalam tas, lalu duduk satu meja dengan Dito dan Tissa. Kali ini aku memilih duduk di sisi lain, meskipun tampak aneh.
"Ngapain kursinya dibawa ke situ?" tanya Tissa. Sepertinya dia mencurigaiku.
"Biar leluasa aja," jawabku sekenanya.
Tissa tak mempermasalahkan lagi. Dia mengaduk motsunabe dengan semangat. Setelah itu menaruhnya di mangkuk kecil warna putih. Makanan berkuah yang biasanya berisi jeroan atau daging, kucai, beberapa sayur lain, cabai, dan bawang yang banyak itu terlihat lezat, tetapi lidahku tak biasa memakannya. Di hadapanku tersaji ramen dan softdrink. Sudah kuduga, Dito pasti memesankan aku ini. Eh, ada telur berisi sosis juga. Ya, lumayan, aku bisa kenyang dan tidur dengan nyenyak malam ini.
Melihat Tissa yang lahap mencomot makanan sana-sini membuatku merasa kenyang. Apalagi sebuah makanan yang entah apa namanya, pokoknya ada kuning telur mentah di tengahnya. Dia lahap sekali tanpa merasa eneg. Mendadak perut ini terasa penuh.
"Kok gak dimakan?" tanya Dito. Awalnya aku tak menoleh, karena masih fokus pada Tissa.
Padahal tadi mulut ini sudah melahap sepotong telur dadar gulung, tetapi berhenti mengunyah ketika melihat Tissa menyendok kuning telur mentah.
"Iya, kenapa, Re?" timpal Tissa.
"Gak enak," jawabku sambil menatap telur di piring lonjong itu. "Kayak ada pahit-pahitnya gitu."
"Lo gak suka ramen, ya?" tanya Tissa. Dia menatapku seolah-olah sedang menyelidiki sesuatu. Cewek ini cantik, tetapi kadang suka tidak nyambung bila diajak bicara.
"Iya. Jadi inget mantan gitu. Suka banget nraktir aku ramen. Tapi sayang, dia udah mati!" Kalimatku yang barusan keluar itu terdengar sarkas. Memang sengaja.
Aku melirik Dito sekilas. Dia terbatuk, lalu tangannya gelagapan meraih gelas.
"Kamu kenapa, Dit?" tanya Tissa, ada kecemasan dari nada yang kudengar.
"Nggak apa-apa. Keselek aja." Dito mengusap tenggorokannya.
Aku puas. Ternyata sindiran itu termakan juga oleh Dito. Namun, sindiran tadi seperti senjata makan tuan. Gara-gara Dito terbatuk, Tissa kembali perhatian dan menyajikan keromantisan di hadapanku. Sial!
"Dasar nggak punya perasaan!" lirihku penuh penekanan, tentu saja sambil menusuk-nusuk telur dadar dengan sumpit.
"Apa, Re?" tanya Tissa.
Ups! Sepertinya mulut ini memang perlu tambahan makanan supaya tetap diam dan tak meracau sesukanya.
"Enggak, telurnya enak."
Tissa hanya ber-oh ria menanggapi jawabanku. Bodo amat, lebih baik aku makan sepuasnya. Ramen yang kubilang pahit tadi masuk juga dalam perut. Dasar aku! Malu, sih, tetapi mau bagaimana lagi? Aku bukan tipe orang yang suka membuang-buang makanan, apalagi belinya pakai duit dan harganya mahal. Meskipun tak memakai uangku, tetapi tetap saja namanya uang.
Tissa pamit ke toilet setelah merampungkan makanan dengan kuning telur mentah tadi. Porsinya memang kecil, tetapi Tissa lama sekali menyantapnya. Sepertinya dia terlalu menikmati. Maybe.
Tersisalah kecanggungan dan keheningan antara aku dan Dito. Restoran ini juga tak terlalu ramai, sehingga membuat diri ini kikuk. Aku fokus menyelesaikan ramenku saja. Lagipula mana mungkin Dito memedulikan diri ini? Dia juga pasti sedang lahap makan motsunabe.
"Lo kelaparan banget, ya?"
Untung mi ramen sudah kutelan, sehingga diri ini tak tersedak. Dito ngomong sama aku? Mata ini menatapnya, memastikan.
"Lo ngomong sama gue?"
Pertanyaan bodoh. Di sekitar hanya tampak wajah orang Jepang dan beberapa bule, mana mungkin Dito ngobrol dengan orang tak dikenal, apalagi menggunakan bahasa Indonesia?
"Sama hotpot," jawab Dito. Aku mendengar nada kesal dari omongannya. "Iyalah, sama elo." Mata Dito melebar.
"Lo mau gue jawab jujur atau pura-pura, nih?"
Apa ini maksudnya aku berniat mengajak Dito ngobrol lebih lama?
"Suka-suka lo aja maunya gimana."
Sekali kaku, tetap aja kaku. Dulu masih bisa kukendalikan, tetapi sekarang? Aku rasa tak ada hak untuk mengendalikannya.
"Di Jepang panas, makanya bikin haus dan lapar gue meningkat." Kali ini jawabanku biasa saja, tidak juga dengan nada sindiran.
"Lo itu semakin ke sini semakin aneh. Merasa panas tapi pakai jaket tebal. Apa kulit lo udah nggak bisa bedain, mana panas betulan, mana panas buatan?"
Andai saja Dito tak menatapku, mungkin saja diri sudah lari tunggang-langgang. Pernyataan yang kulontarkan tadi seakan-akan telah berubah menjadi bumerang. Tissa ke mana, sih? Mata ini mengedar mencari arah toilet.
"Dia itu lama kalo di toilet. Jadi, percuma kalo lo berharap dia cepet balik."
"Kayaknya gue kebelet deh, butuh ke toilet."
Ini sengaja. Sekadar pengalihan pembahasan yang aku rasa tidak akan ada ujungnya. Diri ini akan semakin tersudutkan bila mendebatnya. Aku bukan orang yang pandai berdebat, kalau soal sindir menyindir memang jagonya.
"Kenapa? Lo mau lari dari serangan gue?"
Astaga! Dia menganggap semua ini perang? Benar-benar minta di-hiih!
"Lo nggak malu nyerang cewek kalem kayak gue?"
Aku merasa kembali ke masa SMU bila seperti ini. Padahal, dulu waktu sekolah saja kami nyaris tak pernah berseteru. Perdebatan yang memuakkan.
"Lo aja terang-terangan ngibarin bendera perang, kenapa gue harus malu?" Dito mengelap mulutnya dengan tisu, kemudian menopang dagu, menatapku. Ya, ampun! Sok manis sekali.
"Bukannya elo yang cari gara-gara duluan?" sergahku, kali ini sedikit emosi karena dituduh.
"Kok gue?" Dito memundurkan kepalanya, sedikit. "Jelas-jelas elo yang nyindir gue terus. Ngatain gue mati lagi."
Asli, aku ingin tertawa mendengar kalimatnya barusan. Telingaku tersentil, sepertinya dia tak terima aku katai mati.
"Bagiku memang udah mati, kok. Lagipula, mempertahankan perasaan ke mantan itu nggak baik untuk kesehatan hati."
Eh, aku dapat kalimat dari mana bisa berkata demikian? Cakep!
"Maksudnya, lo masih ada perasaan ke gue?"
Alamak! Mampus dah! Mulut ini kenapa tak ada remnya? Hampir saja aku menepuk mulut, untungnya tak jadi, karena nanti Dito pasti akan menduga bahwa aku benar-benar belum move on. Memang betul, tetapi tidak untuk diketahui dia. Cukup aku dan Dimas saja yang tahu.
Dengan rasa penuh percaya diri aku menjawab, "Cuih! Najong banget gue masih suka sama lo. Mimpi aja sono!"
Entah bagian mana yang lucu dari kalimatku, tetapi aku melihat Dito malah tersenyum–hal yang paling kubenci saat ini.
"Kenapa lo senyum-senyum gitu? Kesambet setan Skytree lo?" sinisku.
Tissa sedang apa, sih, di toilet? Mengeluarkan berlian, membersihkan toilet, atau apa? Lama amat!
Dito tak menjawab. Wajahnya kembali datar dan dingin seperti tembok hotel. Ini kesempatanku untuk kabur, bukan?
"Gue mau pipis," kataku asal, lalu setengah berlari menuju toilet, tempat di mana Tissa masuk tadi.
Aku benar-benar kebelet. Cuaca di Jepang kurang cocok bagi turis sepertiku, sudah mengenakan pakaian serba tebal saja rasanya masih tembus ke tulang. Tiba di toilet, aku langsung masuk kamar kecil.
"Kamu di sini juga? Sebelah mana? Aku masih di toilet."
Saat akan keluar kamar kecil, langkahku terhenti karena mendengar suara cewek bicara. Awalnya karena takut menggangu saja, tetapi sepertinya, aku mengenal dengan baik suara itu.
Tissa. Dia bicara dengan siapa? Nadanya saat bicara tadi terdengar lain sekali ketika bersama Dito.
Lamat-lamat kudengar langkah kaki Tissa semakin menjauh. Apakah itu betul Tissa? Diri ini membuka pintu perlahan, mengintai dan memastikan bahwa tak ada siapa pun di sana. Kosong. Aku buru-buru menyembul, berjalan biasa saja sambil membuntuti wanita bergaun merah menyala itu. Aku yakin sekali, bahwa itu Tissa. Eh, kok dia belok kanan? Bukankah meja Dito tadi di sebelah kiri? Aku menoleh ke Dito, memastikan bahwa dia benar-benar di sana. Tepat dan akurat. Jadi, Tissa mau menemui siapa? Mendadak jiwa ingin tahuku mencuat ke ubun-ubun.
Oh my God! Dia cipika-cipiki dengan seseorang. Tunggu dulu, cowok itu siapa, ya? Rasanya aku tidak asing dengan wajahnya. Seperti pernah bertemu, tetapi entah di mana.